PAK Wusdi sedang duduk di pinggir lapangan, clipboard di tangan, matanya fokus pada nama-nama yang sudah ia tetapkan untuk turnamen antar sekolah. Nama Arien tertera jelas sebagai anggota tim basket perempuan—bukan hanya karena dia bagian dari ABAS, tapi karena dia punya teknik bertahan yang tak bisa dipungkiri.
Lalu datang Tyas. Langkahnya ringan tapi penuh perhitungan. Ia duduk tak jauh dari Pak Wusdi, berpura-pura melihat ke arah lapangan, lalu membuka pembicaraan seolah-olah hanya ingin berbagi keluh kesah.
“Pak…” katanya pelan, hampir seperti gumaman. “Saya nggak enak ngomong begini, tapi... Bapak tahu sendiri kan, Arien tuh… kurang bisa kerja sama tim.”
Pak Wusdi tidak langsung merespons. Ia hanya sedikit mengangkat alis, masih membaca data tim di tangannya.
Tyas melanjutkan, suaranya mulai lebih mantap. “Maksud saya, dia hebat sih Pak… tapi seringnya main sendiri. Teman-teman juga kadang bingung sendiri. Latihannya aja jarang ngomong. Kalau di lapangan, itu bikin susah.”
Masih belum ada jawaban. Tyas mengganti posisi duduknya. Ia menatap ke lapangan, lalu memainkan jari-jarinya di atas lutut.
“Bapak tahu nggak, kemarin aja waktu latihan, kami sempat mikir... mungkin, tim bisa lebih ‘hidup’ kalau ada pemain yang lebih aktif, yang bisa nge-lead juga dari dalam lapangan.” Ia menoleh sedikit. “Bukan cuma jago, tapi bisa nyatu.”
Pak Wusdi akhirnya mendongak. "Jadi maksudmu… kamu?"
Tyas tersenyum samar. “Kalau memang Bapak percaya. Saya tahu saya belum tentu lebih jago. Tapi saya bisa bikin tim solid, Pak. Teman-teman juga udah nyaman. Lagipula... turnamen ini tentang kerja sama, kan?”
Sunyi sejenak. Pak Wusdi menghela napas pelan, menatap daftar nama-nama di clipboard-nya sekali lagi. Hanya sepersekian detik, tapi di sana, coretan tipis mulai menggores nama Arien. Digantikan oleh tulisan baru—Tyas.
Sebelum berdiri, Tyas sempat berkata lirih tapi jelas, “Saya cuma ingin bantu tim menang, Pak. Lagian… kayaknya Arien juga nggak terlalu peduli.”
Kalimat terakhir itu menggantung di udara. Ringan, manis, tapi mengandung racun yang tak kasat mata.
***
Pak Wusdi berdiri pelan, clipboard di tangan masih terasa berat—bukan karena bobotnya, tapi karena keputusan yang baru saja ia ambil.
Ia berjalan menyusuri sisi lapangan, tapi pikirannya tertinggal di bangku tempat tadi Tyas duduk.
"Benarkah ini keputusan terbaik?" gumam batinnya.
Selama ini, Arien memang bukan tipe pemain yang ekspresif. Tidak seperti Tyas yang gampang akrab, gampang bicara, gampang dilihat orang sebagai 'wakil' dari sebuah tim.
Arien lebih seperti bayangan. Diam, tapi tangguh. Tidak banyak bicara, tapi selalu tahu harus berdiri di mana.
Ia tak pernah cari perhatian. Tapi sekali masuk lapangan, keberadaannya sulit diabaikan.
"Apa dia benar-benar nggak peduli…? Atau kita semua yang nggak pernah cukup peka?"
Pak Wusdi menatap papan skor lama-lama, meski tidak ada pertandingan berlangsung. Matanya sedikit menyipit.
"Anak sepertinya… nggak akan pernah protes."
Ia tahu betul, Arien bukan tipe yang akan ribut ketika dicoret. Tapi bukan berarti dia tidak merasa. Justru anak-anak seperti itu—yang menelan semuanya sendiri—seringkali yang paling terluka dalam diam.
Angin sore meniup rambutnya perlahan. Ada suara bola basket memantul di kejauhan.
Pak Wusdi menghela napas panjang.
