Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sendiri diantara kita
MENU
About Us  

DI balik dinginnya lorong-lorong bawah tanah Scientama, mereka bukan sekadar sekumpulan anak yang tersesat. Mereka adalah anak-anak sinar—penerus cerita yang pernah redup tapi tak pernah padam. Dengan langkah pelan dan hati penuh tanya, Arien dan teman-temannya menapaki jejak masa lalu, membawa harapan baru yang mulai menyala di kegelapan.

Berawal dari kebakaran gedung belakang SD yang dekat dengan gedung depan SMP. Laras yang tersandung oleh tali sepatunya sendiri, Elen yang hampir pingsan di tangga darurat dan jatuhnya mereka di lubang lembek misterius yang diinjak Laras

"KEREN! " seru mereka berenam begitu lampu dinyalakan oleh Hannah

Itu ruangan yang luas. Seluas lapangan basket. Ada tiga sofa, satu lemari kayu, tiga meja kayu, dan beberapa tumpukan kardus di sudut ruangan lainnya

Juga kabel-kabel tua, dan rak besi penuh tabung-tabung transparan kosong. Bahkan disalah satu sudut ruangan ada komputer tua yang bahkan masih pakai layar tabung.

Terakhir, yang paling mencolok, ada sebuah papan nama besar di dinding beton. 

Tulisannya sudah pudar, tapi masih bisa terbaca

"Astaga.. Kita ada di laboratorium rahasia ceritanya nih? " Dwipa berdiri mendekati benda benda itu dengan antusias. Mematikan senter ponselnya. Bahkan Hannah sudah loncat ke salah satu sofa yang paling besar ditengah tengah ruangan. Diikuti Laras dan Jasmine

Arien menghela nafas kesal “Makasih, Ras. Berkat lo, kita masuk scene Stranger Things lokal,” gerutunya datar. Menggelengkan kepalanya melihat kelakuan teman-temannya. Hannah, Jasmine, Laras malah tidur-tiduran di sofa. Dwipa dan Elen asyik utak-atik benda-benda yang telah berumur di meja-meja panjang

Arien menghela nafas lagi. Mendekati lemari kayu. Membukanya. Dia harus segera mencari petunjuk menuju jalan keluar dari bunker ini. Mungkin bekerja sendiri lebih baik dan lebih cepat daripada bekerja sama dengan lima bocah itu. 

Tidak ada apa-apa yang menarik atau seperti jalan keluar. Arien kembali menutup pintu lemari

Meja-meja panjang. Tidak ada. Rak buku. Tidak ada juga. Lemari botol-botol praktikum. Juga tidak ada. Kolong meja, kolong sofa, bahkan dia cari di balik cover sofa

"Nyari apa sih kau, Rien? " Dwipa bertanya. Aneh melihat Arien bertingkah begitu. Ke kolong meja ke kolong sofa ke kolong lemari. Nggak ilfeel apa megang-megang sesuatu? 

"Nyari petunjuk jalan keluar gitu. Atau peta denah? Kita tidak bisa berlama-lama disini. Kita bakalan dicari-cari, ngerepotin itu"

"Oh iya ya. Pantesan ada apa yang kurang-kurang gitu. Gua lupa ini di bunker, bukan di ruang yang enak" Hannah beranjak dari sofa. Ikut mencari peta seperti yang Arien cari

Arien menghela nafas pelan. Kemana aja sih tu orang? Kok baru nyadar sekarang? Pikirnya

Yaudah deh, seenggaknya ada yang udah nyadar dan mau ngebantuin

Arien kembali memeriksa meja besar di tengah-tengah ruangan yang dikelilingi tiga sofa. Memeriksa kolongnya sekali lagi. Ada tumpukan kliping dan koran hitam putih. Dia sudah mendapati barang-barang itu saat mengecek meja ini pertama tadi. Mungkin ada baiknya dia baca-baca kliping-kliping yang ia temukan itu

