Prince
Tidak ada kabar apa pun tentang kemunculan dia. Dan untuk apa juga dia kembali lagi? Sudah benar dia enyah. Empat tahun gue ngerasa tenang tanpa tahu kabar darinya lagi. Si penghianat yang sialnya sekaligus teman dekat gue.
"Mami tau enggak kalau Regan balik lagi ke Jakarta?" tanya gue saat mami menelepon.
" Tau. Tante Lisfi bilang kok ke Mami. Kalian udah ketemu?"
Gue mendesah. Mau ngapain juga ketemu orang yang selalu nganggap gue saingan.
" Kata Tante Lisfi, dia masuk sekolah yang sama dengan kamu. Harusnya sih udah ketemu. Pasti kamu kangen kan main bareng dia? Empat tahun kan bukan waktu yang sedikit."
Dan dalam kurun waktu empat tahun itu mami tidak pernah tahu kalau aku punya masalah sama Regan. Gue malas bahas, tapi kemunculan Regan kayak ngegores luka lama gue lagi.
Regan si kalem, si pintar, si ganteng, dan si baik hati. Seenggaknya itu yang orang lihat. Gue juga menganggap dia begitu, awalnya. Tapi enggak, setelah tahu hatinya bukan lebih busuk daripada sampah.
Kami dulu akrab, nyaris tidak bisa dipisahkan. Kami tumbuh dalam lingkungan yang sama. Ke mana-mana juga selalu berdua. Hingga banyak yang mengira kami anak kembar. Mungkin karena jarak usia kami yang hanya terpaut satu tahun.
Tante Lisfi, atau mamanya Regan adalah teman dekat Mami yang secara kebetulan bertetangga dengan kami. Empat tahun lalu mereka menjual rumah karena Om Ali, papanya Regan dipindah-tugaskan ke Kalimantan. Itu benar.
" Mereka sekarang tinggal di apartemen. Nggak jauh kok dari rumah kita. Mami harap kamu mau mengunjungi mereka."
Lamunan gue tentang Regan buyar saat mami kembali bersuara. Aku akan membukakan mata. Apa salahnya saya mengunjungi mereka?
"Buat apa?"
" Kalian kan sahabatan. Lagi pula, mami sama papi kan masih di Aussie."
Gue kembali menghela nafas berat. Lihat Regan di sekolah aja malas. Apa lagi yang sengaja membahasnya?
"Tante Lisfi sekarang sendiri sama Regan. Enam bulan lalu dia cerai sama Om Ali, makanya Tante Lisfi memutuskan pulang ke Jakarta."
Ucapan mami bikin gue tertegun sejenak. Tante Lisfi cerai?
Secara otomatis gue ingat kejadian saat tanpa sengaja menemukan Regan nangis di pojokan rumahnya empat tahun lalu, sebelum hubungan gue sama dia renggang.
Regan memang bukan cerita apa-apa waktu itu, tapi dari luar aku bisa mendengar ada pertengkaran hebat antara Tante Lisfi dan Om Ali.
"Udah enam bulan? Tapi kok mami atau papi nggak pernah bilang?"
"Kamu sibuk, mami juga sibuk. Jadi, lupa deh." Terdengar helaan napas mami di ujung sana. " Ya udah sana kamu belajar. Ada les sama Sindy kan hari ini?" tanya mama.
Sindy, tiap ingat cewek nyebelin itu bikin darah gue mendidih. Sekarang dia lagi dekat sama Regan. Awalnya gue nggak peduli, tapi lama-lama gue emmpet. Apalagi pas lihat dia datang ke sekolah bersama Regan waktu itu.
Nggak tau kenapa, gue ngerasa Regan tertarik sama cewek itu. Apa menariknya Cinderella KW itu? Memang pinter, tapi judes. Dan entahlah, gue seneng tiap kali liat muka sangarnya jengkel gara-gara ulah gue.
"Ya, Mi. Paling malam itu juga kalau enggak capek. Soalnya aku lagi latihan basket." Mataku melirik keranjang anak-anak yang tengah berkumpul di lapangan. "Iya udah ya, Mi. Aku tutup dulu teleponnya."
"Oke, hati-hati ya, Nak."
Setelah panggilan dari mami berakhir, gue langsung lari ke lapangan keranjang. Hendak bergabung dengan tim basket sekolah. Tapi baru juga gue sampai ke lapangan, Marcel mencolek bahu gue dan menunjuk ke arah koridor kelas dengan dagunya.
