SATU hari setelah kejadian sore itu
Anak-anak Scientama belum bisa masuk sekolah hari ini.
Gedung belakang SD terbakar setengahnya. Gudang dengan isinya, kamar mandi sampai closet-closet-nya, ruang UKS se kotak P3K-nya dan dua kelas yang berada dibelakang. Kelas 6C dan 6D
Begitu pula gedung SMP. Kantor kepala sekolah terbakar hampir seluruhnya, menyisakan sebuah bundelan dokumen yang berada di atas lemari kaca. Dua ruangan kantor guru, ruang olahraga dengan seluruh peralatan olahraga nya--yang membuat Dwipa menangis tersedu-sedu, ruang kelas 7A dan setengah ruangan toilet. Sisanya masih aman. Terutama lantai dua. Jadi ruang-ruang kelas--selain ruang kelas 6A, mereka masih utuh semua.
Menyebabkan ABAS sedang nongkrong di sebuah kafe hari ini
Sepagi ini, setelah bersih-bersih rumah, Arien sudah menyalakan sepeda motor hitamnya. Memanaskannya. Mengeluarkan nya dari garasi motor.
"Kak Arien mau kemana? " Azura keluar dari rumah begitu mendengar suara mesin mitir dinyalakan. Dia juga tidak sekolah hari ini. Dia juga bersekolah di Scientama, tentu di SD-nya
"Ada janjian sama temen" Arien menjawab singkat. Memeriksa kembali tas selempang nya.
"Kakak sudah mencuci baju? " Dia bertanya lagi
Arien mengangguk. Bersiap menarik gas motornya
"Ih, bajuku ketinggalan kak"
"Yasudah, cuci saja sendiri" Arien menjawab cuek.
"Ih, tolong kak. Aku juga ada janjian dengan temanku" Azura mulai merengek
Arien menggeleng "itu konsekuensi dari kkau yang telat mandi. Makanya kalau disuruh mandi dari tadi nurut!"
"Ih kak, cuma bajuku saja ini.. " Satya memelas. Menatap kakak perempuan nya dengan tatapan memohon
"Nah, cuman bajumu saja kan? Gampang lah nyuci mah. Tinggal isi air sama sabun di mesin cuci, masukin bajunya, sepuluh menit buang airnya bilas baju nya, ganti sama air bersih masukin pewangi. Cuci lagi di pewangi. Keringin selesai deh tinggal dijemur"
"Ih kakak, aku tidak bisa pakai mesin cuci.. " Azura mencari alasan yang lain
"Haaa, makin gampang lagi. Tinggal isi air sabun di ember, rendem baju kamu, bilas, isi lagi ember sana air bersih dan pewangi, rendem, peres, selesai. Tinggal dijemur"
"Ih kakak baju ku doang iniii"
"Udah ya, kakak udah di spam sama temen kakak. Dadah! " Arien buru-buru menarik gas motornya dalam dalam. Segera meninggalkan halaman rumah
Meninggalkan Azura yang masih bersungut-sungut di teras. Nasib punya kakak kayak gini. Yasudah lah, mencuci sekalian mandi nggak lama lama ini
Sedikit cuplikan dari keributan pagi hari di rumah Arien. Untung tadi hanya Arien dan Azura. Kalau ada Ali lebih seru kagi tema ribut mereka. Bisa karena masalah cuci baju, cuci piring, masak atau beli sarapan, nyapu rumah dan lain-lain. Pokoknya ada saja yang bisa mereka ributkan kalau sedang mengerjakan pekerjaan rumah
Begitulah keluarga dari pasangan Raka Dharma Utomo dan Sekar Ayu Paramita. Walaupun mereka tergolong keluarga kaya tapi mereka menanamkan kedisiplinan dan kemandirian pada anak-anak mereka. Mudah saja sebenarnya membayar lima pembantu sekaligus, tapi itu tidak dilakukan, ini semua demi kemandirian anak-anak nya dimasa depan
Arien meluncur menuju rumah Dwipa
***
Halaman rumah Dwipa ramai. Ada tiga sepeda motor--tambah motornya
Arien mendorong pintu rumah. Mengucapkan salam. Jawaban salam terdengar dari pantai dua
"Eh, akhirnya dateng juga nih satu Raden Roro lagi. Silakan masuk Kanjeng Roro, jangan sungkan. Mamah gue lagi keluar belanja" Dwipa nampak berdiri di anak tangga. Tersenyum (sok) ramah menyambut Arien
Arien tidak membalas. Hanya melambaikan tangan. Menaiki anak tangga menuju ruang tengah atas rumah Dwipa
"Hei, sejak kapan udah disini? " Sapa Arien begitu mendapati teman-temannya sudah asyik bercengkrama
"Lumayan, lima belas menit yang lalu lah. Kalau Elen sepuluh menit yang lalu" Hannah menjawab. Menyeruput teh dingin didepannya
