Welcome Home
-Sindy Pertiwi-
Congratulation upon winning Medal Silver, International Physics Olympiad XX
Selamat Kepada Delegasi Indonesia
Meraih Satu Medali Emas, Dua Medali Perak, dan Dua Honorable Mention
Pada Ajang International Physics Olympiad XX
=========
Sambutan meriah aku dapatkan begitu sampai di bandara Soekarno-Hatta setelah kurang lebih sembilan hari berjuang di ajang lomba fisika paling bergengsi internasional. Aku kembali menangis haru saat dinyatakan meraih medali perak. Nggak ada yang tahu betapa kaki dan dada ini gemetar saat namaku dipanggil di closing ceremony. Maju ke depan untuk membentangkan bendera negara dan menerima penghargaan yang luar biasa. Semua yang terjadi selama sembilan hari di Prancis masih terekam begitu jelas. Dan tiap kali ingat, ternyata cukup menggetarkan jiwa. Merasa nggak pernah menyangka bisa sampai pada titik ini.
Selain pihak sekolah mulai dari kepala sekolah hingga tiga guru yang pernah menjadi wali kelasku selama tiga tahun ini, teman-temanku juga ikut datang. Tante Elliana dan Om Akbar tentu juga ikut lengkap sama Bi Tuti.
Semua berlomba-lomba memberiku buket yang isinya macam-macam. Sampai tanganku nggak muat lagi untuk menerimanya. Beberapa media juga turut hadir dan meliput. Sehingga aku dan lainnya sedikit membutuhkan waktu untuk sesi wawancara dan foto bersama. Yang pasti sambutan ini jauh lebih meriah dari lomba-lomba yang pernah aku ikuti sebelumnya.
"Gila! Gue bangga sama lo, Sindy!"
Kara dan Meysa memelukku erat. Dua pipiku bahkan mereka cium bertubi-tubi sampai menyisakan nyeri. Aku yakin 100 persen pipiku merah saat ini. Nggak hanya mereka, Ricky dan Marcell pun ikut menyambut dan langsung memberiku selamat.
"Tolong pinjemin otak lo bentar, Sin. Biar gue bisa lulus ujian mandiri ntar," ujar Ricky sambil mewek. Pasalnya katanya dia nggak lolos di SMBPTN dan akan ikut ujian mandiri.
"Belajar yang bener kalau mau lolos, bukan pinjem otak orang! Rada-rada emang lo ye!" sentak Kara yang masih galak saja sama cowok itu.
"Jangan galak-galak ngapa, Beb! Lo nggak kasian sama gue yang menderita ini." Ricky bertingkah clingy dan hendak memeluk Kara, tapi cewek itu segera mendorong muka Ricky menjauh.
Tingkah keduanya hanya menjadi bahan tertawaan kami. Aku kangen keributan yang dibuat mereka. Kelak, nggak bakal aku temui lagi kekonyolan anak-anak di kelasku.
"Eh? Prince mana ya? Kok nggak kelihatan?"
Pertanyaan Marcell membuat senyumku surut seketika. Sejak menginjakkan kaki kembali di bandara aku belum melihat Prince. Ah, bukan belum. Mungkin dia memang nggak ikut sama seperti waktu aku berangkat. Jujur saat itu aku agak kecewa padanya. Berharap support terakhir, tapi sampai detik aku kembali lagi pun harapanku zonk.
"Gue nggak liat dari tadi. Cuma ada bokap nyokapnya doang." Meysa menimpali sambil celingukan.
"Keterlaluan banget sih mantan terindah yang satu itu kalau nggak datang!" Ricky ikut nimbrung memaki.
Aku cuma bisa menghela napas dan memaksa tersenyum. Di hari bahagia ini, aku nggak mau mengingat sesuatu yang bikin aku sedih lagi.
"Nggak apa-apa kok, Gaes. Kedatangan kalian juga cukup buat gue," ujarku menenangkan kekesalan mereka.
Tapi sepertinya Kara nggak mau melepas pembahasan ini. "Serius lo nggak apa-apa?"
Nggak cuma Kara, Meysa pun lanjut menambahi. "Emang lo nggak ngarep dia datang nyambut lo dan ngasih selamat?" Itu seringai menggoda. Aku tahu banget.
Aku terkekeh. Berusaha terlihat nggak terpengaruh apa pun dengan godaan mereka. "Biasa aja."
"Masa?" Kali ini Marcell dan Ricky kompak menggoda. Astaga, mereka pada kenapa sih?
"Permisi! Ada yang bernama Sindy di sini?"
Keseruan mereka menggodaku terjeda saat seorang yang mengenakan seragam salah satu restoran waralaba dengan produk pizza datang. Lengkap dengan topi merah serta masker yang menutupi sebagian mukanya. Aku mengernyit melihatnya membawa kotak pizza. Ada yang pesan kah?
"Lo pesan pizza, Sin?" tanya Meysa kemudian.
Aku yang nggak merasa pesan pun menggeleng cepat. "Gue nggak pesen. Emang bukan kalian?" tanyaku balik, tapi nggak ada yang mengaku di antara mereka.
