Mungkin ini patah hati sebenarnya yang baru aku rasakan setelah putus dari Prince. Ketika melihat Prince jalan sama cewek lain. Aku pun cukup tahu diri dengan tidak berangkat atau pulang sekolah bersama Prince lagi. Meski Prince masih sering menunggu beberapa kali.
Untungnya kegiatanku makin padat sehingga nggak ada waktu berlarut-larut buat patah hati. Setelah lolos seleksi pertama dan dinyatakan lanjut ke tahap dua aku harus mempersiapkan diri lagi. Minggu depan sudah memasuki pembinaan tahap dua yang akan dilaksanakan di Bandung.
Aku jarang ketemu Prince kecuali pagi saat sarapan. Karena Prince sendiri juga sibuk les bimbel sampai malam.
"Persiapannya sudah sampai mana, Sindy?" tanya Om Akbar suatu pagi saat kami sarapan bersama.
"Ini sudah persiapan maju ke tahap dua, Om."
"Good. Kami akan selalu dukung kamu 100 persen, Sindy. Jadi apa pun yang kamu butuhkan nanti tolong beritahu biar kami bisa segera memfasilitasinya buat kamu."
Sebagai orang tua asuh, dukungan mereka benar-benar menjadii kekuatan tersendiri buatku.
"Kalau kamu Prince?" Om Akbar beralih menatap Prince yang hanya diam saja selama berlangsungnya sarapan.
Cowok itu hanya menjawab seadanya. Dia menandaskan susu di gelasnya lalu pamitan. "Lo mau berangkat bareng gue apa papi?" tanya Prince padaku.
"Gue bareng Om Akbar," sahutku masih pura-pura sibuk menekuri piring.
"Oke."
Cowok itu pun pergi begitu saja setelah pamit kepada orang tuanya. Aku nggak pernah menunjukkan ketegangan di hadapan Om Akbar dan Tante Elliana, tapi ternyata orang tua itu cukup peka. Begitu Prince berlalu, Om Akbar menanyakan hal yang cukup membuatku bingung merespons.
"Kalian lagi berantem apa gimana? Kok sekarang jarang berangkat bareng?" tanya Om Akbar.
"Iya, pulang pun nggak pernah bareng lagi," timpal Tante Elliana sebelum menyuap nasi gorengnya lagi.
Aku memaksa tersenyum. Wajahku nggak boleh terlihat masam. "Kami nggak berantem. Sindy cuma nggak mau ganggu Prince. Om dan Tante emang nggak tau kalau sekarang Prince punya pacar? Kalau Sindy masih ikut Prince bisa-bisa pacarnya cemburu ntar?" Aku menjawab sambil mengulum senyum. Tapi jujur hatiku nyeri mengakui itu.
"Eh, masa? Kok Tante nggak tau ya?"
Om Akbar terkekeh. "Nggak heran kalau Papi sih. Dia pasti di sekolah banyak yang suka persis kayak papi muda dulu."
"Dih, papi narsis." Tante Elliana menatap jijik suaminya.
"Asal kamu tahu Sindy, Tantemu ini dulu salah satu fans Om juga. Dia beruntung bisa Om pilih jadi istri."
"Enak aja! Papi ya yang dulu ngejar-ngejar mami. Sembarangan aja. Papi sok kecakepan."
Aku tertawa melihat keributan lucu sepasang suami istri itu. Cukup menghibur hatiku yang lagi kacau.
"Tadinya kami pikir kalian pacaran," celetuk Tante Elliana tiba-tiba yang spontan bikin aku tertegun.
Aku buru-buru menggeleng cepat. Untung saja aku nggak lagi mengunyah makanan. Jika iya aku bisa-bisa tersedak. Aku nggak nyangka kalau mereka sempat mencurigai kedekatan kami.
"Kami cuma berteman biasa." Aku menampilkan ekspresi senatural mungkin.
"Kalian cukup dekat makanya kami pikir---"
"Nggak, Tante. Jangan mikir aneh-aneh deh." Aku tertawa canggung. "Om Akbar benar, di sekolah Prince banyak penggemar. Dari yang biasa sampai yang cantik banget ada. Ngapain Prince malah pacaran sama aku?"
Om Akbar dan Tante Elliana malah saling lempar pandang. Lalu mengulas senyum.
"Kamu itu anak hebat. Kalau Prince suka sama kamu Om rasa wajar."
Aku hanya nyengir menanggapi karena benar-benar nggak ingin melanjutkan pembahasan ini. Pembahasan yang bikin perasaanku nggak nyaman.