Gadis itu menarik tumpukan kliping dari kolong meja. Membukanya satu persatu

"Nyari apa, Rien? " Laras memandangi Arien yang sibuk dibawahnya. Menguap. Dia tertidur sekejap di sofa. Walaupun sofa itu sepertinya sudah puluhan tahun yang lalu. Tapi sepertinya pemilik bunker ini sangat menjaganya dengan baik, sampai sekarang masih utuh 

"Nyari petunjuk keluar" Arien menjawab tanpa menoleh

"Petunjuk keluar? "

"Iyalah Ras, lo mau kolot disini? Lumayan sih, kalo mati yaudah nggak usah ngapa-ngapain lagi. Udah di tanah ini" Jasmine di sofa sebrang yang menjawab

Laras diam sebentar. Iya juga. Dia tidak mau tua dan mati disini seperti yang Jasmine bilang tadi

"Aha! Ketemu! " Arien berseru senang tiba-tiba

"Nemu apa, nemu apa? " Hannah, Dwipa, Jasmine, Elen dan Laras mendekati Arien. 

“Ini... peta ruang bawah tanah?” gumam Laras matanya menyusuri garis-garis dan tanda-tanda yang tak begitu jelas.

Arien mengangguk pelan. Mencoba membaca garis dan tanda yang mulai pudar pada peta

Hannah mendekat, “Lihat, itu ada jalur keluar di sisi utara. Tapi ada beberapa ruangan yang dikunci. Mungkin kita bisa cari jalan lewat sini.”

Dwipa menunjuk sebuah simbol berbentuk segitiga kecil, “Apa ini?”

Elen ikut memandang simbol yang ditunjuk Dwipa “Biasanya simbol kayak gini buat markir ruangan khusus atau alat penting. Bisa jadi kunci buat buka pintu terkunci.”

Hannah mengambil peta, “Kalau kita ikuti jalur ini, kita bisa keluar lewat tangga darurat yang tadi kita pakai. Tapi harus hati-hati, beberapa bagian gelap dan mungkin jebakan.”

Arien menatap teman-temannya, “Kita harus tetap bersama. Kalau ada apa-apa, kita saling bantu.”

Semua mengangguk. Meski hati sedikit berdebar, mereka tahu ini bukan cuma soal jalan keluar. Ini seperti sedang mencari masa lalu dan menghadapi misteri yang sudah lama terkubur.

"Ayo lanjut" Arien mengambil peta dari tangan Hannah

"Emang lu bisa baca peta, Rien? " Hannah bertanya begitu peta diambil dari tangannya

"Eh iya dong. Gua nggak bisa baca peta" Aruen menggaruk rambutnya yang tak gatal. Menyerahkan peta itu kembali pada Hannah

"Huuuu" 

Arien cuma nyengir. Setidaknya dia bisa memecah ketegangan yang mendadak datang itu

Enam anak itu beranjak dari ruangan utama

"Eh, sebentar" Arien menatap tembok dengan serius

Arien menghentikan langkah nya. Mendekati papan itu. Tangannya mengusap debu dari dinding. Pandangannya terpaku pada sesuatu: sebuah papan nama tua dari logam, nyaris terhapus, tapi masih bisa terbaca samar.

“LAB PENELITIAN – LEMBAGA SINAR NASIONAL”
Ketua Proyek: Dr. S. Utomo

Arien mematung.

“S. Utomo?” ulang Hannah pelan.
Laras menoleh. “Nama belakang lo... Utomo juga, kan?”

Arien nggak langsung jawab. Tangannya meraba huruf-huruf itu, dingin seperti ruangannya.
Hanya dia tahu—itu bukan nama yang asing.

Itu nama yang pernah tertulis di kotak dokumen tua di rumahnya.
Nama yang sering disebut dalam bisikan keluarga, tapi tak pernah dijelaskan

"Ada apa, Rien? " Hannah menatap mata Arien yang tak berkedip sedari tadi

Arien buru-buru memalingkan pandangan nya dari papan itu. "Nggak, gapapa. Yok lanjut sebelum ketempelan makhluk-makhluk lain yang menghuni disini" Arien kembali berjalan. Sementara teman-temannya hanya menatap punggungnya dengan heran

