"Hah? Yuza? Kok lo disini?"
Alvi terlihat kebingungan. Begitu juga Yuza.
"...lo juga kok disini, Ndut?" Yuza malah balik bertanya.
"Ini rumah sepupu gue," jawab Alvi, matanya masih besar karena belum bisa mempercayai pemandangan yang dilihatnya.
"Ini rumah temennya Bapak gue," Yuza akhirnya menjawab pertanyaan Alvi.
"Ohh.."
Alvi akhirnya selesai kaget.
"Gila! Ini beneran Yuza! Baju gue bagus gak ya hari ini? Parfum gue masih wangi kan? Muka gue... suara gue... aman gak ya?" pikir Alvi heboh.
"Lo gabut gak sih, Ndut?" tanya Yuza tiba-tiba.
Alvi sebenarnya tidak gabut. Karena ia harus bermain bersama sepupu kecilnya. Tapi ia tau jika ia menjawab sejujurnya, ia akan melewatkan kesempatan menghabiskan waktu bersama Yuza.
Jadi, Alvi hanya mengangguk.
"Main basket, yuk?" ajak Yuza.
Alvi mengangguk. Ia berusaha sangat keras supaya senyumnya tidak merekah di wajahnya. Cukup di hati saja.
---
"Main aja, Vi. Gak usah pusingin si bocil, mah. Nanti Tante yang urus!"
Begitu jawab Tante-nya Alvi setelah ia meminta izin kepadanya untuk bermain basket dengan Yuza. Alvi tersenyum dan menyerahkan sepupunya kepada Tante.
"Kalian ternyata satu sekolah toh! Kalo pulang sekolah besok-besok main kesini aja! Rumah ini selalu terbuka buat kalian. Mau main basket, main bola, numpang makan juga boleh!" Tante tertawa senang.
Alvi tersenyum lebar, mengangguk. Yuza tidak menanggapi apa-apa.
"Tante lo extrovert parah ya, Ndut?"
Alvi tertawa kecil.
"Emang gitu dari dulu. Untuk ketemu Om yang sama ekstrovertnya," jawab Alvi ramah.
Yuza tidak menanggapi. Membuat Alvi sedikit malu.
---
Alvi memang tidak jago dalam bermain basket. Tidak seperti Yuza yang sudah pernah sekali memenangkan lomba basket tingkat povinsi.
Badan besarnya berlarian, fokus ke melihat bola dan berusaha mencari peluang untuk mengambil bola basket dari tangan Yuza yang lihai memantulkan bola itu dan menghindari mata Alvi.
Tapi sekali Alvi merebut bolanya, ia langsung melemparkannya ke keranjang basket dan mencetak poin.
"Nice, Ndut!"
Tapi jantung Alvi berdegup kencang mendengar pujian itu.
"Kayaknya gue gak usah ngalah kalo main sama lo, hahah," kata Yuza.
"Jadi dari tadi lo ngalah? Jangan lahh! Kayak lo biasa main aja!" rengek Alvi.
"Lo jangan nyalahin gue kalo kalah nanti, ya!" seru Yuza dengan bangga.
"Gak akan!"
Alvi tertawa kecil.
Benar saja, Yuza tiba-tiba menjadi lebih gesit. Sebelum Alvi bisa membaca gerakannya, Yuza sudah melompat, menembakkan bola basket ke arah ring.
"Yess!" Yuza memeringati kemenangannya.
Alvi bertepuk tangan. "Keren!" pujinya.
Mereka lanjut bermain basket di lapangan belakang, di rumah mewah milik sepupu Alvi. Walaupun akhirnya kalah, Alvi yakin ia tidak akan melupakan momen ini sampai kapanpun.
---
"Halo, Vi. Akhirnya lo berani ke kelas gue lagi, nih?" sapa Nadya begitu Alvi masuk ke kelasnya.
Alvi hanya tertawa kecil, sebelum melihat ke arah teman sebangku Nadya dengan gugup. Teman itu tetap tidur seperti biasa, wajahnya terbenam dalam meja. Alvi diam-diam merasa lega.
"Nih buat lo, Nad," Alvi menyodorkan bolu kukus yang dikemas rapi dengan plastik dan pita cantik ke arah Nadya.
"Lucu banget warnanya ungu pink! Makasih, Vi!" Nadya berseru, suara lembutnya penuh ketulusan.
