JAM pelajaran kedua. Menjelang jam makan siang. Bel perut sudah bersuara nyaring sekali begitu buku tulis IPA dibuka dan ditulisi materi fisika di papan tulis
Sebuah sikutan mendarat di tangan Arien yang tengah menulis paragraf kedua dari materi fisika. Membuat Arien mengangkat kepalanya dari buku tulis. Memperbaiki posisi kacamatanya
"Rien, anterin ke kamar mandi yuk" Hannah berbicara pelan pada gadis yang tadi ia buat buku tulisnya tercoret akibat ja senggol
Arien memandangi papan tulis dan buku tulisnya bergantian
"Boleh deh"
Okeh. Hannah mengangguk. Memandang pada Dwipa, Jasmine, terakhir Laras di sebelah kirinya. Mengangguk. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan
"Bu Ambar, saya izin ke belakang ya" Hannah mengangkat tangannya
Bu Ambar mengangkat kepalanya dari ponsel. Memperbaiki posisi kacamata tebalnya "kamu sudah selesai menulis rumus dan materi? "
Hannah mengangguk. Mengangkat buku tulisnya
Bu Ambar mengangguk "silakan"
Hannah mengangguk. Berterimakasih
"Ayo, rien" Menarik tangan kanan Arien yang duduk dibelakang nya
Hannah menutup pintu kamar mandi begitu mereka sampai di sana. Menghela nafas berat beraturan. Menatap datar bayangannya yang terpantul di cermin. Mengikuti Arien yang menyandarkan tubuhnya pada dinding keramik kamar mandi
"Kacau semua kacau.. " Hannah mendengus kencang. Menggeleng-gelengkan kepalanya
Arien ikut menghela nafas. Dia pahammaksud Hannah.
Kemarin sore ABAS latihan seperti biasa. Bertujuh ditambah Silvi. Teman-teman Silvi merasa Silvi menjuhi mereka karna temannya itu direkrut ABAS
ABAS tidak pernah merekrut anggota sebenarnya. Silvi sendiri yang meminta bergabung seperti Tyas. Karna sebenarnya ABAS sendiri adalah sebuah sirkel persahabatan yang kelima anak anggota utamanya suka main basket
Baik, kembali ke masalah Silvi tadi. Sebenarnya adik-adik kelas yang mengaku-ngaku teman-temannya Silvi bukan sirkel Silvi. Silvi punya sirkel tersendiri. Bukan orang-orang yang bilang tidak Terima Silvi masuk ABAS
Anak-anak itu akhirnya mem-provokasi kakak-kakak kelasnya itu dengan membuat story media sosial yang menyindir ABAS. Begitu laporan dari Elen yang menjadi Intel bagi ABAS
Pintu kamar mandi dibuka. Dwipa, Laras dan Jasmine masuk bergabung dengan Hannah dan Arien
"Kacau kawan" Hannah memecah lenggang diantara mereka berlima. Dwipa mengangguk. Semua kacau balau dan menyebalkan. Tyas, si anggota baru itu membalas provokasi anak-anak kelas tujuh itu dengan story di media sosialnya juga. Situasi kacau, anak-anak menyebalkan memang. Mereka malah laporan ke guru bimbingan konseling. Akhirnya ABAS harus dipanggil ke ruang BK dua hari yang lalu.
Tepat ketika bel istirahat mendengking hari ini, mereka dipanggil lagi. Gilang si ketua kelas datang dari kamar mandi "Dwipa dan teman-teman di panggil Bu Hesty" Serunya begitu sosok nya muncul dibingkai pintu. Sepertinya ketika dia kembali dari kamar mandi tadi bertemu Bu Hesty, dan guru BK itu bilang tolong panggilkan Dwipa, Jasmine, Laras, Hannah, Tyas dan Arien.
