MATAHARI kembali terbit dari timur hati ini, menyambut hari yang baru diantara duka yang belum reda
Arien melangkahkan kakinya memasuki ruang kelas yang sepagi ini sudah rusuh. Fajar, orang yang ceroboh nya luar biasa, menumpahkan sabun pel Pak Don yang tengah mengepel didepan kelas, Gania yabg baru datang terpeleset. Tidak hanya terpeleset, bajunya pun basah semua
Gilang Ketua kelas teladan yang datang pagi-pagi segera memijat kening, Pak Don sendiri memukul keningnya pelan. Ada-ada saja kelakuan anak-anak ini, pagi-pagi susah membuatnya stress
Urusan itu segera selesai begitu Ivan datang. Dasar manusia sedingin salju, melihat sabun yang menyambutnya didepan kelas ia segera keluar lagi dari ruang kelas. Mencari kain pel--kain pel yang ada diember terlalu basah mungkin, lalu sekejap muncul lagi membawa kain pel yang lain. Membersihkannya hingga tuntas dengan cepat tanpa bersuara, Pak Don pun kalah cepat
Dua puluh menit setelah itu, bel masuk segera berdering. Anak-anak yang masih diluar segera berlarian menuju gedung SMP. Siswa-siswi yang tengah menyalin jawaban PR mempercepat gerakannya menulis, buru-buru menutup buku dan memasukkannya kedalam tas
Disusul suara sepatu guru yang melangkah menuju kelas jadwalnya mengajar pagi ini
Bu Mila memasuki ruang kelas 8B
"Kumpulkan tugas matematika yang kemarin" Kata beliau begitu sempurna berada di depan kelas. Itu standar kalimat sapaan guru matematika Scientama yang satu itu, termasuk hari ini, beliau menagih tugas yang diserahkan kemarin sebelum kemping ketika beliau tidak masuk
Semua murid yang berada dikelas segera mengeluarkan buku tulis matematikanya. Yang tadi menyontek jawaban temannya pun pura-pura mengeluarkan buku tulis dengan tenang, seolah dia mengerjakannya sendiri.
Standar pasar pelajaran matematika
***
Bel sekolah berdering kembali. Menandakan waktu istirahat pertama dimulai. Seluruh murid Scientama berhamburan keluar dari kelas masing-masing.
Tapi kelas 8B masih menutup pintu ruangannya
Bu Mila berdiri di depan kelas, tangan bersedekap, wajahnya dingin—bukan dingin biasa, tapi dingin yang membuat seisi ruangan menahan napas. Dari ketika pelajaran matematika dimulai sampai bel istirahat berdering, tidak satu pun siswa keluar. Dan tidak ada yang berani bertanya, "Bu, boleh ke toilet?"
"Anak-anak," suara Bu Mila tenang tapi tajam, "Kalian pikir saya tidak tahu siapa yang menyalin PR dan siapa yang benar-benar mengerjakannya?"
Suara gumaman langsung mati. Beberapa siswa menunduk, yang lain mencuri pandang ke arah teman sebangku.
"Saya mengajar kalian bukan supaya kalian jadi cepat-cepat pintar. Tapi supaya kalian jujur dalam belajar. Kalau kalian mengerjakan PR hanya karena takut dihukum, bukan karena mau belajar, maka kalian sedang membodohi diri sendiri."
Tangannya menunjuk salah satu buku di mejanya. “Lembar jawaban ini—isinya persis. Satu koma pun. Bahkan kesalahan penulisan angka pun ikut disalin. Kalian pikir saya tidak bisa mengenali itu?”
"Ini sudah yang kesekian kalinya saya menemukan jawaban yang sama persis seperti ini dikelas satu ini, lebih sering dibanding kelas lain. Bahkan anak kecil pun tahu semua harus dilakukan secara optimal dengan mandiri. Tidak malu hah kalian yang sudah beranjak remaja dengan anak TK? "
Beliau tahu betul, beberapa PR murid-murid nya ada yang baru saja ditulis, alias baru saja mencontek dengan temannya yang sudah mengerjakan PR
Beberapa siswa mulai resah, satu-dua melirik ke arah jendela yang sudah terbuka setengah—seolah ada harapan kabur.
"Saya tidak akan sebut nama. Tapi saya ingin kalian berpikir. Kalian ingin dikenal sebagai murid cerdas karena hasil sendiri, atau sekadar ikut-ikutan karena malas berpikir?"
Bu Mila melangkah pelan ke tengah kelas. Sepatu hak pendeknya beradu dengan lantai, membelah keheningan yang menyesakkan.
"Zaman sekarang, banyak orang bisa pintar karena teknologi. Tapi jujur? Itu pilihan."
Tatapannya mengitari satu per satu wajah muridnya. Tak ada yang berani balas tatap.
