Aku melempar kertas soal ke meja dengan malas. Masih kesal dengan kelakuan Prince siang tadi di sekolah. Dan yang lebih menyebalkan dia nggak minta maaf sama sekali hingga detik aku mengajarinya pelajaran matematika.
Matanya melirik tajam. Tampak nggak suka. "Lo kenapa sih? PMS? Atau marah gara-gara nggak bisa balik bareng Regan?" ujar Prince makin nyebelin. Sudut bibirnya terangkat sinis. "Emang seberapa hebat sih dia sampai bikin lo uring-uringan gini?"
Bola mataku bergulir dan menatapnya tak kalah tajam. Sudah aku duga perubahan sikapnya beberapa hari ini nggak bakal permanen. Dia sudah mulai menyebalkan lagi.
"Gue lagi nggak mau ribut. Mending lo kerjain aja soal itu," kataku akhirnya. Percuma mengharap dia minta maaf. Bakal ada gerhana matahari total kalau itu terjadi.
"Siapa yang ngajakin ribut? Gue kan cuma tanya seberapa hebat dia sampai bikin lo uring-uringan gini? Lo nggak sadar muka lo kecut gitu dari tadi?"
Aku membuang napas kasar. Suasana makin gerah dan kesabaranku yang setipis tisu ini mulai koyak.
"Yang jelas dia lebih hebat dari lo di mata gue."
Nggak ada yang salah dari ucapanku, tapi anehnya wajah pucat Prince langsung memerah. Bukan merah karena malu, tapi merah seolah menahan jengkel.
"Lebih hebat dari gue lo bilang?" Matanya menyipit, dan ada nada nggak terima di ujung kalimatnya.
"Lo baru kenal dia tapi lo bisa nyimpulin gitu. Lo nggak tau aja seburuk apa dia. Asal lo tau dia itu nggak lebih dari sampah."
Apa dia lupa bercermin? Bisa-bisanya mengatai orang sebaik Regan. Yang sampah itu dia.
"Gajah di pelupuk mata memang nggak nampak. Kalau Regan sampah, lo sendiri apa? Bangkai sampah?"
"Sindy!" serunya berdiri spontan. Wajahnya makin merah padam. Dadanya naik turun, dan bisa kulihat dua tangannya mengepal. "Lo kalau ngomong jangan sekata-kata, ya," kecamnya penuh emosi.
Aku menutup buku dan ikut berdiri menghadapnya. "Kenapa? Nggak suka kan diperlakukan kayak gitu? Lo juga seenaknya ngatain gue selama ini. Apa gue bisa marah? Gue sadar di sini cuma babu lo, makanya gue diem. Gue pikir lo kayak gitu cukup sama gue. Tapi ternyata mulut lo itu memang nggak punya adab sama siapa pun. Bahkan lo dengan seenaknya nyium gue di sekolah sepatah kata maaf pun nggak ada! Apa itu namanya kalau bukan bangkai sampah?"
"Lancang banget lo! Lo nggak berhak ngomong gitu ke gue!" Mata Prince melotot. Dia terlihat makin berang, tapi aku nggak peduli.
"Kenapa gue nggak berhak, sementara lo berhak? Apa karena gue di sini cuma anak asuh? Atau karena gue itu cuma anak pembantu kalian jadi lo bisa seenaknya?! Selama ini gue nahan semuanya semata-mata karena ibu. Seandainya ibu nggak sakit, gue nggak bakal sudi jadi jongos lo!" teriakku. Sabarku sudah di ambang batas. Bukan hanya Prince yang bisa marah, aku juga bisa.
Prince tidak membalas. Lelaki itu tampak tertegun dan membeku di tempat. Mulutnya mengunci rapat seketika. Kami masih saling bersitatap dengan menahan emosi masing-masing.
Saking kesalnya tanpa sadar air mataku jatuh. Rusak sudah agenda belajar malam ini. Mood-ku hilang. Dan yang tambah menyebalkan air mataku malah tumpah ruah.
Prince hendak maju. "Sindy, gue—"
Aku buru-buru mengangkat tangan. "Gue nggak mau dengar apa-apa. Sori, gue nggak bisa lanjutin kegiatan belajar malam ini." Aku mengusap pipi kasar lalu membereskan buku di meja dan segera berlalu dari hadapan cowok arogan itu.
Sesampainya di kamar aku menenggelamkan wajah ke permukaan bantal. Meratapi nasib. Tangisku pecah lagi.
"Bu, Sindy lebih betah tinggal di gubug kita daripada di istana ini."