Sialan. Pintar sekali Tyas memilih hari untuk tidak masuk sekolah karena sakit. Dia jadi tidak tahu apa yang terjadi dengan teman-temannya hari ini. Dasar tidak setia kawan
Anak-anak siapa sih itu, mereka menambah-nambahkan bumbu-bumbu yang tak benar tentang ABAS. Tau apa sih mereka tentang grup Anak Basket? Akhirnya Bu Hesty membuat keputusan. ABAS disuruh memilih dua pilihan yang (tidak) rasional. "Minta maaf duluan pada anak-anak kelas 7A atau membubarkan geng kalian itu? " Ujarnya pada pemanggilan pertama dua hari yang lalu
What? Dwipa dibuat ngernyit mendengar suara Bu Hesty bilang begitu. Pilihan macam apa itu? Disuruh minta maaf duluan padahal yang mulai jelas-jelas buka mereka. Atau membubarkan ABAS? Hei, memangnya sebabnya apa sih ABAS itu? ABAS cuman geng anak-anak basket. Bukan sebuah kelompok komunis, teroris atau yang bahaya-bahaya lainnya
Arien si anti memperpanjang masalah memutuskan untuk meminta maaf terlebih dahulu. Dwipa dan tiga yang lain tidak terima. "Masa mereka yang mulai duluan kok kita yang minta maaf duluan? " Dwipa ketus menanggapi pilihan Arien. Sementara yang diketusi hanya terdiam. Menghela nafas tenang "maaf, hanya memberi usul"
Arien tetaplah Arien. Seperti singa yang menerkam dalam diam. Dia tetap Arien walau sudah dilarang
Tanpa sepengetahuan Dwipa dan yang lain, Arien tetap memutuskan untuk meminta maaf. Tepat bel pulang sekolah berdering, Arien mencegat anak-anak kelas tujuh itu. Menatap mereka dengan tatapan dingin yang didalamnya penuh ketenangan. Menjabat tang mereka satu persatu dengan kuat-kuat sambil berkata "Kalau kalian masih mengungkit-ungkit hal itu lagi aku jamin kalian harus diam-diam bila hendak keluar dari sekolah ini" Katanya dengan gayanya yang tenang tapi bertenaga
Jangan salah. Itu adalah salah satu kekuatan Arien. Mengendalikan emosi orang lain.
Tapi ternyata senjata level satu milik Arien itu tidak berguna. Ternyata ada satu orang yang tidak bisa takluk dengan tatapan Arien. Satu dari lima orang geng abal-abal itu adalah pimpinan mereka. Andini. Dialah pemimpin nya. Tergelak begitu saja mendengar aduan teman-temannya. "Cuma itu doang ternyata kekuatan meteka. Seorang doang yang berani sama kita. Atau jangan-jangan itu orang bayaran buat ngancem kita saking takutnya mereka
Begitu kabar dari Elen. Entah anak cowok cuek Bebek itu dapat dari mana info percakapan itu. Padahal dia tidak pernah nampak bergaul dengan adik-adik kelasnya. Pun yang dia mata-matai adalah anak-anak perempuan.
Tidak apa. Kekuatan Arien bukan itu saja. Masih banyak cara cara Arien yang lain untuk memengaruhi orang
"Jadi bagaimana? "
Itu pertanyaan retoris. Jasmine harus nya sudah tau apa yang membuat Dwipa menggeleng "mana gua tahu, Min. Gua nggak pernah mau dan nggak pernah mikir kalo kita bakal kena masalah-masalah nggak jelas kayak sirkek orang lain gitu" Dwipa mendesah. Menghela nafas kasar
"Maaf kalau kalian nggak setuju sana tindakan yang sudah kulakukan. Seharusnya aku menanyakannya lagi pada kalian" Arien mengangkat punggungnya dari tempat bersandarnya.