“Kalian kira PR itu beban? Salah. PR itu kesempatan. Untuk tahu sejauh mana kalian paham. Kalau kalian cuma menyontek, kalian sedang buang kesempatan itu."
Tiba-tiba, bel istirahat kedua berbunyi—tanda waktu belajar kembali dimulai.
Bu Mila tersenyum tipis, dingin.
"Selamat istirahat, anak-anak. Oh, tunggu. Sepertinya istirahat kalian sudah habis."
Beliau beranjak dari depan, menuju pintu "silakan ambil buku pelajaran selanjutnya, ada baiknya bila ada PR dari guru yang ini dan kalian belum mengerjakannya lebih baik tidak usah dikerjakan sekarang. Lebih baik dihukum didepan daripada membuat guru kalian berceramah, iya bukan? "
Bu Mila keluar dari ruang kelas 8B. Begitu ketukan sepatunya menjauh, gumaman-gumaman yang terkunci segera meluncur dari beberapa siswa hingga guru mapel berikutnya, pelajaran Seni budaya, Bu Retna memasuki kelas
Membungkam kembali mulut-mulut yang siap mengomel
***
Begitu pelajaran selesai, kelas 8B bubar dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Tidak ada sorakan, tidak ada tawa. Aura kelas itu seperti habis diguyur hujan deras—lembap dan muram.
Arsel melipat kertas PR-nya dan memasukkannya ke saku tanpa suara. Di sebelahnya, Gilang hanya bersandar di kursinya, menghela napas.
“Gue nyerah,” bisik Gilang. “Gue cuma nyontek dua nomor, tapi deg-degan-nya kayak dihukum mati.”
Dilan yang duduk di barisan belakang menyentuh bahu Elen. “Lu ngerti nggak tadi Bu Mila maksudnya siapa?”
Elen mengangkat alis. “Ngerti, dan kayaknya satu baris ini semua nyontek dari Laras.”
Laras yang mendengar langsung menoleh. “Jangan gitu, woy. Gue nggak kasih nyontek. Mereka maksa ngintip!”
Di bangku tengah, Jasmine tampak kikuk. Ia diam saja sepanjang pelajaran tadi. Arien, yang duduk tak jauh dari situ, hanya menatap kosong ke papan tulis, tak mengeluarkan satu kata pun.
“kamu oke?” Ivan bertanya, setengah berbisik ke arah Arien.
Arien menoleh sedikit, menahan gumaman. “Nggak nyangka aja. Udah kerja keras semalaman, ternyata yang nyontek malah aman karena Bu Mila nggak sebut nama.”
Ivan mengangguk pelan. “Tapi semua orang tahu siapa yang kerja sendiri dan siapa yang nempel kayak lintah.”
Di sudut kelas, Hannah dan Dwipa sedang berdebat kecil. Hannah kesal karena PR-nya jadi bahan contekan, padahal ia sudah susah payah mengerjakannya.
“Gue tuh bantuin lo, bukan buat lo semua salin plek ketiplek,” katanya dengan suara tertahan marah.
Tyas, yang duduk tepat di belakang Hannah, hanya menyeringai. “Ya kan yang penting jawabannya bener. Lagian, bukannya kamu seneng nilainya bagus semua?”
Jasmine langsung berdiri. “Udah deh, Tyas. Lo pikir semua orang kayak lo, yang kalau bohong mukanya tetep cantik?”
Kalimat itu bikin beberapa orang tertawa kecil, tapi canggung.
Di luar kelas, bel istirahat sudah lama berhenti. Tapi kelas 8B masih penuh bisik-bisik, saling pandang, dan sisa-sisa rasa bersalah yang menggantung di udara.
Dan di tengah itu semua, Arien berdiri, berjalan pelan ke arah pintu tanpa bicara.
Barangkali hari ini bukan hari yang baik, tapi setidaknya, ia tahu—ia tetap jujur pada dirinya sendiri.
***
Sore hari mulai menurunkan sinarnya perlahan. Langit di atas Scientama memudar ke jingga, dan derit ring basket kembali terdengar dari lapangan belakang sekolah.
Latihan sore ABAS seperti biasa
Hannah menggiring bola dengan cekatan, melemparkan umpan ke Dwipa yang langsung menyusul dengan tembakan lay-up. Bola masuk sempurna. Laras bersorak kecil sambil menepuk tangan, sementara Jasmine mengambil bola yang memantul dan menggiringnya kembali ke tengah lapangan.
Tak ada Arien di tengah mereka
Biasanya, meskipun jarang banyak bicara, Arien tetap ikut main. Ia punya cara main yang dingin tapi efektif—umpan cepat, langkah lincah, dan tatapan fokus yang sulit dibaca. Tapi hari ini, hanya mereka berempat.