***
Menjelang Olimpiade ke tingkat provinsi aku makin sibuk. Itu bisa aku jadikan alasan untuk menghindari Prince. Setelah malam itu aku benar-benar menjaga jarak sama cowok itu. Bicara seperlunya dan kalau nggak ada hal yang penting-penting amat aku memilih pasang jarak tinggi-tinggi.
Sepertinya Prince juga sama. Dia terkesan meminimalisir interaksi denganku. Dan nggak lagi suka mencampuri urusanku. Khususnya tentang Regan.
Oh ya, satu hal lagi. Aku menjadi makin akrab dengan Regan. Dia banyak membantuku untuk menghadapi OSN. Nyaris tiap hari aku bersinggungan dengan cowok itu.
"Nonton, yuk!" ajak Regan tiba-tiba. Membuatku menoleh.
"Nonton?" tanyaku heran. Padahal kami sedang membahas soal tentang gaya dan energi.
"Iya. Sekali-kali nggak apa-apa. Biar kamu nggak stres. Ini kepala nggak capek dijejali rumus dan angka terus?"
Aku terkekeh. Kalau ditanya capek ya memang capek. Tapi itu kan konsekuensi. "Ya, capek sih."
"Nah, makanya!" seru Regan berdiri. "Ayo kita nonton! Biar pikiranmu fresh lagi."
Meskipun ragu, akhirnya aku mengangguk. Bukannya norak, tapi jujur ini pertama kalinya aku nonton bioskop bareng teman cowok. Dan ini pengalaman yang lumayan seru. Apalagi mendengar review Regan setelah keluar dari ruang teater. Terlihat banget kalau otaknya yang genius itu bekerja dengan baik. Aku jadi makin kagum padanya.
"Laper enggak? Aku laper banget nih. Kita makan dulu sebelum balik ya," ajaknya lagi.
Sebenarnya aku ingin pulang karena hari sudah gelap, tapi nggak mungkin aku biarin Regan makan sendirian setelah mentraktirku nonton. Dengan sangat terpaksa aku meluangkan waktu setengah jam lagi untuk menemaninya makan.
"Boleh nanya enggak?" tanya Regan di sela kegiatan makan kami.
"Tanya aja, gratis kok."
Cowok secakep Cha Eun Woo itu terkekeh. Matanya menyipit saat sedang tertawa. Manis banget. Nggak heran kalau Mesya berpaling menyukai dia.
"Aku cuma mau tau. Kenapa kamu sama Prince kayak mengalah terus? Sebenarnya kalian ada hubungan apa?"
Beberapa kali aku sadar Regan selalu menyerempet hal itu saat kami mengobrol, tapi seringnya aku abaikan. Biasanya kalau dia sudah begitu, aku sering mengalihkan pembicaraan dan menanyakan tentang dirinya.
Dari sana aku tahu kalau cowok itu hanya tinggal bersama dengan ibunya. Orang tua Regan bercerai dan cowok itu lebih memilih tinggal bersama sang ibu.
Dan kali ini sepertinya aku nggak bisa menghindar atau mengalihkan topik lagi. Rasanya nggak adil juga. Aku tahu banyak tentang dia, sementara dia tidak tahu apa pun tentang aku. Ya meskipun hidupku nggak menarik sama sekali.
"Aku tinggal di rumah Prince," ucapku, mengawali semuanya. Tapi sepertinya Regan sudah kaget lebih dulu.
"Kamu tinggal di rumah Prince?" tanya dia seolah nggak percaya.
"Ya. Nyonya Eliana mengangkatku sebagai anak asuh ketika ibuku masuk rumah sakit dan koma."
Wajah Regan terlihat kaget untuk kedua kalinya. Tapi kali ini dia nggak menyela.
"Meski gitu aku tau diri. Jadi, aku di rumah itu juga bekerja. Bisa dibilang aku baby sitter-nya Prince. Aku membantunya dalam segala hal mulai dari mengurus makanannya sampai kegiatan belajar dia."
Ada embusan napas lelah yang kudengar. Regan mengusap wajah lalu menopang dagu seolah masih ingin mendengar ceritaku.
"Biar gimana pun keluargaku banyak berhutang budi sama keluarganya. Selain mengambil alih biaya sekolahku, keluarga Prince juga membiayai biaya rumah sakit ibu hingga sekarang." Aku menutup cerita singkat itu, dan menarik gelas minum mendekat.
"Bagaimana keadaan ibu kamu sekarang?" tanya Regan.