Refleks gue mengikuti arah pandangnya, dan mata gue menemukan Sindy tengah berjalan bersama Regan sambil tersenyum lebar, bahkan sesekali dia tertawa saat Regan terlihat sedang bercerita. Entah apa yang mereka obrolkan. Namun anehnya, gue nggak suka melihat pemandangan itu.
***
Harusnya gue bisa langsung pulang karena sakit ini tidak ada latihan basket rutin. Tapi ketika mata gue menangkap keberadaan Sindy di antara rombongan anak klub refleks fisika langkah gue berbelok.
Sebenarnya aku tidak peduli dia ada di sana. Sudah sering gue lihat juga. Tapi yang bikin gue mau nggak mau mengurungkan niat pulang, di antara rombongan itu ada Regan. Cowok itu berjalan bersisian dengan Sindy. Dari ketertarikan mereka terlihat asyik ngobrol dan itu cukup menyebalkan buat gue.
Akhir-akhir ini gue sering lihat Regan di sekitar Sindy dan teman-temannya. Aku tidak tahu ada urusan apa. Nggak mungkin dia ikut klub? Kelas XII sudah sibuk dan fokus ke ujian nasional. Urusan klub dan lain-lain akan diambil alih semua oleh anak kelas XI. Kalau gue berpikir Regan punya misi pedekate sama Sindy, nggak berlebihan kan?
Sebuah tepukan dari belakang bikin gue terlonjak. Refleks gue berdecak begitu wajah Bams dan Ricky muncul.
“Bengong lo, Pangeran? Nggak balik? Liatin apaan sih?” tanya Ricky. Tatapnya melirik rombongan para anak-anak klub fisika yang satu per satu sudah mulai memasuki kelas. "Klub fisika? Mau ikut klub fisika? Serius?"
Detik berikutnya Ricky mengaduh karena mendapat tampolan keras dari Bams.
"Sakit, Bams. Lo punya masalah apa sih?" jerit Ricky seraya memegangi kepalanya.
"Jangan bego. Pangeran gak lagi pengin klub fisika, itu mustahil bangetlah!" ujar Bams ngakak. Tapi sontak diam saat aku menatapnya tajam. "Hihi. Sori, Pangeran."
"Kalian pulang gih, jangan ganggu gue." Gue mengusir mereka seraya mengedikkan dagu.
"Lo nggak?" tanya Ricky lagi, terlihat heran.
"Gue ada urusan."
Habis itu gue langsung pergi ninggalin mereka berdua yang pasang ganteng cengo. Gue melesat ke kantin buat makan siang, karena kayaknya gue bakal tertahan sampai sakit di sekolah.
Ini ngebosenin, tapi gue nggak mau lihat Sindy diantar pulang Regan lagi. Heran gue, apa nggak ada cewek lain yang bisa Regan dekati? Gue tau banget, Sindy bukan tipe Regan. Cowok itu nggak mungkin suka cewek sederhana kayak Sindy.
Saya menghabiskan waktu dengan bermain basket di lapangan basket outdoor sekolah. Baju seragam sudah gue lepas. Gue cuma mengenakan celana abu dan kaus hitam yang memang gue gunakan sebagai dalaman.
Sesekali gue melirik kelas klub fisika. Sudah hampir dua jam, tapi tidak ada tanda-tanda pintu kelas terbuka. Gue mulai bosan bermain basket sendirian. Terpaksa gue menyudahi permainan dan berpindah ke kelas klub fisika.
Aku menetap, dan mengintip kegiatan mereka melalui kaca jendela. Ada sekitar dua puluh anak yang terdiri dari kelas X dan XI. Termasuk di dalamnya ada Sindy dan Regan.
Mereka semua tampak sibuk. Regan terlihat sedang menjelaskan sesuatu di papan tulis. Entah apa yang dia bahas. Melihat angka dan huruf yang dia tulis tiba-tiba membuat kepala gue mumet.
Jadi, bagaimana mereka bisa beta mengerjakan soal serumit itu?
Beberapa anggota klub bertanya tentang soal dan rumus yang dijawab dengan lancar oleh Regan. Tidak ada yang berubah. Cowok itu dari dulu memang pintar dalam hal akademik. Kadang mami suka bandingin gue sama dia. Meski begitu, Regan lemah dalam berolahraga. Pegang bola aja mengecewakan.