Seperti biasa, Arien sibuk dengan les mapel
“Kayak ada yang kurang ya,” celetuk Hannah sambil mengikat rambutnya yang setengah lepas.
“Yaelah, biasa aja. Arien mungkin lagi nggak mood,” sahut Dwipa, terdengar sedikit enggan.
Namun percakapan mereka terhenti saat langkah berat Pak Wusdi mendekat, membawa clipboard dan peluit di lehernya.
“Anak-anak!” panggilnya lantang. “Saya mau kasih info penting.”
Keempat cewek itu segera berdiri tegak.
“Sekolah kita dapet undangan buat ikut turnamen basket antar-SMP se-Bogor bulan depan. Dan saya udah daftar tim putri kita. ABAS. Kalian berlima.”
Mata Jasmine langsung membesar. “Lima, Pak?”
“Iya. Dwipa, Jasmine, Hannah, Laras… dan Arien,” ucap Pak Wusdi mantap. “Kalian komplet. Saya percaya sama kerja sama kalian. Apalagi waktu lawan SMP Tunas Muda semester lalu, yeah, walau itu cuma gabutan kalian, tapi itu luar biasa”
Keempatnya saling pandang. Anggukan mereka cepat dan semangat. Tapi ada satu hal yang tak satu pun dari mereka ucapkan:
Belum ada yang memberi tahu Arien.
Sore semakin tua. Mereka tetap main sampai peluh membasahi kaus masing-masing. Tapi tak ada satu pun yang mengangkat ponsel. Tak ada yang mengajak Arien bergabung, bahkan untuk sekadar bilang, “Eh, kita dapet kabar penting.”
Dan di balik jendela ruang kelas yang mulai kosong, Arien berdiri sendirian, menatap ke arah lapangan.
Mereka tertawa. Mereka berempat. Dan ia tidak di sana.
***
Keesokan harinya, jam istirahat pertama.
Lapangan sekolah ramai seperti biasa. Di antara anak-anak yang berkumpul untuk beli jajanan atau sekadar duduk ngobrol, empat anggota ABAS duduk bersama di salah satu bangku semen dekat taman.
Hannah sedang membuka kotak makan. Laras menggulir layar ponsel. Jasmine menyesap minuman kotak pelan. Dwipa menatap ke arah lapangan basket kosong.
“Eh,” Jasmine angkat suara tiba-tiba. “Arien udah dikasih tahu soal turnamen belum?”
Yang lain terdiam.
Laras mengerutkan dahi. “Bukan kamu yang mau ngomong ke dia?”
“Aku kira Dwipa,” potong Jasmine cepat.
Dwipa langsung mengangkat tangan. “Enggak, aku pikir Hannah yang deket sama dia lagi sekarang.”
Hannah terdiam, pandangannya turun ke kotak makannya.
“…Aku lupa,” gumamnya.
Semua langsung saling pandang. Hening.
" Kita semua lupa?” bisik Laras dengan wajah bersalah.
Dwipa menutup wajahnya dengan tangan. “Parah banget sih…”
“Dia pasti mikir… ya kamu tahu lah, kayak biasa,” kata Hannah pelan. “Kayak dia nggak penting.”
***
Sementara itu, di dekat kantin.
Arien sedang duduk di salah satu kursi plastik, sendirian seperti biasa, membuka kotak nasinya pelan-pelan. Di depannya, Elen berdiri, ragu-ragu, sebelum akhirnya duduk juga.
“Arien,” katanya tanpa basa-basi, “kemarin Pak Wusdi ngumumin. Kalian—ABAS—ditunjuk ikut turnamen basket antar sekolah.”
Arien menoleh perlahan. “Baru ngasih tahu sekarang?”
“Disuruhnya baru tadi pagi,” jawab Elen cepat. Lalu ralat, “…Sebenarnya, disuruhnya kemarin sore. Tapi nggak ada yang nyamperin kamu, jadi aku disuruh.”
Arien tak menjawab. Ia hanya menunduk lagi, menyuap makanannya tanpa ekspresi.
Elen menambahkan, hati-hati, “Mereka kayaknya nyesel. Tadi mereka ngobrolin itu.”
“Baguslah,” sahut Arien datar. “Mereka sadar.”
Elen menatap sahabatnya itu dalam-dalam. Ia tahu, meski nada bicara Arien tenang, luka kecil di dalamnya baru saja ditambah satu lagi.
“Kalau kamu masih mau ikut, Pak Wusdi bilang latihan mulai besok sore.”
Arien mengangguk pelan. Tapi tak mengatakan setuju atau tidak.
“Thanks, Elen,” ucapnya akhirnya. “Udah bilang langsung.”
Elen hanya tersenyum kecil dan bangkit berdiri. Sebelum pergi, ia sempat menepuk pelan bahu Arien, seolah ingin bilang: kamu nggak sendirian sepenuhnya.