"Sama-sama!" Alvi menjawab dengan semangat.
Ia baru saja memberikan satu kepada Nadya. Tapi ia masih punya banyak di paperbag yang ia bawa.
Alvi melihat ke arah pojok kelas Nadya yang ramai. Seperti biasa, Yuza ada di tengah-tengah mereka.
"Gak usah ragu. Kasih aja, Vi. Yuza gak pernah nolak makanan," kata Nadya sebelum Alvi berkata apa-apa.
"Uh.. ahh..." Alvi bingung mau berkata apa.
Nadya hanya menertawai kegugupan Alvi.
"Hayo cepet kalo mau ngasih. Nanti keburu bel, lho, Vi," Nadya mengingatkan.
Alvi hanya bisa menahan nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi berani.
"Yu...za?" panggil Alvi lirih sesampainya ia di sekitar pojok kelas itu.
Keberadaan Alvi sulit diabaikan. Pertama karena ukurannya besar, tidak mungkin kelewat mata. Kedua, karena wangi parfum Alvi yang harum tapi tercium terlalu banyak.
"Za, nyariin lo tuh!"
"Gila, lo kenal dia, Za?"
"Hahahah! Yuza dicariin cewek kelas sebelah!"
Yuza melihat Alvi menghampirinya dengan gugup. Tapi ia tidak bereaksi apa-apa.
"Za?" panggil Alvi lagi. Yuza akhirnya mengedipkan matanya.
"Kenapa, Ndut? Ngapain nyariin gue?" tanggapnya dengan senyuman jahil.
"Lo.. suka bolu kukus gak?" tanya Alvi.
Teman-teman Yuza yang berada disekitarnya langsung bersiul dan menggoda mereka.
"...gue makan apa aja, Ndut. Kenapa?" jawab Yuza.
Alvi akhirnya menyodorkan bolu kukus yang spesial ia siapkan untuk Yuza. Hanya satu rasa, coklat. Bentuknya sempurna. Dikemas dengan plastik dan pita cantik.
Yuza menerimanya. Wajahnya datar. Tidak begitu banyak reaksi disana.
"Thanks, Ndut," kata Yuza, tersenyum supaya sopan.
Kemudian Alvi berbalik menoleh ke arah teman-teman Yuza.
"Uhh... ini buat kalian. Semoga suka,"
Alvi mulai membagikan bolu kukus lainnya kepada mereka.
"Wih kita juga dapet?"
"Anjay, makasih!"
"Enak nih kayaknya,"
Alvi hanya tersenyum dan melangkah pergi dari pojok kelas. Ia tidak sempat melirik ke arah Yuza lagi karena ia sudah merasa sangat malu. Akhirnya, ia melambaikan tangan kepada Nadya sebelum melangkah keluar kelas.
Nadya tersenyum dan membalas lambaian tangannya dengan ramah.
"Makasih, Nad! Berkat lo, hari ini misi gue selesai," pikir Alvi sambil tersenyum.
Ia melangkah menuju kelasnya dengan hati berbunga-bunga.
---
"Vi. Kok lo bisa dapet jawaban yang nomor 3? Gue dari kemarin cari gak dapet-dapet," salah satu siswa pintar di kelas Alvi, bertanya padanya.
"Oh ini... Lo harus gini dulu..."
Alvi mulai menjelaskan cara yang ia gunakan saat menyelesaikan persoalan matematika itu. Walaupun Alvi tau teman-teman sekelasnya tidak begitu menyukainya dan malah serimg mengomonginya di belakang. Alvi tetap memjawab siswa yang bertanya itu dengan sabar.
Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa malu Alvi saat SMP dulu. Ia seringkali jadi target empuk bullying karena gemuk, hitam, rambut keriting, bau, bodoh dan aneh. Maka dari itu, Alvi merasa setidaknya ia harus belajar giat dan pintar di atas orang-orang biasa.
Tidak akan ada menyukai orang yang jelek, aneh dan bodoh. Setindaknya Alvi tidak masuk dalam satu kategori itu. Alvi berharap semoga ada hari dimana ia bisa jadi tidak termasuk kedalam kategori itu.
Tapi saat ini, hanya jadi pintar dan baik yang bisa ia usahakan.
"Okeh makasih, Viii,"
"Sama-sama!" jawab Alvi dengan senyum lebar.