Dwipa menggeleng "Enggak, Rien. Bukan salah lo. Gua yang lupa bilang ke Tyas jangan ngebales postingan-postongan nggak jelas anak-anak itu"
"Terus gimana dengan dua pilihan itu? " Jasmine bertanya lagi
Dwipa menggeleng "gua nggak tau Min. Dari tadi gua dah bilang kalau gua nggak tau"
"Gua pikir ada baiknya kita minta maaf duluan, Dip" Hannah memberi usul
"Nggak han, nggak bisa" Dwipa menggeleng tegas "lebih baik lo pikirin lagi, apa sebenarnya salah kita ke mereka sampai kita harus minta maaf duluan ke mereka yang dari awal emang nyari gara-gara? Karna Silvi di anggep pindah sirkel? Peduli apa orang yang bukan sirkel mereka pindah ke tempat lain sih? Kurang kerjaan dasar"
Hannah terdiam "iya juga sih.. " Katanya lirih
“Tapi Dwipa. Gue setuju apa yang Hannah bilang. Setidaknya untuk mengurangi masalah kita minta maaf dengan ikhlas. Berharap ganjaran dari Tuhan.” Arien mendukung Hannah.
“Nggak, Rien. Lo pikirin apa yang gue omong tadi. Kita tidak mencari masalah dengan mereka. Lo harus tau Rien, kalo mereka itu car perhatian dan perbuat onar versi cewek diangkatan mereka. Sama aja kayak yang namanya geng basis kelas 8A. Seperti tim anak-anak kelas 7 itu. Mereka tidak diperhatikan guru pun oleh orang tua, mereka mencari jalannya, dan menemukannya. Apa tujuan mereka? Cari kesalahan orang lalu laporkan dan mereka menentukan kita yang jelas-jelas tak bersalah.”
Arien terdiam. Benar juga
"Bagaimanapun, ini harus selesai baik-baik. Sampai tuntas. Sampai tidak ada dendam." Laras bicara.
“Rien,” Jasmine berkata dingin. “Di mana-mana pasti selalu ada dendam, terlebih masalah belum selesai. Lo pikir ini semua mudah? Justru karena elu, semua jadi kacau! .”
Arien menunjuk dirinya dengan telunjuknya
“Gua? Emang gua kenapa mm?” nada bicara Arien sudah naik setengahnya
“Karena lo cegat mereka. Sehari yang lalu sendirian. Harusnya kalau mau nyegat orang ya bareng-bareng dong. Kita malah jadi dibilang penakut karena mereka melihat hanya satu orang yang mencegat mereka!”
Arien hanya mendengus kesal. Mengelus dadanya lelah begitu menyadari kesabarannya tinggal setengah. Bahaya kalau sampai habis kesabarannya. Bisa hancur ni kamar mandi kalau sampai habis
Arien menarik nafas. Lalu cepat-ceoat menghembuskannya begitu merasa ada bau yang ganjil diantara oksigen yang ia hirup
"Kalian mencium bau-bau aneh? " Hannah lebih dulu bertanya. Sepertinya dia juga merasakan bau yang ganjil
Arien mengangguk. Laras, Dwipa dan Jasmine mulai mencoba menghirup-hirup bau yang Hannah maksud
"Seperti bau terbakar? " Laras mengibaskan tangannya di depan hidungnya
Insting waspada Arien betdenting. Belum sempat ia menyadarkan tentang bau itu alarm kebakaran lebih dahulu berbunyi
Lima sekawan itu saling tatap. Mereka sudah melakukan pelatihan jika menghadapi kebakaran di gedung sekolah. Arien yang paling dekat dengan tempat keluar segera membuka pintu. Berlari keluar dari kamar mandi memimpin keempat temannya
Tidak ada pengumuman apa-apa dari speaker. Itu berarti keadaan sudah sangat darurat sekali. Siapapun yang usil memainkan bel darurat itu dia harus bisa membuat pengumuman palsu. Tapi ini tidak. Kalau sudah begini mungkin memang betul-betul kebakaran. Bahkan mungkin ruang depan sudah terbakar. Alarm kebakaran itu sudah dilengkapi dengan senor peringatan api
Nampak siswa-siswi lain berhamburan keluar dari ruang kelas. Guru-guru berusaha mengendalikan situasi.
Dwipa, Jasmine, Laras, Hannah dan Arien menjadi orang-orang terakhir yang turun ke tangga darurat. Mereka tadi terhambat oleh Laras yang terjatuh karna tali sepatunya lepas simpulnya.