"Pagi pagi sudah minum es, heh? "
Hannah nyengir. Mengangkat bahu. "Nggak tahu tuh, tuan rumah nyajiin-nya es teh"
Elen menepuk lantai "sudah-sudah. Karna semua peserta konferensi sudah hadir semua mari kita mulai konferensinya"
"Konferensi konferensi, konferensi apaan dah ngedapang di ruang santai" Dwipa tertawa mendengar Elen ngomong begitu tadi
"Konferensi bahas markas baru kata, Laras mah" Elen menjawab santai. Melirik Laras yang kalem menonton anime di ponselnya
"Woi! Panitia harap tidak nonton husbu dulu. Ada yang lebih penting dari natepin husbu! " Jasmine merebut HP dari tangan Laras
Laras hanya melotot. Tidak banyak komen apa-apa ketika Jasmine mengambil HP-nya menghela nafas sejenak
"Intinya kita mau bilang ke yayasan kalau boleh nggak bunker dibawah lapangan basket kita pakai" Laras berbicara setelah terdiam sejenak
"Siapa yang mau ngomong begitu? " Arien bertanya
"Ya kamu lah, Rien. Siapa lagi? " Elen menjawab
"Heh? "
"Siapa lagi coba yang paling pinter ngomong diantara kita? Terus, kan elu anak pendiri bunker-nya. Pasti gampang bujuknya kalau elu yang ngomong" Elen mengangkat bahu. Nyengir lebar lihat muka Arien jadi mendadak masam
Jangan-jangan habis ini gua jadi jubir ABAS lagi. Mendengus kencang. Terdiam beberapa saat membuat yang lain menunggu
"Terus begitu kalian mengandalkan aku sekarang apa jangan-jangan habis ini aku disuruh jadi jubir kalian gitu? " Arien mendelik. Menatap teman-temannya yang tiba-tiba serempak menyeringai
"Sepertinya kita semua dah satu koneksi, Arien sudah bisa menebak apa yang kita pikirin" Hannah menjentikkan jarinya. Tertawa senang
"Kenapa nggak Laras aja sih? Kan bapak dia yayasan bagian sistem kurikulum" Arien bertanya lagi
"Rien, tinggian mana coba pemilik gedung yayasan apa wakil yayasan bagian sistem pendidikan? " Laras balik bertanya. Menatap Arien dengan tatapan mengejek khasnya
Arien mendengus. Tidak menanggapi. Memutar kedua bola matanya malas
"Ayolah Arien, elu udah anak pemilik gedung yang asli, terus anak donatur terbesar disekolah, nggak pernah absen rangking satu sama anak teladan lagi. Guru-guru juga percaya ke elu, coba kalau yang bilang Dwipa atau malah Elen, boro-boro ditanggepin ditatap balik juga kagak, Rien " Hannah mulai memelas. Berlutut dihadapan Arien. Kalau saja muka Arken tidak masam begitu Dwipa, Jasmine, Laras dan Elen sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi muka Hannah dan posenya memohon pada, Arien. Seperti seorang pria yang tengah membujuk seorang gadis.
Arien sekali lagi menghela nafas pasrah "Yaudah deh, kapan tu ngomong ke yayasan-nya? " Akhirnya yang dibujuk bersuara
Mata Hannah melebar. Senang mendengar jawaban teman dekatnya yang satu ini "besok bisa kan kanjeng roro? "
Arien menghela nafas lagi. Mengangguk sebelum Hannah membujuknya dengan pose yang jangan-jangan lebih aneh lagi. Dan sejak kapan ni teman-temannya tau di nama dia ada nama Raden Roro-nya?
Yes! . Yang lain mendesis yes berbarengan. Mengepalkan tinju senang
"Dah aku mau duduk. Dari pas masuk sini sampe lima belas menit kemudian aku berdiri kayak begitu! Pegel tahu! " Arien duduk sembarangan diatas tikar yang digelar dihadapannya. Meluruskan kaki
"Oh iya, maaf kan kanjeng raden" Hannah lagi-lagi nyengir lebar. Dengan cengiran khasnya yang menyebalkan dan minta di tabok
"Ada yang mau mabar? " Dwipa mengambil ponsel dari meja tivi. Bertanya
"Boleh langsung aja! " Elen menanggapi. Menyalakan ponsel nya
"Ikut! "
***
Siswa-siswi Scientama High School kembali bersekolah dua hari setelah kebakaran itu. Entah menggunakan jasa renovasi apa yang secepat itu, hanya dua hari. Sebanyak apa tukang bangunannya atau menang se profesional itu atau jangan-jangan candaan Arien kalau dibantu jin yang bikin candi 999 candi itu betulan?