"Aku cuma ingin tim ini menang," batinnya,
"Tapi kenapa rasanya seperti aku baru saja membiarkan satu anak kalah tanpa pernah diberi kesempatan bertarung?"
Ia berjalan lebih cepat, seolah ingin lari dari perasaan itu. Tapi tetap saja… perasaan itu mengikutinya.
Diam-diam, dalam langkahnya yang tampak tegas, ada satu hal yang terus membayang:
"Semoga aku tidak salah."
***
Udara panas baru saja berhembus pukul sepuluh. Embun telah sempurna mengering dari dedaunan. Di sudut lapangan basket, empat anak ABAS—Dwipa, Jasmine, Hannah, dan Laras—sedang membereskan botol minum dan peralatan. Wajah mereka merah karena latihan ringan bersama Pak Wusdi, tapi semangat terasa ringan dan santai.
“Eh, tadi asik ya,” kata Jasmine, mengusap keringat dengan handuk kecil.
“Ya, walau bukan latihan beneran, tapi lumayan gerak,” sahut Hannah.
“Tinggal nunggu Arien gabung, baru deh ABAS lengkap,” tambah Laras sambil tersenyum kecil.
Namun seketika, suasana berubah saat Pak Wusdi mendekat dengan clipboard di tangan.
“Oya, anak-anak,” katanya ringan. “Sekalian aja. Aku udah submit nama-nama tim buat turnamen antar sekolah minggu depan.”
Keempatnya langsung menoleh, antusias.
“Kalian berempat masuk, Laras, Jasmine, Hannah, Dwipa. Tapi ada satu perubahan. Arien aku coret, diganti Tyas.”
Hening.
Seolah waktu berhenti sesaat. Angin pagi yang tadi sejuk terasa dingin menampar wajah.
“Diganti… Tyas?” ulang Laras pelan, matanya berkedip beberapa kali seolah tak yakin mendengar dengan benar.
Pak Wusdi mengangguk “Iya. Kemarin dia datengin saya. Katanya Arien kayaknya lagi sibuk, banyak tugas, jadi takut nggak bisa fokus. Dia sendiri bilang dia siap bantu. Toh dia juga pernah ikut ekskul basket, ya kan?”
Jasmine menunduk, pura-pura memperbaiki tali sepatunya, meski sebenarnya hanya menutupi perubahan ekspresinya yang mendadak kosong. Dwipa berdiri kaku, napasnya pelan tapi berat. Hannah menatap lurus ke arah Pak Wusdi, tapi tak satu kata pun keluar.
Di dalam hati mereka, gelombang tak nyaman menggulung—tapi tak ada yang berani menyanggah.
Mungkin karena ini bukan pertama kalinya Tyas muncul membawa perubahan. Mungkin karena mereka masih ragu, apakah perasaan tidak enak ini memang valid, atau hanya perasaan bersalah yang tertinggal karena tak pernah benar-benar membela Arien.
“Oke, Pak,” akhirnya Hannah menjawab. Lirih.
“Siap, Pak,” sambung Jasmine, kali ini suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Kalau itu udah diputusin… ya udah,” ujar Dwipa, matanya menerawang.
Laras hanya mengangguk. Kali ini, tidak dengan senyum.
Pak Wusdi melenggang pergi, merasa tak ada yang janggal.
Sementara keempat anak itu hanya saling pandang. Tak satu pun dari mereka bicara. Hanya desahan napas dan tatapan yang menyimpan sesuatu yang lebih besar dari kata-kata—semacam penyesalan yang baru terasa saat semuanya sudah telanjur terjadi.
Di dalam hati mereka, nama Arien masih menggema. Tapi entah kenapa, tak satu pun dari mereka punya cukup suara untuk menyebutnya saat itu juga.
"Panggil Elen sekarang"
***
Tangga itu cukup sepi. Hanya ada Arien, duduk sambil membaca buku tebal yang ia pinjam kemarin, dan Elen yang baru turun membawa dua kotak susu dari koperasi sekolah. Langkah Elen sempat ragu waktu melihat Arien duduk sendirian. Tapi ia tetap mendekat.
“Hei,” sapanya, menawarkan satu kotak susu. “Cokelat, favoritmu kan.”
Arien melirik. “Hm. Makasih.”
