“Wah makasih banyak, Vi!”
Fana memotret coklat pemberian Alvi itu dengan kamera handphonenya.
Alvi tersenyum bangga.
“Aku tag di status ya, Vi!” katanya.
Alvi mengangguk.
“Aku makannya di rumah ya, Vi. Gak akan habis kalo aku makan sekarang, nanti meleleh lagi,”
Alvi melihat ke arah coklat yang baru saja ia berikan. Ia mempertimbangkan tubuh Fana yang mungil, kemungkinan Fana tidak makan banyak. Makanya ia membeli coklat ukuran kecil untuk Fana.
“Kalo sama gue sih habis tiga kali hap,” pikir Alvi meringis.
Namun Alvi hanya tersenyum dan mengangguk ke arah Fana.
“ALVIIII!”
Yara berlari datang ke kelas Alvi dengan heboh. Anak-anak perempuan berteriak senang saat melihat wajah Yara kemudian berteriak panik saat melihat roknya.
“Cross-dress?”
“Itu cewek tulen, bodoh!”
“Ihh padahal ganteng!”
Tidak mendengar bisikan-bisikan itu, Yara berlari ke arah Alvi dengan senyum lebar di wajahnya.
“Ini dari lu yaa? Makasih Alviiii gua sayang banget sama lu!!!” Yara berseru, menggeser Fana yang ada di sebelah Alvi.
“Sama-sama,” Alvi menanggapi.
“Eh, tapi emang atlet boleh makan coklat ya?” Fana bertanya dengan polosnya.
Wajah Alvi menyiratkan kepanikan.
“Ohiya… maaf ya harusnya gue beliin protein bar aja buat lo…”
“Hahh?! Gua boleh makan coklat! Gua kan atlet bela diri, jadi makan banyak juga gak masalah asal sebelum lomba bisa turun ke kelas berat yang sesuai!” Yara menjelaskan, mengunyel-unyel wajahnya di dekat wajah Alvi.
“Btw ini siapa, Vi?” tanya Yara, menunjuk ke arah wanita mungil bagaikan malaikat itu.
“???”
Alvi bisa merasakan kebingungan dari seluruh penjuru kelas.
“Emang ada ya siswa SMA ini yang gak kenal Fana?” pikir mereka serempak.
Fana, yang biasanya memasang senyum lembut di wajahnya, juga sedikit terkejut.
“Uh.. ini… Fana… Lo… lo beneran gak tau, Yar?” tanya Alvi.
Yara memiringkan kepalanya.
“Gak, tuh? Emang buat apa gue boong?”
Fana kembali memasang senyum pada wajahnya.
“Ah, hai Yara! Kenalin aku Fana Zafira, dari IPA-3,” Fana memperkenalkan diri.
“Oh, halo. Kok lu tau nama gua?”
“???????”
Sekali lagi, Alvi bisa merasakan kebingungan dari seluruh penjuru kelas.
“Emang ada ya siswa SMA ini yang gak kenal Yara?” pikir mereka serempak.
“Haha, emangnya ada ya siswa SMA ini yang gak kenal kamu? Kamu kan sering dipanggil maju buat apresiasi kemenangan tiap upacara,” Fana menjelaskan dengan sopan.
“Ohh..”
Alvi yang duduk diantara dua bintang SMA itu merasa tidak bisa bernafas dengan benar. Entah kenapa, ia merasakan tegangan di antara mereka berdua.
Yara mengangkat bahunya dan kembali berbicara kepada Alvi.
“Alvi, Alvi, lain kali lu mau gua jemput ke rumah aja gak? Kita berangkat barengg???”
Alvi sesekali melirik ke arah Fana, yang tidak sengaja terabaikan karena Yara kerap kali mengajak Alvi berbicara dan seperti tidak membiarkan Fana membuka mulut.
—
“AWAS, NDUT!”
“Vi! Awas!”
Seperti biasa, Alvi tidak punya waktu untuk menghindar.
BUGH!
…dan lagi-lagi bola itu mengenai tubuh seorang laki-laki rupawan yang menghalau bola basket mengenai kepalanya. Walaupun ia tidak mengenai Alvi, ia tetap ambruk karena rasa panik.
Penghuni lapangan basket melihat ke arahnya karena lapangan terasa bergetar.