"Ya nggaklah! Sekolah segede gini ya jelas pakai jasa tukang bangunan yang profesional lah! Dan yang rusak kan nggak ada, setengah gedung. Ya kalik pakai jin-jin begitu, mau jadi apa kita kalau sekolahnya aja di bangun pakai jasa begituan? " Laras sewot mendengar Arien nyeletuk asal begitu. Seperti reaksi Laras kalau disewoti orang malah nyengir, Arien pun begitu, malah nyeringai lebih lebar
"Tumben ngomong nya bagus begitu. Jangan-jangan kamu ketempelan sesuatu nih" Hannah nyeletuk seperti biasa
Laras melotot "ya nggak lah, temen lu ini emang sebenarnya se pinter itu, cuma gara-gara temenan sama orang nggak waras aja jadi begini. Lagian kan merupakan sebuah kewajiban untuk meluruskan sebuah kesalahan pahaman"
"Ssssst! " Desta si wakil ketua mendesis kencang. Membuat anak-anak yang duduk di bangku barusan belakang itu terbungkam
Arien hanya menahan tawa. Melihat ekspresi wajah teman-temannya yang mendadak serius menatap papan tulis berhias rumus matematika
***
Bel kepulangan SMP yang ditunggu-tunggu 150-an murid itu.
Termasuk anak-anak ABAS ditambah Elen yang sekarang kadang-kadang diajak Dwipa ikut jalan
Tapi berbeda dengan yang lain, mereka menuju ruang yayasan, ruangan di sebelah ruang layanan di gedung yang terpisah dari gedung SMP dan SD. Bangunan tersendiri berpintu dua, pemisah area SD dan SMP
Laras mengetuk pintu ruangan itu
Tiga menit, ada yang menjawab "silakan masuk"
Laras mengangguk. Mendorong pintu di hadapannya
Sebuah ruangan seluas 7×5 meter. Berisi sebuah meja besar bertaplak merah yang dikelilingi sepuluh kursi berwarna sama. Tiga lemari kaca berwarna hitam, dan empat meja kerja di sudut-sudut ruangan
Pak Jaya, kepala yayasan yang dikenal bijak dan terbuka. yang nampak tengah serius memandangi laptopnya mengalihkan pandangannya menjadi kepada anak-anak yang barusan mengetuk pintu ruangan nya itu
"Ada yang bisa bapak bantu? " Bertanya ranah pada enam remaja yang mengenakan seragam putih rompi kotak-kotak cokelat-hitam dengan dasi hitam "kalau untuk Laras, bapaknya sedang rapat diluar. Kalau minta dijemput katanya tungguin aja dulu"
Laras hanya mengangguk pelan. Kalem, ayem. Hannah dan Dwipa sampai pangling lihat ekspresi Laras yang satu itu
Arien maju berbicara, “ Begini Pak, kami ingin meminta izin memakai ruangan bawah tanah bekas penelitian itu sebagai ruang belajar kelompok kami. Apa boleh?”
Wajah Pak Jaya berubah serius "ruang bawah tanah? "
"Iya Pak, laboratorium lama punya perusahaan itu" Jasmine yang nengangguk
"Oh iya" Sepertinya beliau baru mengingat beberapa hal lalu kembali menatap enam remaja di hadapannya
Akhirnya beliau mengangguk. Membuat anak-anak itu tersenyum lebar “Kalau kalian bertanggung jawab dan menjaga rahasia, saya beri izin. Ini kesempatan bagus untuk kalian belajar dan bertumbuh.”
"Siap Pak! Kami akan mengingat terus kalimat itu! "
Malam itu, kala siswa-siswi lain enggan berlama-lama di sekolah, justru mereka di bawah cahaya lampu redup yang menggantikan lampu rusak bunker bekas laboratorium 'Sinar Nasional', Arien, Laras, Hannah, Dwipa, Jasmine, dan Elen membersihkan dan menata ruangan itu.
“Markas ABAS resmi berdiri,” kata Elen sambil meletakkan bola basket di sudut.
Mereka tersenyum bersama, tahu bahwa perjalanan misteri dan persahabatan baru saja dimulai.