“Seraaaaaaaaa! Astaga kamu nggak mau bangun, malu sama ayam Sera, dia udah kerja dari pagi.”
Yah, dan itu akhir dari masa mudaku yang melaju secepat mimpi semalam. Sudah genap enam bulan sejak kelulusanku. Meski begitu, perasaan saat ibuk pergi meninggalkanku seperti baru terjadi kemarin. Aku seperti terjebak dalam sebuah lorong waktu yang tidak ada habisnya. Sementara aku tidak sadar waktu terus berjalan, aku tetap terjebak di dalam perasaan remajaku yang menyedihkan.
“Iya, Tan, ini aku udah bangun, kok.”
Betul sekali, itu adalah tante Ana. Perempuan itu sekarang sudah menjelma menjadi ibuk versi 2.0 yang lebih galak, lebih judes, lebih menakutkan, dan tentunya lebih menyayangiku. Kutarik kembali ucapanku ketika berumur lima belas tahun yang bilang bahwa tante Ana sama sekali tidak mirip ibuk. Ibuk tidak tergantikan, tapi tante Ana tidak pernah berhenti untuk mengisi ruang kosong dalam kehidupanku yang... “Gimana interview kemarin?”
Saat mataku belum terbuka sempurna, barangkali tante Ana masih bisa melihat jejak liurku di bantal, aku bangun dengan susah payah dan bilang kalau, “pekerjaan itu kayaknya nggak cocok buat aku deh, Tan. Nanti aku cari lagi ya.” Meski masih setengah mengantuk, aku mendengar tante Ana menghela napasnya. Baru enam bulan sejak kelulusanku, aku sudah berganti pekerjaan sebanyak tiga kali.
Bukan tanpa alasan. Aku dan Kinar sebelumnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas yang sama. Aku bersikeras mendapat beasiswa itu agar tidak perlu merepotkan tante Ana dengan biaya kuliahku lagi. Aku membunuh banyak waktu dengan mengerjakan soal latihan, mengikuti kelas tambahan di sekolah dan tes sana-sini, tapi seperti kubilang, aku seperti terjebak dalam perasaan anak berumur lima belas tahun yang hidupnya berhenti ketika ibunya meninggal dunia.
Tante Ana bukannya tidak bisa membiayayi hidupku. Dia berulang kali mengatakan bahwa aku bisa berkuliah di manapun yang aku mau tanpa harus memusingkan soal uang. Dan berkali-kali pula aku mengatakan pada tante Ana bahwa ini bukan hanya soal uang.
“Kamu kuliah saja ya? Tahun depan kamu bisa ikut penerimaan mahasiswa baru, selama nunggu, kamu bisa magang di kantor tante, tante bisa kasih kamu posisi yang enak dan nggak ribet,” ucap tante Ana.
Setelah bicara begitu ia keluar dari kamarku tanpa menutup pintu. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menang melawan tante Ana berdebat pagi-pagi begini. Kalau aku mengatakan alasan yang sama seperti beberapa bulan terkahir ketika aku menolak bantuan kuliahnya dengan dalih akan mencari kerja dan membiayai kuliahku sendiri, aku takut tante Ana mengutukku menjadi batu.
Jadi begini, setelah lulus Kinar memutuskan untuk masuk ke universitas swasta daripada tidak kuliah sama sekali. Alasannya, ia sama sekali belum siap untuk bekerja dan tidak ingin buru-buru mengambil alih bisnis keluarga mereka. Sedangkan Bayu, tolong jangan tanya dia, dia sedang mengalami masa transisi hidup yang amat panjang, sama sepertiku.