Asap sudah menyerukan di lantai dua. Membuat perih mata dan membuat kacamata Arien menghitam dIterpa asap hitam
Tangga darurat sudah sepi ketika mereka tiba di sana.
Laras yang berjalan paling depan tiba-tiba memekik kaget. Membuat yang dibelakang nya ikut terkejut. Mendapati seseorang terkulai lemas di salah satu anak tangga
"Elen! " Pekik Dwipa begitu tahu siapa yang terbaring ditangga. Mendekati tubuh tak berdaya itu " Lo baik-baik aja, Len? Lo kenapa? "
"Asma gue.." Elen terengah-engah "gue punya, penyakit asma.. Obat semprot gue.. " Nafas Elen semakin sekarat
"Ada dimana? " Arien menyela terlebih dahulu
Elen menunjuk anak tangga paling atas. mereka ada di pertengahan tangga
Arien bergegas menuju arah yang ditunjuk Elen. Hannah tidak dapat mencegahnya. Bak singa ia melesat menerobos pekatnya asap
Ketemu! Obat spray itu tidak jauh-jauh dari pintu masuk tangga darurat
Arien segera melesat turun kembali. Segera menyemprotkan nya pada mulut Elen.
Mata Elen mulai terbuka perlahan-lahan. Tapi dia jelas belum bisa berjalan cepat
"Biar gus bantu! " Hannah menawarkan diri merapat Elen. Diantara mereka berlima, Hannah lah yang paling kuat. Badan tinggi besarnya tudak kesulitan merapat Elen yang tinggi kurus
Mereka berenam kembali menuruni tangga dengan cepat
Laras yang memimpin paling depan kembali memekik kaget begitu kekuar dari gedung--Hannah sampai mengeluh menyesal kenapa Laras yang memimpin di depan. Belum habis teriakan Laras tubuh itu nampak meluncur jatuh pada sebuah lubang. Kakinya terperosok. Meluncur deras. Disusul Dwipa yang tak melihat ada lubang dibawah kakinya. Diikuti Jasmine yang masih sempat meraih kaki Arien dibelakangnya. Lalu Arien--yang walaupun sudah memasang kuda-kuda kokoh tetap terjatuh. Kakinya tinggal setengah jengkal dengan lubang. Hannah sempat menyambar tangan Arien, tapi ternyata kuat sekali tenaga Arien kalau sedang panik. Dia ikut terjatuh. Elen yang sudah mulai pulih tenaganya menyambar tangan Hannah. Tapi dia jelas belum sempurna pulih. Elen akhirnya ikut terjatuh
Tubuh mereka berenam meluncur deras ke dasar lubang besar itu
***
Mata Arien mulai terbuka sedikit demi sedikit. Mengerjap-ngerjap. Meringis. Memegang kepalanya. Sakit. Hanya karna kepalanya anti banting, dua jadi tidak kurang satu hal apapun
Arien bangun dari posisi rebahnya. Duduk. Tangan kanannya masih memegangi kepalanya yang sakit. Dia ada dimana? Bawahnya dingin. Bukan tanah
Arien melihat kesekeliling. Ada tembok semen disebelahnya. Buram, gelap.. tidak terlalu jelas. Kacamatanya rusak. Pecah sebelah kanannya, sebelah kirinya retak
Arien mencoba mengingat-ingat kejadian yang baru ia rasakan. Kebakaran.. Berlarian di tangga darurat.. Lalu terperosok ke lubang yang menganga didepannya
Kemeja seragam putihnya kusut karena terhantam tadi, rok biru tua yang robek sedikit mungkin karena tadi tersangkut batu. Dasi biru tua, dan sepatu kanvas hitam-putih lengkap dengan kaus kaki putih se-betisnya masih utuh semua. Tapi sekarang dia ada dimana? Ruangan tanpa lampu? Tapi dimana itu?