"Eh bentar" Dwipa menghentikan langkah nya membuat yang lain ikut berhenti

"Ada apa? " Jasmine bertanya

"Lampunya dimatiin nggak? " Menunjuk saklar lampu

Arien mengibaskan tangannya. Dia kira ada yang ketinggalan apa gitu. Ternyata cuma itu doang "serah kau"

Dwipa mengangguk. Berlari-lari kecil ke tempat saklar

CKLAK! lampu ruang utama mati

Mereka terus menyusuri lorong didepan mereka. Hannah memimpin didepan diikuti Arien, Laras, Jasmine, Dwipa dan terakhir Elen

Langkah mereka semakin pelan, suara sepatu menyapu lantai bergema samar. Di ujung lorong, sebuah kotak logam kecil setengah tersembunyi di balik tumpukan kabel kusut menarik perhatian Jasmine.

“Eh, coba lihat ini,” katanya pelan sambil menunjuk.

Arien berjalan mendekat, matanya fokus--walau tanpa kacamata. Ia mengangkat kotak itu perlahan, merasa berat di tangan. Di permukaan kotak terdapat sebuah kunci tua, berkarat, namun bentuknya unik.

Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya beberapa detik. Ada sesuatu yang berbeda dari benda ini, seperti tanda yang ia lihat di peta.

Dwipa mendekat, “Mungkin ini kunci salah satu pintu yang terkunci di peta? Atau ini yang ditunjukin sana lambang segitiga di peta tadi, jadi petunjuk kalau nyari kunci cadangan mungkin”

Arien mengangguk pelan. “Bisa jadi.”

Laras menoleh ke Arien, “Lo yakin mau bawa itu?”

Arien menatap teman-temannya, lalu menjawab dengan suara tenang, “Kita harus bawa. Bisa jadi ini bagian dari jawaban.”

Tidak ada kegembiraan berlebihan di wajahnya, hanya keseriusan dan rasa penasaran yang dalam.

 “Kalau gitu, lanjut. Kita lihat apa yang bisa kita buka.” Elen mengangguk setuju

Mereka melangkah pelan, membawa kunci tua itu seperti membawa harapan kecil yang siap terungkap.

"Itu ada tangga! "

***

Mereka sampai di permukaan tanah. Setelah menyusuri sekitar dua puluh tiga anak tangga mereka menemukan pintu besi. Arien mencocokkan kunci tua yang ia bawa. Mciba membuka pintu dengan kunci itu

Pintu terbuka mudah. Mereka keluar dari bunker itu. 

Mereka telah berada di sebuah kahan kosong dibelakang lapangan basket. Laras yang biasanya buru-buru kalau sudah berada di tempat-tempat agak-agak ngeri begini malah jadi yang paling mager buat ngelanjutin jalan. Meminta teman-temannya berhenti sejenak. Dia meluruskan kaki dulu. 

"Tumben nggak ngibrit kayak biasanya" Jasmine basa-basi bertanya

Laras hanya mengibaskan tangan. Jangan diingetin dong! Lagi nggak ada tenaga nih! ​​​​​​. Begitu maksud lambaian tangannya. Jasmine hanya terkekeh. Biasanya dia yang takut ada 'sesuatu' kalau diam lama-lama disini, lah sekarang dia yang minta berhenti di tempat ini

Sesosok manusia nampak oleh Arien mendekati tempat mereka diam

Elen yang juga menyadari ada orang yang mandekat buru-buru menutup pintu bunker. Pura-pura melakuan hal lain

"Arien? Hei, kalian ngapain disini? Elen juga. Kok ada disini? " Sosok itu bertanya. Itu Pak Wusdi. Beliau masih terbatuk karna asap kebakaran

"Eh, nggak pak. Tadi ceritanya si Laras nemu kucing terus dia kejar. Terus kita susul dia. Nih bocahnya kecapean" Hannah menunjuk Laras yang duduk di atas pintu besi bunker. Tadi ketika Pak Wusdi mendekat Laras buru-buru diminta untuk selonjoran di atas pintu itu. Berusaha menutupi lempeng besi yang menjadi pintu