Siswa itu tidak capek-capek melihat Alvi dan langsung kabur ke mejanya semula.
"Vi,"
Kali ini siswa di bangku belakangnya memanggil.
"Tolong kasih Yara lagi ya," katanya.
Alvi tersenyum dan mengangguk.
"Thanks, Vi,"
Alvi tersenyum kecil, senang karena ada orang yang mengapresiasinya. Walau tidak begitu tulus.
---
"Alviii! Lu suka sama gua ya? Kok lu selalu repot-repot bawain gua makanan sihh!"
Yara memeluknya erat-erat saat ia memberikan bekal itu. Alvi sedikit gugup.
"Gak lah! Ini karena lo sering anterin gue ke sekolah pagi-pagi," kata Alvi.
"Iya dehh. Betewe menu hari ini apa, princess?" Yara menanggapi dengan cuek sebelum bertanya.
"Telur dadar sama tumis sawi putih," jawab Alvi.
Kali ini, ia mengingat menu bekal yang akan ia berikan ke Yara supaya ia tidak kaget dengan pertanyaan-pertanyaan Yara.
"Lo doyan apa aja kan? Atau ada makanan yang gak lo suka?" tanya Alvi.
Yara, yang sedang sibuk membuka kotak bekal dengan tangannya berhenti untuk berpikir sejenak.
"Hmmmm...."
"Gua gak bisa makan seafood, terus gak bisa makan yang terlalu pedes juga... terus beberapa hari sebelum tanding gua harus makan yang kaya protein. Tapi di hari tanding harus banyak makan yang ada gulanya. Gitu sih?" jelas Yara.
"Lu mau bikinin makanan spesial buat gua ya, Viii?" tanya Yara.
Alvi hanya tersenyum jahil.
"Kalo gue cuma penasaran gimana?" goda Alvi.
Yara tertawa.
"Ya gak apa-apa juga sih, Vi. Kan kita temen, pasti ada penasaran-penasarannya satu sama lain," Yara menjawab dengan kasual.
Sementara Yara sibuk melahap makananya, Alvi larut dalam perasaannya.
Kenapa hati Alvi rasanya tidak enak saat Yara berkata bahwa mereka adalah teman?
---
Bel pulang berbunyi.
Di hari Senin seperti ini, Alvi selalu ingin pulang bersama dengan Nadya. Seperti biasa, menunggu angkot yang sepi dan lega.
Alvi memikirkan sesuatu. Biasanya, Nadya akan membuatnya menebak berapa angkot yang melintas sebelum akhirnya mereka berdua bisa naik dan pulang.
Sayangnya, hari ini tidak berjalan semulus itu.
"Alvi?"
Suara imut bagaikan malaikat itu memanggil namanya.
Dilihat dari banyak laki-laki yang melirik ke arah belakang Alvi, Alvi bisa menebak siapa yang memanggilnya.
"Hai, Fan?" sapanya kikuk.
Alvi berbalik menghadap Fana wajah ke wajah. Dan ia menyadari bahwa senyuman manis yang biasa dilontarkan dengan mudah kepada siapa saja lawan lawan bicaranya , sekarang tertahan.
Fana tidak tersenyum seperti biasa. Senyuman Fana kali ini terlihat lelah dan kesal.
"Umm... kenapa Fan?" tegur Alvi yang melihat Fana hanya diam aja.
"Gam apa-apa, kok. Tadi pagi kita gak ketemu, jadi aku pengen sapa kamu aja," Fana berbicara.
Alvi hanya garuk-garuk kepala, bingung, sebelum akhirnya paham.
"Oke," kaya Alvi.
Selang beberapa detik, akhirnya Fana angkat suara.
"Kamu... waktu itu kamu bilang kamu gak deket sama Yara," katanya.
Jantung Alvi mulai berdebar kencang, panik. Tapi ia tetap berusaha tenang.
"Uhhh..."
"Kamu buatin dia bekel tiap hari, ya?" Fana bertanya.
Sebenarnya yang membuat bekal untuk Yara bukan dirinya. Tapi ia tutup mulut dan menjaga janjinya kepada siswi yang duduk di belakangnya.
"I-iya," jawab Alvi, bohong.
Ia melihat mata Fana yang bertambah tajam.
"Fana, lo..."
"Lo gak suka sama Yara ya?" tanya Alvi, lirih dan hati-hati.
bersambung