Aku menggeleng. "Masih belum ada perubahan yang berarti. Ibu masih dirawat intensif di ruang HCU. Ibu mengalami kecelakaan. Korban tabrakan. Sejak itu ibu nggak sadarkan diri. Aku yang memang hidup berdua sama ibu lalu diminta untuk tinggal di keluarga Suganda."
"Aku turut berduka soal ibu kamu. Semoga Tuhan segera memulihkan beliau. I feel you. Kamu pasti sakit banget dan merasa sendiri."
Awalnya mungkin iya, tapi kalau nggak survive, aku bisa terpuruk dan lemah. Prince bisa makin semena-mena menindas nanti.
"Aku sudah ikhlas sama keadaan ini meskipun awalnya sulit." Bibirku mengukir senyum tipis, lalu menunduk, mengaduk minuman dengan pikiran yang tiba-tiba berkecamuk.
"Aku percaya kamu bisa. Kamu bisa jadi yang terbaik. Apa pun kondosi kamu," ujar Regan, tangannya terulur dan menepuk lembut kepalaku.
Sejak kami dekat, dia tidak segan melakukan itu. Mengusap kepala. Entah sengaja atau refleks karena iba. Tapi jujur aku senang-senang saja. Kesannya dia mengayomi banget.
"Makasih."
"Aku punya hadiah buat kamu nanti kalau bisa lolos provinsi dan maju ke tingkat nasional," ucap cowok itu lagi. Matanya tampak berkilau-kilau. Membuatku mau nggak mau mengulum senyum memikirkan rencananya.
"Apaan?" Dahiku mengernyit. "Aku nggak bisa janjiin menang juga. Tingkat provinsi kan saingannya lebih berat."
"Hey, nggak boleh pesimis gitu dong. Aku yakin kamu bisa."
Dia salah satu teman teroptimis yang kukenal. Aku beruntung karena vibes positifnya bisa menular padaku.
Setelah makan, kami pun langsung pulang. Ajakannya mampir ke toko buku aku tolak, karena ini sudah terlalu malam. Seenggaknya buatku.
Regan menurunkan aku di depan gerbang rumah Prince dan langsung pamit pulang. Pak Satpam yang bertugas jaga malam sedang menonton siaran bola ketika aku memintanya membuka pintu gerbang.
"Ya Allah, Neng Sindy habis dari mana? Kok jam segini baru pulang?" tanya Pak Satpam sambil tergopoh-gopoh membuka kunci.
"Habis jalan sama temen, Pak. Aku masuk dulu, ya."
Sudah pukul sembilan malam lebih ketika aku masuk melalui pintu samping rumah. Prince pasti akan mengomel karena aku pulang terlambat. Aku berharap cowok itu sudah tidur karena telingaku sedang nggak mau mendengar ocehannya.
Langkahku menuju dapur yang lampunya masih menyala. Masih ada tanda-tanda kehidupan saat kudengar suara televisi dari ruang tengah. Aku nggak berniat mengintip, sebab tahu betul siapa yang ada di sana.
Sampainya di dapur aku celingukan mencari gelas. Biasanya ada di rak gelas bawah, tapi kali ini raknya kosong. Dengan terpaksa aku membuka rak atas dapur. Tanganku terulur, mencoba menggapai gelas di sana. Kalau begini rasanya pengin minum obat peninggi badan deh. Tanganku nggak sampai ke atas. Ini siapa yang harus aku salahkan sebenarnya? Yang pasang rak gantung ini atau aku yang kependekan?
Ketika sedang susah payah mengambil gelas, sebuah tangan terulur melewati bahuku. Tangan itu lalu mengambil gelas yang sedang berusaha aku raih.
Sontak aku menoleh dan menemukan Prince berada di posisi paling dekat denganku. Tatap kami bersirobok selama beberapa saat. Aneh, kenapa tiba-tiba aku deg-degan?
Posisi Prince yang ada di belakangku membuat suasana jadi canggung. Aku bahkan sampai menahan napas.
"Nih," ucapnya mundur, sambil mengangsurkan gelas padaku.
"Makasih," sahutku lirih, menerima gelas itu. Aku baru bisa menemukan udara lagi ketika dia perlahan mundur.
Nggak ada tanda-tanda dia akan memulai percakapan. Tanpa bertanya ini itu seperti biasanya saat aku melakukan kesalahan, Prince langsung melangkah pergi. Seolah nggak peduli lagi dengan apa yang aku lakukan.
Aku merasa komunikasi kami makin memburuk tiap hari.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2