Otak encernya nggak bisa dia gunakan buat hal yang berhubungan dengan fisik.
"Kamu ngapain di sini?"
Gue terperanjat, melihat tiba-tiba saja Sindy sudah nongol di depan muka gue. Sejak kapan dia keluar dari kelas?
"Heh, gue nanya lo ngapain di sini?" tanyanya dengan nada galak. Kalau lagi mode begitu, pengin rasanya gue gunting mulut.
"Nunggu lo lah! Ngapain lagi?" Aku tidak menjawab kalah galak.
"Ngapain? Gue kan udah bilang lo pulang duluan, gue masih ada kelas di club."
Harusnya dia berterima kasih karena ada cowok ganteng yang mau menungguin dia.
"Apa lama lagi?"
"Masih lama. Udah mending lo balik." Dia mengusirnya sambil mengibaskan tangannya lalu mendekat.
"Loh lo sendiri mau ke mana? Kok ke sana?" Gue bergerak mengikuti Sindy yang malah nggak kembali ke club.
"Gue mau ke toilet. Ngapain lo ngikut gue?" Dia dengan cepat memutar badan, dan gue di belakangnya refleks ngerem tiba-tiba. Nih anak mau muter nggak pake aba-aba. Kalau nabrak bisa berbahaya.
"Gue mau ke toilet juga kok," sahut gue asal. Sindy tidak berkomentar apa pun lagi dan kembali berjalan.
Hal konyol selanjutnya, gue malah menungguin dia keluar dari toilet. Sindy sampai kaget lihat gue nongkrong di depan toilet cewek.
"Ngapain lo masih di sini?" tanya dia seraya menghela napas. Tapi nggak sampai gue jawab, dia malah beranjak. Dan mukanya itu sepet banget pas lihat gue. Beda banget pas dia lagi sama Regan.
Kayaknya cuma dia cewek yang mukanya asem pas lagi sama gue deh.
"Sin, lo balik jam berapa? Tadi belum lo jawab." Gue kembali mengejarnya.
Dari belakang gue lihat bahunya naik lalu turun. "Gue nggak tau. Masih banyak yang lagi gue bahas sama anak club."
“Sama anak club apa sama si Regan?”cibir gue nggak percaya.
Langkah Sindy berhenti seketika. Dia kembali ke tempatnya dengan bosan. "Mending lo balik deh, Pangeran. Aneh tau nggak, lo tiba-tiba nungguin gue ekskul. Biasanya juga enggak." Dua alis cewek itu menyatu. sepertinya nggak terima gue masih ada di sekolah, bikin gue kesel aja.
"Dari tadi ngusir gue mulu. Suka-suka gue dong mau nunggu atau enggak. Kenapa? Lo ada rencana mau pulang bareng Regan kan makanya nggak mau gue tunggu?" tanya gue mulai jengkel. Nggak ngehargai waktu gue banget nih cewek.
Dahi Sindy mengernyit dalam. Wajahnya makin terlihat asem dan jutek. "Gue mau pulang bareng siapa pun itu bukan urusan lo."
"Gue itu bela-belain nggak pulang nunggu lo. Nggak ngehargai waktu gue banget lo. Jarang-jarang gue mau begini."
"Emang gue minta?" balasnya juga ngeloyor pergi.
Sumpah, nih cewek bikin gue makin gedek. Bukannya seneng ditunggu cowok ganteng, malah nyolot. Gue makin kesel saat lihat Regan tiba-tiba nongol dari balik pintu ruang kelas club dan menyambut Sindy dengan senyum lebar. Dan yang bikin darah gue naik ke ubun-ubun, Sindy membalasnya nggak kalah manis. Lalu keduanya masuk ke kelas bersama.
Kurang terbuka banget, sama Regan dia bisa bermanis-manis tapi sama gue asem kayak kedondong. Sial.
Sekarang aku memahami keberadaan aku di sini. “Ngapain sih lo, Pangeran, nunggu cewek yang nggak mau ditunggu?” Gueleng cepat. Kalau bukan karena Regan, gue nggak bakal begini.
Gue menggerutu sepanjang jalan menuju tempat parkir motor. Dan ketika melewati mobil parkir, mata gue melirik mobil putih milik Regan. Sudut bibir gue terangkat dan keisengan gue terbit seketika.
"Gue nggak bakal biarin lo naik mobil nyaman itu, Sin," gumam gue sambil tersenyum miring.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2