“Gila, lo kenapa sih suka banget bengong di lapangan basket?!”
Alvi mendongak. Lagi-lagi, ia melihat Yuza yang mengomel.
“Uh… sorry… maaf,” gumamnya.
Yuza terengah-engah kelelahan. Alvi yang melihat air mineral yang ia beli di kantin tadi.
“Uh, nih… kalo lo haus minum aja,” tawarnya menyodorkan botol air mineral.
Yuza menatap sebal ke arah Alvi namun menerima air itu dan meneguknya.
“Lo jangan bengong di lapangan basket, Ndut. Nanti lo ketinggalan latian lagi,” omel Yuza lebih lembut kali ini.
Alvi mengangguk.
“Vi, lo gak papa?”
Nadya yang melihat Alvi dari kejauhan menghampirinya.
“Gue gak papa, Nad. Berkat Yuza,”
“Eh, Yuza, makasih, ya!” Nadya berterima kasih mewakilkan Alvi.
“Oh, temen lo, Nad? Lo ingetin dia supaya gak bengong di tengah lapangan basket, noh. Kebiasaan,” omel Yuza sekali lagi sebelum ia kembali ke bawah ring dengan air minum yang ia dapat dari Alvi.
Alvi melihat Nadya kaget.
“N-nadya, lo tau Yuza?” Alvi bertanya.
“?? Dia sekelas sama gue,”
—
“Pagi, Nad!” sapa Alvi dengan ceria.
“Pagi, Vi. Makasih, ya, coklatnya!” Nadya menyambut Alvi dengan ramah.
Alvi melihat sekeliling kelasnya. Berbeda dengan suasana kelasnya yang sedikit… judgmental, suasana kelas Nadya lebih terasa individualis. Semua orang mementingkan dirinya sendiri, beraktivitas masing-masing. Ada yang bermain game, ada yang mendengarkan musik, ada yang masih tidur di meja, ada juga gerombolan yang berbicara di ujung kelas.
Tentu saja mereka asyik bergerombol di sana.
“YUZA! Pasti lo gak ngerjain PR Kimia lagi, kan?”
“Hah ada PR? Gila! Eh, minta punya lo dong!”
“Gak akan gue kasih, nanti gue dihukum sama guru killer itu!”
“HAHAH MAMPUS YUZA!”
Yuza jadi pusat sosial di mana saja. Termasuk di kelas. Mungkin itu sebabnya sisa penghuni kelas memikirkan urusannya masing-masing.
“Lo baru tau gue sekelas sama Yuza, ya?” Nadya bertanya dengan lembut.
Alvi mengangguk.
“Hahah, sorry ya, gue gak tau kalo lu su–”
Sebelum Nadya menyelesaikan kata-katanya, tangan besar Alvi bergerak menutup mulut Nadya.
Nadya tertawa jahil melihat Alvi kepanikan.
“Nad!” tegur Alvi.
“Iya, iya, gue gak bilang siapa-siapa deh,”
Alvi menghela nafasnya.
“Eh, lo bukan anak kelas ini, kan?” tiba-tiba suara dari siswi yang tertidur di meja sebelah Nadya bertanya.
Alvi menggeleng.
“Lo gak balik ke kelas lo? Bentar lagi bel,”
Orang-orang mungkin akan melihat kata-kata itu sebagai teguran ramah. Namun Alvi tahu apa yang ia maksud.
“Lo bau banget. Gue sampe bangun dari tidur gue gara-gara lo. Bisa pergi dari sini gak?” Mungkin itu yang sebenarnya ia pikirkan.
Alvi tidak menanggapi tapi buru-buru berpamitan dan pergi ke kelasnya.
—
“Vi, gue gak keliatan. Boleh nunduk gak?”
Alvi menundukkan kepalanya.
“Makasih, Vi. Udah gue foto papan tulisnya,”
Alvi tetap menundukkan kepalanya.
“Vi, geser kesanaan dikit dong. Maaf, “ kali ini Silvi, teman sebangkunya yang memintanya.
Alvi menurut, menggeser pantatnya ke kanan, menjauhi Silvi.
Kali ini, Bu Guru yang berkeliling mengawasi para siswa mencatat pelajaran di depan, melewati tempat Alvi. Bu Guru itu tiba-tiba menyemprotkan parfum.