Pak Wusdi menyadari mereka berenam bertingkah kelabakan seperti itu. Menggeleng. Dia jelas lihat apa yang terjadi sebelum dia sampai persis didepan murid-murid nya itu. Dari kejauhan dia jelas melihat pintu menuju ruangan itu dibuka

"Ayo pergi dari sini. Ikuti Bapak. Ada yang perlu kita bicara kan" Intonasi suara Pak Wusdi berubah dari yang biasanya. Melambaikan tangan. Menyuruh enam anak itu mengikutinya

Arien dan teman-temannya saking pandang. Apa guru olahraga itu tau apa yang terjadi sebelum Laras diminta duduk di atas pintu bunker? Tapi sebelum Pak Wusdi menyuruh dua kali merela segera bangkit mengikuti Pak Wusdi

***

Dugaan mereka betul. Pak Wusdi membawa mereka ke ruang seni. Ruangan favorit Arien dan Laras itu tak kurang saru hal apapun. Berada di lantai dua, diujung koridor sekolah.

Pak Wusdi nampak berbicara dengan Bu Retna, guru seni yang kalem dan jarang ikut campur. Beranjak dari mejanya menuju meja besar di tengah ruangan sambil membawa secangkir teh yang masih mengebul

“Jadi kalian menemukan... ruang itu?” katanya tanpa basa-basi apapun sambil memutar cangkir teh.

Mereka mengangguk, mereka berenam jelas tahu ruangan apa yang dimaksud. Masih waspada.

“Kalian tahu,” katanya pelan, “tempat kalian jatuh itu… bukan ruang biasa.”

Jasmine menelan ludah. “Kami juga mikir gitu, Bu.”

Elen nyengir kaku. “Ada papan nama… terus banyak alat-alat aneh. Kayak... film konspirasi.”

Bu Retna tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena ia sudah lama tidak mendengar remaja bicara tentang hal itu

"Nama di papan itu.. Kamu mengenalinya Arien? "

Semua kepala serempak menoleh pada Arien. Yang ditatap mengangguk pelan

 Bu Retna tersenyum. Lalu berdiri, berjalan pelan ke lemari kecil. Ia mengeluarkan map tua, lalu meletakkannya di lantai di tengah mereka.

Bu Retna membuka sebuah berkas yang telah dikunci lama.
Di dalamnya terdapat foto-foto hitam putih, cetak biru ruangan bawah tanah… dan sebuah dokumen dengan nama yang membuat semua orang diam

“Dr. S. Utomo — Kepala Penelitian Sinar Nasional, 1974–1979”

Arien menelan ludah. Dia juga mendapati tulisan itu dipapan besar

Pak Wusdi melirik Arien. “Kamu punya hubungan sama nama itu?”

Laras menoleh cepat. “Arien… nama lengkap kamu kan—”

“Arien Sastra Utomo,” Bu Retna yang menjawab, menyebutnya cepat.

Bu Retna menghela napas. “Kalian harus tahu. Scientama bukan cuma sekolah. Tempat itu dulunya bagian dari proyek komunikasi bawah tanah milik negara. Ayah saya salah satu peneliti utamanya.”

Bu Retna menarik nafas. Mulai bercerita

"Alkisah tentang sebuah bangunan tua yang penuh kenangan

Tak semua bangunan tua menyimpan kenangan. Tapi gedung lama Scientama… menyimpan rahasia.

Jauh sebelum jadi sekolah dengan seragam rapi dan dinding putih, gedung ini adalah markas penelitian. Dulu, di masa yang dikuasai ketakutan dan ambisi, tempat ini berdiri sebagai salah satu pusat pengembangan komunikasi bawah tanah milik negara.

Ruangannya tersembunyi di bawah tanah. Beratap beton, berdinding kabel dan mesin sunyi. Di dalamnya: percobaan, eksperimen, juga impian—tentang sistem komunikasi yang bisa bertahan di segala situasi. Bahkan ketika dunia di atasnya runtuh.

Pimpinan proyek itu bernama Dr. Sastra Utomo."

