Warna yang Tak Punya Nama
Langit pagi terlalu pucat. Seolah kota ini lupa cara menyambut hari.
Amalia berdiri di depan gedung fakultas seni, menggenggam tali tas selempangnya yang mulai aus di pinggir. Udara terasa dingin, atau mungkin itu hanya sugesti dari dadanya yang selalu kosong tiap Senin datang. Di matanya, orang-orang berjalan dengan warna masing-masing. Merah yang tajam, biru yang sendu, hijau yang gelisah.
Sudah lama ia tidak menganggap itu ajaib.
Sejak kecil, ia tahu ada yang berbeda dalam dirinya. Ia bisa melihat emosi orang lain bukan dalam kata atau ekspresi, tapi dalam bentuk visual. Seperti semburat cahaya, warna, atau kadang bentuk aneh yang menggantung di sekitar tubuh seseorang. Ia menyebutnya “fragmen.”
Seorang dosen melintas, auranya menyala jingga terang. Gugup, pikir Amalia. Hari ini pasti presentasi hasil riset.
Seorang mahasiswa nyaris menabraknya. Aura lelaki itu abu-abu kusam, tapi di bagian dadanya berdenyut ungu tua yang hampir hitam. Bukan warna biasa. Amalia mematung.
“Maaf,” ucap si mahasiswa, sebelum berlalu begitu saja.
Tapi Amalia masih diam. Fragmen ungu itu… tidak seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Seperti luka yang lama membusuk tapi dipaksa sembuh. Ada rasa ingin tahu yang muncul di dadanya perasaan yang jarang datang, sejak hidupnya berhenti mengejutkan.
Di dalam kelas, Amalia duduk di pojok, seperti biasa. Ia mencatat seadanya, menghindari kontak mata, dan mencoba tidak terlalu memperhatikan warna-warna di sekelilingnya. Tapi pikirannya sudah tertinggal di koridor tadi.
Dia tidak tahu siapa mahasiswa itu. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, dia penasaran.
Bukan karena warnanya indah. Tapi karena warnanya menyakitkan.
Dan anehnya, terasa sangat… akrab.