***
Dunia belum berakhir meski aku sering lihat Prince bersama beberapa cewek. Nggak cuma sama Devita-Devita yang waktu itu pernah Meysa sebutkan. Rumor dia jadian lagi pun nggak pernah aku dengar. Dan kalau pun iya aku sudah nggak peduli. Semua fokus kutumpahkan pada agenda pelatnas tahap dua yang akan dilaksanakan sepuluh hari full.
Perlahan tapi pasti perasaan melankolis itu bisa aku singkirkan. Kesibukan membuatku nggak punya waktu memikirkan hal-hal yang nggak penting. Bahkan ketika hanya Tante Elliana dan Om Akbar yang mengantarku menuju tempat pembinaan tanpa Prince, itu bukan lagi sebuah masalah. Saat itu Prince mungkin sedang sama pacar barunya lantaran harinya bertepatan dengan weekend.
Penguatan materi, mengerjakan tes harian dan tes komprehensif secara intensif. Mengikuti tes psikologi dan tentu bertemu teman-teman baru membuatku bisa mengalihkan semua rasa nggak nyaman tentang Prince. Sakit hatiku pelan-pelan bisa terobati. Lucu memang, aku yang minta putus tapi aku juga yang sakit hati.
Dan setelah menjalani sepuluh hari yang cukup menyenangkan dilanjut tes seleksi lagi yang sangat ketat, aku kembali dihadiahi hasil yang menggembirakan. Aku dinyatakan lolos ke tahap teakhhir. Yang pembinaanya akan dilakukan setelah jeda ujian nasional.
Ada sesuatu yang mengejutkan saat aku pulang ke rumah lagi. Aku menemukan Regan di sana bersama Prince. Keduanya seperti tengah sengaja menunggu kedatanganku. Dari interaksi keduanya, sepertinya mereka sudah berbaikan.
"Sindy, apa kabar? Aku dengar kamu lolos tahap akhir seleksi," sapa Regan. Dia masih ganteng seperti yang sudah-sudah. "Aku tahu kamu pasti bisa."
"Iya. Tuhan masih memberiku kesempatan buat lanjut tahap berikutnya. Kamu apa kabar? Lama banget ya kita nggak ketemu. Terakhir waktu..."
"Waktu aku dan Prince ribut," sambut Regan cepat lalu tertawa. Reaksi itu membuatku yakin bahwa mereka sudah berbaikan. "Aku bulan depan mau ke Singapore. Aku dapat beasiswa kuliah di sana."
"Serius?" Mataku melebar mendengar kabar gembira itu. Dia memang hebat.
"Doain semua berjalan lancar ya," ucapnya. Tangannya terjulur menepuk pelan kepalaku.
"Duduknya nggak usah deket-deket juga kali," celetuk Prince tiba-tiba keluar dari dalam rumah. Cowok itu membawa nampan berisi tiga mangkok mie rebus. Itu mengingatkan aku saat memenangkan OSN tingkat nasional.
"Ya ampun, Prince. Masih posesif aja," balas Regan lalu benar-benar menjauhkan diri dan memilih duduk di kursi lain. "Kamu yakin mie rebus yang kamu buat itu nggak bakal bikin aku sakit perut?"
"Yee! Lo remehin gue? Sindy aja ketagihan mie rebus bikinan gue."
"Nggak percaya. Palingan juga Sindy yang bikinin kamu."
"Sin, jangan diem aja. Belain gue napa! Bilang sama dia kalau mie rebus buatan gue itu mie rebus paling enak sedunia." Prince melirikku dengan muka cemberut.
Sejak tadi aku memang memilih diam saat mereka berinteraksi. Lebih ke takjub sebenarnya, karena Prince mau bersikap renyah lagi.
Regan berdecak. Lalu menarik salah satu mangkok. "Fine. Bakal aku buktiin."
"Tenang, Gan. Nggak bakal bikin kamu keracunan kok," timpalku kemudian. Prince sudah mencairkan suasana, aku juga harus bisa melakukan hal sama.
"Kalian bisa stop panggil aku-kamu nggak sih? Jijik banget gue dengernya." Prince menatap Regan dan aku berganti dengan tatapan jijik.
"Napa? Cemburu?"
"Cemburu? Yang bener aja." Prince membuang muka. Hanya sedikit Regan goda, tapi telinga cowok itu sudah memerah. "Gue udah nggak punya hak buat cemburu," lanjutnya bergumam. Sepertinya cuma aku yang bisa dengar karena Regan malah tetap asyik menyantap mie rebus buatan Prince.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2