Batang berbentuk persegi panjang tipis tiba-tiba jatuh di méjaku. Bukan jatuh, tepatnya ada yang meletakkannya di sini. Batang dengan kertas pembungkus berwarna keemasan yang langsung menarik perhatianku. Aku sangat hapal bentuk dan isinya. Cokelat dari brand tertentu yang aku suka. Belum sempat menoleh, sebuah suara terdengar.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau capek istirahat."
Aku menoleh dan menemukan Prince berjalan menuju tempat tidurku lalu menjatuhkan diri di sana. Aku menyambar cokelat itu, memutar kursi, dan menunjukkan padanya.
"Ini buat gue?"
"Iya." Prince bergerak miring ke arahku. Menyangga sebelah kepala dan menatapku. "Otak lo perlu istirahat."
"Tapi besok kita udah ujian."
"Gue tau. Tapi setahun ini lo udah kerja keras banget. Habis ujian lo masih harus ikut pelatnas. Kapan istirahatnya kalau lo nggak bisa curi waktu?"
Tidak berminat menjawab. Aku lebih pilih membuka bungkus cokelat itu dengan hati-hati. Lalu segera memakannya. Orang bilang makan cokelat bisa bikin pikiran relaks dan tenang. Dan kurasa itu benar setelah makan satu gigitan.
"Sering-sering aja ya." Aku menggoyangkan batang cokelat itu ke arah Prince.
Cowok itu tampak menarik napas lalu beranjak duduk. "Gue denger lo lolos ITB dan UI. Mana yang lo pilih?"
Kunyahanku memelan. Kabar itu cepat banget tersebar. Prince pernah bilang ingin berkuliah di tempat yang sama denganku. Tapi aku nggak yakin pikirannya masih sama sampai detik ini.
"Gue belum tau," sahutku pura-pura nggak peduli.
"Seenggaknya lo bilang pilihan utama lo yang mana. Jadi gue bisa jadiin itu pilihan utama di SMBPTN ntar. Kalau pun gue nggak lolos SMBPTN gue bakal ikut ujian mandiri. Biar bisa kuliah bareng lo."
Aku mengerjap dan sontak berhenti mengunyah total. Setelah kami putus kukira dia akan berubah pikiran soal kuliah ini. "Kalau gue nggak pilih keduanya?"
Mata Prince menyorotku tajam. "Memang ada pilihan lain selain itu?"
Alih-alih menjawab, aku malah menggigit bibir. Ragu antara mau jujur atau enggak. Namun tiba-tiba mata Prince melebar seolah tengah menyadari sesuatu.
"Jangan bilang lo mau nyusul Regan kuliah di Singapore?!"
Tebakannya bikin aku spontan ternganga. Bagaimana bisa cowok itu berpikiran ke sana?
"Enggak."
"Terus?"
"Emang harus banget kita kuliah di tempat yang sama? Kita kan udah putus." Di ujung kalimat aku memelankan suara dan sontak menundukkan pandang.
"Emang kalau kita udah putus kita nggak boleh satu kampus?"
Buat aku jelas enggak. Melihat dia berkeliaran dengan cewek lain itu menyebalkan. Di sekolah saja dia sudah banyak digandrungi cewek-cewek cantik. Gimana kalau di kampus ntar yang cakupannya lebih luas? Ah, membayangkan itu saja sudah bikin kesal.
"Nggak ada aturan itu sih." Aku nyaris bergumam saat mengatakan itu.
"Jadi?"
Aku membuang muka. "Cewek baru lo bisa ngambek kalau lo masih ngikutin gue." Ujung mataku bergerak melirik. Ingin tahu reaksinya. Tapi detik berikutnya aku tersentak saat dia malah bergerak mendekat.
Aku refleks menggerakkan kursi mundur. Meski ujung-ujungnya mentok membentur meja. Cowok satu ini agak kurang ajar. Dia menumpukan kedua tangannya di pegangan kursi yang kududuki dan sukses bikin aku mati gaya.
"Kalau lo? Lo nggak ngambek liat gue jalan sama cewek lain?" tanya Prince dengan muka serius. Jarak kami yang terlampau dekat membuatku bisa dengan jelas melihat bola mata legamnya yang selalu bersinar.
Aku menelan ludah pelan dan debaran dadaku kembali menggila. Sampai detik ini ternyata aku belum bisa melupakan cowok itu sepenuhnya. Bagaimana bisa lupa kalau tiap hari saja ketemu?
Perlahan kudorong dadanya agar menjauh. Dan begitu ada kesempatan, aku langsung memutar kursi menghadap meja.
"Nggak."
"Kalau beneran nggak, kenapa harus balik badan ngomongnya?"
Memejamkan mata sesaat, aku menarik napas panjang lalu memutar kursi dan sedikit mendongak, menatapnya. "Sama seperti lo yang nggak punya hak buat cemburu, gue juga nggak punya hak buat ngambek lagi."
"Kalau gitu, ayo buat kita punya hak lagi. Kita balikan."
Prince mengucapkan kata itu dengan begitu santai. Sementara di sini, aku sudah mulai panas dingin tak karuan. Balikan sama Prince nggak lantas bikin semua membaik.