Mendengar nama itu Arien mengangkat kepalanya. Kali ini dia mulai antusias, tetap dengan muka datar nya

"Ia tidak sekadar ilmuwan. Ia seorang idealis. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan bukan milik negara atau kekuasaan—tapi milik generasi berikutnya.

Sayangnya, proyek itu dihentikan. Dan ruangannya... dikunci. Dibiarkan menghilang di bawah lapisan tanah dan tahun-tahun yang sibuk. Orang-orang yang terlibatnya perlahan menghilang dari catatan.

Termasuk Sastra Utomo—yang, sejak saat itu, tak pernah disebut lagi.

Sampai hari ini.. 

Hari ketika enam murid kelas 8—dengan luka kecil dan napas tersengal karena asap—terjatuh ke bawah tangga darurat. Bukan ke tempat kematian.

Tapi ke tempat yang menyimpan masa lalu.

Dan di antara mereka, tanpa disadari siapa pun… ada cucu dari pria yang dulu membangun tempat itu dengan tangan dan harapannya sendiri.

Namanya Arien Sastra Utomo. Gadis pendiam penuh wibawa

Dan ketika dia berdiri di tengah debu dan cahaya neon tua itu, tak satu pun dari kami tahu—bahwa rahasia yang terkubur… baru saja menemukan jalannya kembali ke atas tanah."

"Saya adalah anak dari pakar sistem komunikasi bawah tanah di masa 70an.

Pak Wusdi, adalah anak dari teknisi utama proyek.

Bapak Kepala Sekolah, Pak Arif, juga sempat tinggal di area kompleks itu saat kecil—dan sempat bermain di bunker sebelum ditutup.

Kami bertiga dulu menyebut diri kami sebagai 'anak-anak sinar' karena suka bermain di area Lembaga Sinar Nasional dulu.

Bu Retna menghela nafas pelan lagi. Kembali menyeruput teh hangatnya

Dwipa memiringkan kepala. " Kenapa tempat itu ditutup dan disembunyikan, Bu?”

“Karena akhirnya proyek itu dianggap terlalu berisiko. Banyak yang ingin menutupnya. Tapi Sastra Utomo dan beberapa orang lain… percaya itu harus dilanjutkan. Sayangnya, mereka kalah suara.”

Hening sejenak. Hannah memainkan ujung kemejanya. Laras dan Dwipa melirik Arien. Jasmine dan Elen saling pandang, bingung.

“Lalu kenapa kami bisa jatuh ke sana, Bu?” tanya Laras.

Bu Retna tersenyum tipis. “Mungkin kebetulan. Mungkin bukan. Tempat itu selama ini terkunci. Tapi kalian membuka jalannya lagi.”

Ia menatap Arien lama. “Dan kamu, Arien… kamu punya hak untuk tahu. Tentang warisan itu. Bukan dalam bentuk harta atau teknologi. Tapi dalam bentuk cerita yang belum selesai.”

***

Malam yang lenggang seperti biasa dirumah besar Arien

Arien duduk di lantai kamar ayah ibunya. Orangtuanya belum pulang seperti biasa. Membuka laci bawah lemari kayu tua tempat menyimpan benda-benda berharga—laci yang selama ini selalu macet dan tak pernah benar-benar menarik perhatiannya.

Kuncinya sudah lama hilang, tapi engselnya longgar. Dengan sedikit usaha dan obeng kecil, laci itu terbuka—berderit pelan, seolah sudah menunggu bertahun-tahun.

Di dalamnya ada map lusuh berwarna cokelat. Di sudut kanan bawah tertulis inisial:
'S.U.'

Jantung Arien berdebar pelan. Tangannya sedikit gemetar saat membuka isi map itu.

Beberapa lembar ketikan lama, cetak biru ruangan bawah tanah, skema antena, dan... surat. Ditulis tangan. Tinta hitamnya sudah sedikit pudar, tapi masih bisa terbaca.

> “Untuk siapa pun yang menemukannya nanti—
Dunia selalu berubah. Tapi ide-ide baik tak boleh dikubur.
Jika suatu hari tempat ini terbuka kembali, jangan takut.
Gunakan apa yang tersisa untuk kebaikan.

S.U.”


Arien menatap surat itu lama.