Soal pekerjaanku. Ah, ya. Aku menyerah soal beasiswanya, lalu aku mengikuti saran Kinar untuk mengambil pekerjaan bebas dengan menjadi seorang ghost writer di sebuah penerbit kawakan. Kinar bilang, “bisa jadi ini adalah batu loncatan lo untuk jadi seorang penulis yang sering lo sebut-sebut itu, Sera. Kita nggak akan ada yang tau, J.K Rowling aja ditolak banyak penerbit sebelum buku Harry Potter punya dia laris mampus, barangkali lo juga bisa kayak dia dengan jadi ghost writer, kan?”
So, bisa dibilangn pekerjaan utamaku saat ini adalah dengan menjadi seorang penulis yang menulis untuk orang lain. Meski tante Ana bilang kalau bayarannya nggak akan cukup realistis untuk jangka panjang, upah dari penerbit bisa membuatku lepas dari uang saku tante Ana setelah lulus sekolah. Aku tahu, tante Ana akan lebih senang kalau aku mau merepotkan dirinya, tapi aku tidak bisa.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan perasaan bahwa, tidak ada yang benar-benar berlangsung baik dalam hidupku. Setelah merasa bahwa aku tidak bisa menggantungkan mimpiku dengan hanya menjadi seorang penulis, aku mulai berpikir kembali.
“Mimpi? Emang apa mimpi gue?”
Sementara tanganku meraih handuk dari gantungan pintu, pikiranku melayang ke Solo. Ke dapur hangat tempat aku dan ibuk menghabiskan Sabtu yang cerah dan ceria.
“Ibuk, kalau Sera sudah besar, Ibuk mau aku jadi apa? Dokter? Perawat? Guru? Atau model?”
Mendengar pilihan terakhirku, ibuk dengan gorengan pisangnya terbahak-bahak di dapur. “Modelanmu yang kayak toples mini itu mau jadi model? Memang nggak malu sama Luna Maya yang tinggi semampai itu? Kamu banter-banter kalo disuruh gaya paling cuma bisa begini,” jawab ibuk sambil memeragakan dua jari tanda cinta damai.
“Terus aku cocoknya jadi apa?”
“Kamu maunya jadi apa? Kok tanya ibuk, memang kamu belum kepikiran?”
“Nggak kepikiran apa-apa, Buk. Aku jadi apa aja yang Ibuk pengen aja,” jawabku.
Ternyata begitu. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan soal masa depan, mimpi atau cita-cita. Aku terpaku pada permintaan ibuk yang sampai saat ini belum ada jawabannya. “Kenapa, sih, Buk. Coba aja Ibuk dulu bilang kalau aku harus jadi model, aku pasti udah ada satu majalah sama Luna Maya sekarang,” kataku sambil bergaya ala model dengan handul nangkring di pundak.
Bisa atau tidak bisa, permintaan ibuk pasti mutlak akan kupenuhi, Buk. Sekarang Sera nggak tahu harus buat apa atau jadi apa, karena ibuk udah nggak ada.
Setelah mandi, kulihat tante Ana sudah sibuk di meja makan dengan srapan dan tabletnya. “Morning, Tan,” kataku menyapanya dengan wajah tanpa dosa setelah ia memberikan predikat padaku sebagai pengangguran tulen.
“Morning, Sera. Hari ini tante belum masak, kamu makan ini aja dulu ya,” ucapnya sambil menunjuk roti lapis telur. Makanan yang akrab menemaniku selama aku pindah ke Jakarta. Sekilas Tante Ana seperti melupakannya ucapannya pagi ini padaku.
“Is okay, Tan. Aku jalan, ya. Mau ketemu Kinar.”
“Kamu nggak punya temen lagi apa selain dia? Tante bosen denger namanya terus.”
“Yaudah, Bayu,” ucapku nyengir. Tante Ana hanya memutar bola matanya. Setelah aku meyalimi Tante Ana dengan roti persis masih berada di mulut, Tante Ana menghentikan langkahku. “Inget, ya, Sera. Kalau sampai akhir bulan ini, pekerjaan kamu masih nggak jelas, kamu harus ikut sama Tante.”
Mendengar ucapannya, aku seperti merasakan de javu.