Beberapa detik berlalu dalam diam, hanya suara anak-anak dari kejauhan yang ramai di koridor utama. Elen membuka mulut, lalu menutupnya lagi.
Akhirnya ia memberanikan diri.
“Tadi pagi Pak Wusdi ngumumin tim buat turnamen basket.”
Arien masih mengisap susunya, tak menanggapi.
“Yang masuk: Dwipa, Jasmine, Hannah, Laras… sama Tyas.”
Suara sedotan disedot terhenti
Arien menoleh pelan. Tidak terkejut. Tidak marah. Tapi ada jeda panjang dalam tatapannya, seolah sedang menunggu apakah Elen hanya bercanda.
“Aku?” tanyanya datar.
Elen menunduk. “Nggak masuk. Katanya… kamu sibuk. Banyak tugas. Tyas yang bilang gitu ke Pak Wusdi.”
Sunyi. Bahkan suara anak-anak di koridor pun seolah menghilang dari telinga Elen. Arien memalingkan wajahnya kembali ke arah depan, menatap langit kelabu yang menggantung rendah.
“Gitu.”
Satu kata, tapi rasanya seperti gema dari dalam lubang kosong.
Elen gelisah. “Aku pikir kamu udah tahu. Maaf baru bilang sekarang.”
“Bukan salahmu.”
Suara Arien tenang. Terlalu tenang.
Tangannya mencengkeram kotak susu yang tadi masih separuh. Ia berdiri pelan, merapikan tasnya.
“Lagi-lagi aku dikorbankan demi ego seseorang. Lucu juga.” senyum smirk-nya muncul
Ia tidak menoleh ke Elen.
“Apa aku terlalu mudah untuk disingkirkan?”
Elen ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
“Arien…”
Arien menghela napas. Bukan napas marah. Bukan kecewa. Lebih seperti seseorang yang sudah lama tak berharap, tapi tetap kena juga ketika harapan kecil itu diinjak-injak.
“Tenang aja. Nggak akan ada drama. Aku ngerti kok. Kayak biasanya, aku diam.”
Ia menoleh dan tersenyum tipis—senyum yang terasa lebih menyedihkan dari tangisan.
“Sukses ya buat tim kalian.”
Lalu ia melangkah pergi. Meninggalkan Elen berdiri di tangga, merasa lebih dingin dari angin yang barusan lewat.
***
Hari yang dinanti tiba
Suasana pagi itu ramai. Mobil-mobil dari sekolah lain memenuhi lahan parkir. Bendera-bendera kecil berkibar di sepanjang pagar, dan musik penyemangat diputar dari pengeras suara di panggung panitia.
Tim basket Scientama sudah berseragam lengkap. Dwipa, Jasmine, Laras, Hannah, dan Tyas mengenakan jersey biru laut dengan nama sekolah mereka tercetak tegas di punggung.
Di tribun penonton, anak-anak kelas delapan duduk berjejal, bersorak-sorai mendukung timnya. Tapi… dari atas, jelas terlihat. Formasi itu pincang.
Arien tak tampak di antara mereka.
Dan di sisi lain lapangan, lima anak cowok dari Strigiformes berdiri bersandar di pagar kawat. Arsel menyipitkan mata melihat Tyas ikut tim.
“Beneran Tyas yang gantiin?” Dilan mengabsen pemain dari Scientama dari kejauhan
Gilang mengangguk “Yap. Tadi pagi diumumin langsung"
Ivan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat lebih diam dari biasanya. Elen berdiri di sampingnya sambil menyilangkan tangan, menatap kosong ke lapangan.
Elen: “Kalau Arien yang main… aku yakin tim itu bakal sampai final.”
Ivan: “Arien bukan cuma bagus main… dia stabilin ritme tim. Nggak semua orang sadar itu.”
Lalu terdengar teriakan dari tribun barisan tengah.
“SEMANGAT ABAS!!!”
Tapi tidak ada nama Arien di antara yel-yel itu. Hanya nama tim, dan kadang… nama Tyas yang disebut
Wasit segera meniup pluit, melemparkan bola basket ke atas yang direbut kedua belah pihak
Tap!
Dwipa berhasil menangkap bola yang masih melayang di udara
Dwipa membuka permainan dengan dribble cepat, melemparkan bola ke Jasmine yang sigap memotong pemain lawan. Hannah menjaga pertahanan, Laras fokus, tapi ada satu titik yang terasa janggal: Tyas.