Arien menghela nagas lega begitu mendengar suara Jasmine memanggil-manggil nana teman-temannya
"Iya Jasmine, aku disini" Arien menepuk tangannya sekali
"Arien? Elo ada? Huhu, gua kira gua sendiri.. " Suara berat Jasmine terdengar mendekat
"Astaga! "
"Dwipa? Itu lo? " Jasmine mencari-cari sumber suara yang baru ia dengar
"HP gua masih bisa nyala! Hahaha! " Sebuah sinar kecil muncul dari sebelah kanan Arien "ternyata gua masih hidup. Huhuhu makasih Tuhan.. " Dwipa meringkuk memeluk ponsel nya. Bersujud-sujud
"Rien, ternyata itu elo? " Dwipa menyoroti ponselnya ke arah Arien
"Iya, aku disini"
"Kita sekarang ada dimana? " Sekarang syara Hannah yang muncul
"Han!! " Dwipa menyalakan senter ponsel. Menyoroti nya pada Hannah. Yang disoroti menutup matanya "Silau Dip.. "
Dwipa menyorotinya kearah yang lain. Mendapati Laras yang berambut panjang baru terbangun
"Laras!! Itu lo? "
Latas menoleh. Seperti Hannah, dia menutupi matanya yang silau
"Eh.. Dwipa? "
"Iya ini gue. Gue kira lo apaan tau Ras"
"DWIPANGGA MAHESWARI!!! " Laras bangun. Berdiri. Dan berlari kearah Dwipa
"HUHUU AKU TAKUT DWIPA!! MAMAH!! " Laras menangis begitu sampai di hadapan Dwipa. Memeluk gadis berbadan kecil di hadapannya
"HEH! JANGAN PELUK-PELUK NGAPA?!! " Dwipa berontak dari lakukan Laras. Dia sepertinya sudah pulih sepenuhnya. Dia sudah bisa ribut dengan Laras.
"HWAAA! ARIEN!! " Laras pindah memeluk Aruen yang berada di sling Dwipa. Berbeda dengan Dwipa, Arien balas memeluk Laras dengan kehangatan. Menepuk-nepuk punggungnya
"Elen mana Dip? " Hannah bertanya pada Dwipa. Yang ditanya menoleh. Menyusuri sekitar ruangan dengan senter ponsel
"Itu Elen!! " Dwipa menunjuk arah kirinya. Menyotkt sekrang anak laki-laki yang nampak mengucek matanya
"Kamu sudah siuman Elen? " Aruen bettanya. Mendekati anak Itu
"Elo siapa? " Elen balik bertanya
"Astaga, lo lupa sana orang yang udah nyelamatin elo di tangga Len?? " Mata Dwipa membesar mendengar Elen bertanya seperti itu
"Gua ada dimana?? " Dia tidak menjawab. Menoleh kesana kemari menyapu ruangan gelap dihadapannya
"Woi Len! Sadar! Ini tempat elo jatoh tadi setelah kita turun dari tangga darurat! " Jasmine mencoba membuat Elen tersadar
"Tangga darurat? Kenapa kita ke tangga darurat? " Elen kembali bertanya. Dia lupa. Pasalnya tangga darurat, tidak pernah dibuka kecuali bila ada keadaan darurat
"Kita melarikan diri dari kebakaran. Ingat? Lo jatoh di pertengahan tangga karna sesak nafas. Asma lo kambuh. Terus kita ketemu disana. Begitu turun dari tangga darurat Laras jatoh dan kita ikut jatoh" Arien yang mencoba membuat Elen ingat lagi kali ini. Menyenggol satu kenangan yang mungkin sangat kental
"Ah iya. Gua baru inget. Obat spray gua mana ya? " Elen mencari obat berbentuk semprotan itu
"Nih" Arien menyerahkan botol semprotan itu dari saku roknya kepada empu obat spray itu
"Makasih, Rien"
Arien mengangguk
"Sori, gua nge-lag dulu tadi. Gua linglung banget. Sekarang gua dimana lagi"
"Gua juga nggak tau. Yang jelas ini kayak ruangan bawah tanah. Bubgker" Dwipa menjawab "nyalain lampunya Han. Ada saklar nya berarti ada lampunya" Menyoroti sudut ruangan
Hannah mendekati saklar itu. Menyalakannya
"KEREN! "