HARI kelima sejak perencanaan pengembalian ingatan Arien
Laras merasa sedang disidang hari ini. Semua orang seperti kesal padanya
Mereka duduk melingkar di salah satu bangku panjang taman sekolah. Hening menyelimuti, sampai akhirnya Jasmine yang bicara duluan.
“Kamu tuh kenapa sih, Ras?” suaranya pelan, tapi nadanya dingin. “Kenapa maksa Arien terus?”
Laras menoleh, terkejut. “Maksud kamu?”
“Arien jelas-jelas belum siap,” Dwipa menimpali. “Kita bisa lihat itu. Tapi kamu terus dorong dia buat ingat semuanya.”
“Aku cuma—” Laras mencoba membela diri.
“Kamu cuma pengin dia balik kayak dulu, kan?” potong Hannah, datar. “Tapi itu keinginan kamu. Bukan keinginan Arien.”
Laras terdiam. Ujung-ujung jari tangannya meremas ujung baju seragamnya sendiri.
“Kita ini temen, Laras. Tapi belakangan, kamu kayak lupa gimana rasanya dengerin orang lain. Kamu maunya dia sembuh... biar bisa balik kayak dulu. Tapi pernah nggak kamu tanya, Arien pengin apa?” lanjut Jasmine.
“Kamu pikir itu perhatian,” tambah Dwipa, suaranya pelan tapi tajam, “padahal itu tekanan.”
Laras mengatup bibir. Matanya memerah, tapi tak satupun dari mereka menyentuh bahunya seperti biasa. Ada jarak di sana—tipis, tapi terasa.
“Mungkin kamu sayang sama Arien,” bisik Hannah, “tapi cara kamu nyakitin dia.”
Hening kembali merambat.
Dan untuk pertama kalinya, Laras merasa... dia sendirian di antara mereka.
***
Semuanya belum selesai, di jam istirahat kedua ketika Laras, Elen dan Ivan berkumpul penolakan itu seperti dikatakan lagi padanya
"Saya sepertinya menyerah" ujar Ivan, pelan tapi pasti.
Laras dan Elen langsung menoleh.
"Apa?" Laras nyaris membentak.
"Van, serius? Baru lima hari. Lo bahkan belum benar-benar coba," tambah Elen, nyaris putus asa.
Ivan hanya menatap meja. Tak menjawab.
Laras mendesak lagi. "Memorinya tuh bisa dipicu. Kita aja yang kurang usaha."
"Iya," Elen ikut bicara. "Lo yang paling sabar waktu kita berantakan pas kemping. Tapi sekarang… malah lo yang nyerah?"
Ivan menghela napas, lirih.
"Saya tidak mundur. Hanya berpikir ulang."
Dia menatap mereka bergantian.
"Masalah tenda waktu itu cuma logistik. Sekarang, ini luka. Kenangan. Dan aku sadar, memaksa Arien mengingat bisa jadi menyakitinya."
Dia diam sejenak sebelum melanjutkan.
"Mungkin lupa adalah bentuk perlindungan Tuhan. Kita tidak tahu luka macam apa yang bersembunyi di balik semua itu. Dan kalau benar begitu… mungkin kehilangan ingatan justru penyembuh terbaiknya."
Ivan berdiri.
"Terima kasih udah dengar. Dan Elen… makasih karena nggak menjauh saat tahu perasaanku. Aku pamit."
Laras dan Elen terdiam.
Mungkin… Ivan benar.
***
Laras duduk sendirian di tangga belakang sekolah, tempat yang dulu sering mereka pakai buat ngobrol berdua. Sekarang, tempat itu terasa asing. Bisu. Seperti tahu hubungan mereka sudah tak sama lagi.
Angin sore menyentuh wajahnya ketika langkah pelan mendekat. Arien.
Laras menoleh, refleks berdiri, tapi Arien tetap diam di tempat. Wajahnya tenang, seperti biasa. Tapi bukan tenang yang nyaman. Lebih seperti… kosong.
Laras menghela napas. “Arien… boleh aku ngomong sebentar?”
Tak ada anggukan, tapi juga tak ada penolakan. Jadi Laras melanjutkan.
“Aku… tahu aku salah. Aku terlalu maksa kamu buat ingat semuanya. Aku pikir kalau kamu bisa balik kayak dulu, semuanya akan baik lagi. Tapi ternyata enggak sesimpel itu, ya?”
Arien masih diam.
“Aku egois. Aku lupa nanya kamu maunya apa. Aku terlalu sibuk ngejar versi kamu yang dulu… sampai nggak lihat kamu yang sekarang juga butuh dijaga.”
Laras menunduk. Suaranya nyaris bergetar.
“Maaf ya, Rien…”
Masih tak ada respons. Tapi Laras tak menyesal mengatakannya.
Kadang, diam juga bisa jadi bentuk luka. Atau mungkin… bentuk maaf yang belum siap dibuka.
Dan Laras pun tahu—untuk kali ini, dia tidak boleh menuntut apa pun lagi.
Laras masih berdiri, menunggu.
Untuk sesaat, dia kira Arien akan tetap diam seperti biasanya. Tapi tiba-tiba gadis itu angkat bicara. Suaranya pelan—nyaris tak terdengar. Tapi setiap katanya menampar.
“Kamu mau aku sembuh… atau kamu cuma mau aku jadi kayak yang kamu ingat?”
Laras terdiam.
“Aku nggak lupa karena aku pengin. Aku juga nggak minta kalian repot-repot bantuin. Tapi kamu—kamu yang paling keras maksa aku buat ingat semuanya.”
“Karena aku peduli, Rien…” gumam Laras, pelan.
Arien menggeleng pelan. Tatapannya tajam.
“Kalau peduli, harusnya kamu nggak bikin aku sesak. Kamu bilang ini buat aku, tapi rasanya kayak buat kamu sendiri.”
Laras nyaris menangis. “Aku cuma pengin kita balik kayak dulu…”
“Dulu udah lewat, Ras.” Kalimat itu menghentikan napas Laras sesaat. “Dan aku nggak tahu apa aku pengin balik ke masa itu.”
“Apa… kamu benci aku sekarang?” suara Laras pecah.
Arien menatapnya. Datar. Tapi dalam.
“Enggak,” jawabnya lirih. “Aku cuma lagi belajar milih… siapa yang bikin aku tenang. Dan siapa yang bikin aku ngerasa dipaksa jadi orang yang udah nggak ada.”
Laras menunduk. Tak sanggup jawab apa-apa.
Untuk pertama kalinya, Arien bicara panjang—dan itu terasa jauh lebih dingin dari diamnya selama ini.