Alvi tidak perlu menengok. Tapi Alvi dapat merasakan tatapan Bu Guru dari belakang kepalanya.
Tanpa sadar, ia menekan penanya di kertas lebih keras.
—
“Kok lo disini lagi? Ke kelas lo sana. Bel udah mau bunyi,”
Namun akhir-akhir ini, ia tidak lagi menunggu Fana mengunjungi kelasnya dan malah mengunjungi kelas Nadya.
“Bel bunyi masih 15 menit lagi, Sar. Lo gak nyaman ya, kalo Alvi dateng nemuin gue?” Nadya menegur dengan lembut.
Sarah, teman sebangku Nadya yang selalu tertidur setelah masuk kelas itu sepertinya tidak suka dengan Alvi.
“Udah tau ngapain nanya?” jawab Sarah ketus.
“Ada apa sih, Sar? Coba lo jelasin ke gue kenapa lo gak nyaman,” Nadya menanggapi dengan lembut.
“Gila, temen lo gak sadar sama bau badannya sendiri apa? Gue sampe bangun saking baunya!” jawab Sarah.
Suara Sarah yang biasa diam itu mengejutkan penghuni kelas.
“Si Sarah kenapa?”
“Sensi kali, kebangun gara-gara temennya si Nadya,”
“Katanya bau temennya ya? Hahah!”
“Gak heran sih, lo liat aja badannya dekil gitu, udah gitu pasti bau keringet. Gue juga bakal marah sih,”
“Jahat lo!”
Badan Alvi bergetar dan kulitnya mulai berganti warna kemerahan. Alvi melirik ke pojok kelas dimana gerombolan Yuza biasa berbincang ria.
Yuza sedang melihat ke arahnya. Alvi menatap mata itu.
Jantungnya berdetak keras. Keringatnya mengucur deras.
“Bau babi,”
Alvi teringat kata-kata itu.
—
“Ini bau apa, Vi?” tanya Fana polos.
Alvi menahan nafas. Jantungnya mulai berpacu keras.
“Uh…umm..”
“Wanginya enak,” Fana melanjutkan.
Alvi mulai menghembuskan nafas yang ia tahan.
“Kamu pake parfum ya?” Fana bertanya.
“I-iya…”
“Wanginya enak, Vi. Kamu pake parfum apa? Rekomen aku dong! Aku juga mau mulai pake parfum!” seru Fana.
Alvi bisa merasakan anak-anak laki-laki di kelasnya tersenyum gemas.
“Gak pake parfum aja udah wangi surga,” pikir mereka serempak.
“Um, kayaknya gak perlu pake parfum. Kamu udah wangi kok,” jawab Alvi.
“Haha, makasih Alvi! Kamu muji aku terus, aku jadi malu!”
Alvi membalas senyum Fana.
Senyuman manis Fana mengingatkan saat Alvi pertama bertemu Fana waktu ospek empat bulan lalu. Mereka melakukan perkenalan di depan lapangan supaya mereka mengenal satu sama lain. Kebetulan, Alvi duduk di sebelah Fana.
“Kamu dari SMP itu? Kakak aku alumni sana,” Fana memulai percakapan dengan senyuman manis.
Itu pertama kalinya Alvi melihat seseorang tersenyum semanis itu kepadanya. Sudah ratusan kali melihatnya, Alvi tidak pernah bosan menerima senyuman manis Fana.
“Tapi kayaknya aku tetep mau beli parfum, Vi. Kamu mau temenin aku gak?” Fana bertanya, masih tersenyum.
“Boleh. Kapan?”
“Kalo besok gimana? Eh tapi besok Selasa, kamu latian basket, ya?”
“Umm..”
Sebenarnya Alvi tidak keberatan kalau dia harus bolos latihan basket. Ia benar-benar tidak mau menemui Nadya atau Yuza sekarang. Itu juga alasan kenapa ia kembali ke rutinitasnya menunggu Fana di kelasnya sendiri ketimbang pergi ke kelas Nadya untuk mencuri pandang dari wajah rupawan Yuza.
“Gak–”
“ALVIIIII! Lu pasti kangen sama gua, kann???”
Entah mengapa, Alvi bisa merasakan senyuman Fana terhenti saat Yara memasuki kelasnya.
bersambung