"Gue nggak yakin soal itu. Masih banyak hal yang jadi fokus gue sekarang. Gue bisa stres kalau ditambah harus ngadepin lo tantrum."
Cowok dengan potongan rambut ala-ala boyband korea itu ternganga. "Emang gue semenyusahkan itu?" tanyanya menunjuk mukanya sendiri.
Bibirku melengkung. Tersenyum dibuat semanis mungkin. "Kalau kita balikan, cewek lo mau dikemanain?"
"Gu-gue nggak punya cewek." Prince memasang wajah panik saat aku menyipitkan mata. "Suer, Sindy. Cewek-cewek itu cuma temen."
Aku hanya mengangguk-angguk dan itu membuat cowok itu makin terlihat gusar.
"Kalau lo nggak percaya, lo bisa tanya Bams, Ricky, atau Marcell. Gue cuma--"
"Cuma seneng-séneng sama mereka?" potongku cepat. "Cukup ya, Prince. Kita itu emang belum waktunya buat pacar-pacaran. Mending fokus sama apa yang lagi kita hadapi sekarang. Lo mau bisa lolos PTN kan? So, lebih baik banyak-banyakin belajar. Gue juga masih pengin jadi wakil Indonesia di Ipho."
Prince tampak membeku sejenak. Dia lantas menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Kepalanya lantas mengangguk pelan. "Oke, gue nggak ganggu lo lagi," ujarnya, dan memutuskan bergerak mundur, menuju pintu keluar.
"Prince!" Sepertinya aku memang perlu memberitahu soal beasiswa itu.
Langkah Prince berhenti, dan dia kembali menoleh. Dua alis tebalnya terangkat.
"Gue kayaknya nggak lanjut ke ITB atau UI. Gue dapat beasiswa kuliah di Jerman."
Aku sempat melihat wajah terkejut cowok itu. Hanya sebentar sebelum dia kembali ke raut semula.
"Oh, semoga sukses kalau gitu," katanya, sebelum meninggalkan kamarku.
Aneh, perasaanku mendadak kosong begitu dia pergi. Bukankah ini yang aku mau?
***
Pembinaan tahap akhir hanya dilakukan beberapa hari saja. Seperti sebelumnya dosen-dosen dari ITB, UGM dan UI yang langsung membina. Di sini aku merasa banyak sekali ilmu dan pengetahuan baru yang aku dapat. Makin sulit sebuah soal, penasaranku makin tambah. Setelah serangkaian pembinaan selesai dalam beberapa hari, aku mengikuti seleksi lanjutan dengan sembilan anak lain yang ikut maju ke tahap ini.
Perjuangaku nggak sia-sia saat akhirnya juri mengumumkan siapa saja yang berhak menjadi perwakilan Indonesia di ajang International Physics Olympiad. Namaku ada dalam daftar lima orang terpilih itu.
Dan di saat anak-anak lain sedang sibuk menyiapkan diri untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi, aku sibuk menyiapkan perbekalan untuk terbang menuju Prancis.
"Semua sudah beres, Sayang?" tanya Tante Elliana yang datang menghampiriku ke kamar.
Aku tersenyum dan meletakkan satu set terakhir baju ke dalam koper. Tante Elliana membeli beberapa pakaian dan sepatu baru buatku. Padahal itu sebenarnya nggak perlu.
"Itu jaket yang akan kalian pakai nanti ya? Keren," tanya Tante Elliana memandang jaket dari panita penyelenggara yang akan kupakai nanti. Jaket yang sengaja kugantung biar nggak lupa.
Aku juga bangga saat mengenakan jaket itu. Ada ukiran namaku di punggung jaket tersebut. Jaket itu yang kelak akan jadi bukti perjuanganku selama ini.
"Ibu kamu di sana pasti bangga. Kamu bukan hanya pintar, tapi tumbuh jadi anak yang baik. Tetaplah rendah hati dalam kondisi apa pun, ya, Sayang."
"Iya, Tante. Makasih buat supportnya." Aku beneran tulus saat mengatakan ini.
Tangan wanita cantik itu terjulur dan mengusap lembut kepalaku. "Besok berangkat pagi kan?"
"Iya."
"Good. Sekarang kamu istirahat ya. Biar besok pagi jauh lebih segar. Kami semua akan mengantar kamu ke bandara."
"Termasuk, Prince?" tanyaku cepat. Meski nggak yakin, aku berharap dia ikut mengantarku juga.
"Itu nanti tante tanyakan lagi ya." Mantan majikan ibu itu menepuk pipiku pelan, sebelum beranjak keluar dari kamarku.
Ada rasa bersalah tiap kali aku mengingat Prince. Setelah obrolan kami sehari sebelum ujian nasional waktu itu, kami nggak terlibat obrolan serius lagi. Prince seperti sengaja menghindar. Tiap aku mulai bicara, dia akan menyingkir. Huuft. Bisa-bisanya aku berharap cowok itu mau ikut mmengantar ke bandara setelah aku mengecewakannya.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2