"Di sini tertulis yang memesan atas nama Sindy Pertiwi," ujar si tukang pizza memastikan lagi pesanan yang dia bawa.
"Itu benar nama saya. Tapi saya nggak merasa pesan. Saya baru saja datang," terangku makin heran.
"Udah dibayar belum pizzanya, Bang?" tanya Marcel. Raut muka cowok itu pun terlihat penasaran.
"Udah. Udah dibayar."
"Terima aja, Sin. Udah dibayar ini. Kita makan sama-sama." Marcell tertawa tapi sejurus kemudian dia dapat jitakan satu per satu dari teman-teman.
"Biar saya bukain ya," ucap tukang pizza itu tiba-tiba.
Kami semua kompak mematung heran. Karena sangat jarang ada tukang pizza yang mau dengan rela hati membukakan kotak pizza. Mungkinkah ini pelayanan ekstra karena aku menyabet medali? Lupakan. Aku berlebihan. Namun begitu kotak pizza itu terbuka tepat di depanku, secara perlahan mataku melebar.
Bukan hanya aku yang terkejut di sana. Keempat teman yang mengelilingku pun ikut terkejut. Di atas pizza itu terdapat ukiran kata-kata selamat yang ditujukan padaku. Pizza itu seolah memang dipesan khusus buatku.
"Siapa yang kirim ini, Mas?" tanyaku spontan, menatap si pengantar pizza yang masih berdiri sambil membawa kotak pizza yang sudah terbuka itu.
Mataku menyipit, dua alisku menyatu saat si pengantar pizza itu malah melepas topinya, dan lanjut masker yang dia pakai. Tunggu! Hal yang nggak aku duga pun terjadi. Aku terbengong seketika menatap sosok yang berdiri di depanku saat ini. Si tukang pizza itu ternyata....
"Prince?!" seru teman-temanku bersamaan.
Ya! Dia Prince. Dengan nggak tahu malunya datang ke bandara menyamar menjadi kurir pizza. Sumpah demi apa pun! Di dalam hatiku mendadak nano-nano rasanya melihat kedatangannya yang ajaib ini. Aku masih membeku, seperti nggak percaya dengan mataku sendiri.
"Selamat Sindy! Lo selalu membanggakan," ucap Prince, memecah kesadaranku.
"P-Prince..."
Mungkin aku sudah nggak waras. Karena tanpa sadar aku melangkah maju pelan, lalu memeluknya erat.
"Pizzanya!" Marcell dengan sigap menangkap pizza yang hampir saja terjatuh. "Ya ampun, Sindy. Hampir saja pizza ini mubazir."
Aku nggak peduli dan masih memeluk Prince. "Makasih udah mau datang," ucapku dengan bibir bergetar. Entah untuk alasan apa, air mataku jatuh lagi. Mungkin karena harapanku melihat Prince di sini terwujud.
"Sori, waktu itu nggak ikut antar lo. Tapi di saat yang sama gue janji. Apa pun hasil yang lo bawa hari ini, gue pasti datang jemput lo, Cinderella galak."
Aku terkekeh di balik punggungnya. "Bad Prince!"
"Woy! Mau sampai kapan kalian pelukan?! Bikin mupeng aja!"
Teriakan Ricky membuatku dan Prince sontak saling menjauh. Sial! Aku mendadak terserang malu. Apalagi dari kejauhan ada Om Akbar dan Tante Elliana yang ternyata memperhatikan kami sambil senyam-senyum. Aku menduga ini konspirasi mereka.
"Berisik lo!" decak Prince yang telinganya sudah semerah dadu. Cute banget. Dia mendapat rangkulan dari dua sohibnya. Ricky dan Marcell.
"Ngide banget lo, pakai seragam restoran pizza gini, Prince!" komentar Kara, sambil menatap cowok paling ganteng se-Dwi Warna itu dari ujung rambut hingga kaki.
"Demi cinta apa pun bisa orang lakuin, Beb. Kek nggak pernah rasain aja," sambut Ricky.
Kara langsung menatap Ricky skeptis. "Lo nggak pernah ngasih surprise unik gini ke gue, jadi dilarang komen!"
Marcell dan Meysa sontak ngakak melihat muka merana Ricky yang langsung mendapat skakmat dari gebetannya.
"Makanya modal dong jadi cowok!"
Candaan seperti ini yang bakal aku rindukan. Aku menatap Prince, lalu melempar senyum. Saat cowok itu mengulurkan tangannya diam-diam di tengah kerusuhan yang lain, aku pun menyambut. Seenggaknya, aku harus bisa memanfaatkan waktu bersama Prince sebelum berangkat study ke Jerman awal tahun ini.
T A M A T
=============
Akhirnya aku bisa menamatkan cerita ini sebelum deadline. Terima kasih yang sudah mendukung sampai detik ini. Semoga cerita ini bisa menghibur.
Salam Sayang,
—Yuli F. Riyadi—
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2