Ia belum sepenuhnya mengerti apa arti semua ini. Tapi ia merasa, untuk pertama kalinya, ia menemukan sesuatu yang benar-benar miliknya. Bukan karena ditinggalkan.

Tapi karena dipercayakan.

Arien sedang asyik menyelami map lusuh di laci tua kamar besar kedua orangtuanya. Matanya fokus membaca surat dan gambar-gambar tua itu. Ketika tiba-tiba pintu kamar besar itu diketuk

“Arien? Lo ngapain di sini? Udah malam, bro.” Suara Ali, abang Arien, terdengar dari balik pintu.

Arien buru-buru menutup map dan menyembunyikannya di balik bantal yang ia bawa dari kamarnya. “Ah, nggak apa-apa, aku cuma…”

Ali masuk dan duduk di tepi ranjang, menatap Arien serius. “Serius, lo. Biasanya lo nggak pernah penasaran sama barang-barang lama keluarga.”

Arien menghela napas. “Ini... tentang kakek. Aku baru tahu banyak hal dari Bu Retna. Aku pengen ngerti, siapa dia sebenarnya.”

Ali terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Gue paham. Tapi hati-hati ya, bro. Kadang masa lalu itu berat.”

Arien menatap abang-nya, merasa ada ikatan baru yang mulai terbentuk

Ali duduk lebih santai, tangannya meremas-remas mug kosong yang telah ia habiskan isinya sebelum masuk ke kamar ini--kebawa, nggak tahu kenapa bisa kebawa gitu

“Kakek lo itu orang hebat, Ar. Dia bukan cuma ilmuwan biasa. Dia pejuang, walaupun diam-diam.”

"Orang tua kita emang se-hoki itu ya dalam mendapatkan jodoh dan keluarganya. Kakek dari ibu kita priayi, Kakek dari ayah kita ilmuwan. Hoki banget ya"

"Tapi Mas, katanya Ayah ibu orang Jawa asli, tapi kalo kakek tua di Bogor kenpa Ayah di bilang orang Jawa asli? " Arien bertanya. Menatap kakak laki-laki nya itu

"Panjang ceritanya katanya, pokoknya Kakek-Nenek kita dari Ayah dan Ibu itu dari Jawa Timur. Terus Kakek dari Ayah pindah ke Bogor begitu Ayah lahir. Terus Ayah sama Ibu ketemuan di Surabaya. Keren ya, ujungnya balik lagi ke Bogor. Padahal untuk seorang diplomat kayak Ayah bisa tinggal di  IKN, Jakarta, atau ya seenggaknya di Surabaya, tempat mereka bertemu. Tapi nggak tahu deh kenapa kita malah jadi besar di Sunda"

Arien menatap lantai, “Tapi kenapa Ayah dan keluarga gak pernah cerita soal dia? Aku malah baru tahu dari Bu Retna.”

Ali mengangkat bahu, “Kadang orang dewasa punya alasan mereka sendiri. Mungkin itu cerita yang terlalu berat buat kita waktu itu. Atau mereka mau lindungi kita dari hal-hal yang rumit.”

Arien pelan, “Tapi aku pengen tahu, Mas Ali. Aku pengen ngerti warisan itu, bukan cuma buat diri aku sendiri, tapi buat semuanya.”

Ali tersenyum kecil, “Bagus kalau lo mikir gitu. Tapi jangan sampai lo kebablasan juga, bro. Kadang, ngerti masa lalu itu berat. Tapi gue percaya lo kuat.”

Arien mengangguk, “Aku janji, aku bakal hati-hati. Dan kalau aku butuh bantuan, aku akan bilang ke lo.”

Ali berdiri, menyentuh kepala Arien sebentar, “Itu baru adikku.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Only One
1391      876     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Konfigurasi Hati
689      454     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Je te Vois
1399      774     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Aku Ibu Bipolar
55      48     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Metafora Dunia Djemima
159      131     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
1330      598     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Da Capo al Fine
435      344     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
TANPA KATA
32      28     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Warisan Tak Ternilai
815      348     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Simfoni Rindu Zindy
1443      855     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...