Bukan karena dia lemah. Tapi karena iramanya… tak sejalan. Beberapa kali, ia terlalu cepat bergerak sendiri, atau telat membaca passing dari Dwipa. Satu-dua kali ia berteriak minta bola dengan suara cukup keras, membuat suasana sedikit tegang.
Pada satu momen, saat Dwipa hendak melempar ke Laras, Tyas tiba-tiba meloncat memotong jalur bola.
Brakk!
Sikutnya tak sengaja mengenai dada Jasmine.
Permainan berhenti. Jasmine mundur sambil menahan nyeri. Semua menatap Tyas.
“Maaf! Aku kira bolanya buat aku…” Tyas mencoba membela diri, tapi tidak ada yang menanggapi.
Dwipa hanya menarik napas, mengangguk kecil ke wasit dan melanjutkan permainan.
***
Waktu jeda ronde dua dan tiga
Keempat cewek itu duduk di bangku tim. Peluh mengalir di pelipis, tapi lebih dari sekadar kelelahan—terlihat jelas, mereka menahan emosi. Tyas berdiri sendiri, mengikat ulang sepatunya, tanpa sadar bahwa tak ada satu pun yang menyapanya.
“Gue baru sadar… formasi kita udah berubah total.” Hannah bergumam pelan
“Dan bukan ke arah yang lebih baik.” Laras menghela napas pelan
Dwipa diam. Tapi matanya mencari ke sekitar lapangan. Ke tribun. Ke sudut bayangan. Mencari seseorang.
Tak ada Arien.
***
Sementara itu, di kursi penonton
Ivan berdiri. Pelan, ia berjalan keluar tribun, tanpa bilang apa-apa. Elen yang awalnya fokus ke permainan, melirik Ivan sekilas… lalu berdiri menyusul.
“Mau ke mana sih mereka?” Gilang melirik dua manusia yang baru saja keluar dari tempat penonton
Arsel mengangkat bahunya “Nggak tahu... feeling gue, mereka punya pikiran yang sama.”
***
Langkah Ivan menggema pelan di lorong belakang sekolah. Tangannya tetap di saku, napasnya tenang, tapi matanya penuh bayangan. Tanpa rencana, tanpa arah jelas, kakinya membawanya ke tempat yang hanya bisa ia pikirkan ketika butuh diam : perpustakaan.
Belok ke koridor samping—dan saat itu juga, di tikungan, muncul Elen.
Mereka hampir bertabrakan di depan pintu ganda perpustakaan yang setengah terbuka.
Ivan menghentikan langkahnya, terkejut
"…kamu? "
Elen agak terperanjat mendapati Ivan yang ia tabrak barusan
"Hah? Kok—kenapa lo di sini?"
Keduanya saling tatap. Tak ada yang tertawa. Yang ada hanya ekspresi sama-sama bingung, sama-sama heran, dan… sedikit canggung
"Gue juga harusnya nanya gitu ke lo." Ivan menjawab pelan bertenaga seperti biasa
Elen menghela napas pelan, ada sesuatu yang baru ia sadari
"Apa jangan-jangan kita... mikir hal yang sama?"
Ivan tak jawab. Ia hanya menggeser satu daun pintu pelan, memberi ruang bagi mereka untuk masuk. Elen ikut, diam-diam menelan rasa aneh yang menggantung di tenggorokannya.
***
Perpustakaan
Dan di sanalah dia.
Arien. Duduk sendirian, bersandar ke rak, dikelilingi buku, mata menatap kosong ke halaman terbuka.
Ivan dan Elen tak lagi merasa heran kenapa kaki mereka membawa ke tempat ini.
Sekarang, mereka tahu.
***
Sore hari, Selesai Pertandingan
Tim ABAS kalah di semifinal. Bukan telak, tapi cukup untuk memadamkan semangat. Beberapa guru mengucapkan “kerja bagus” dengan datar. Pak Wusdi sendiri hanya menepuk pundak mereka.
Pak Wusdi menepuk bahu Dwipa yang bergetar “Bisa kita evaluasi nanti... Tapi kalian udah berusaha.”
Mereka mengangguk. Tapi hati masing-masing terasa… kosong.