Hari ini untuk ketiga kalinya aku bertemu Regan. Pertama kami berpapasan di depan ruang guru saat aku sedang mengumpulkan tugas matematika anak sekelas. Tapi, dia hanya tersenyum tipis saat aku mencoba menyapanya, lalu lelaki itu beranjak pergi.
Kedua saat istirahat kedua di kantin. Dia mengabaikan ajakan Kara untuk satu meja dengan kami lalu memilih meja lain. Saat itu Kara dan Meysa saling tatap melihat tingkah Regan yang terkesan dingin.
"Nggak biasanya," ujar Meysa, menatapku.
Aku nggak bisa komen apa-apa kecuali mengangkat bahu. Lalu beberapa detik kemudian rombongan Prince datang dan menginvasi meja kami. Dia dengan seenaknya meminta Kara pindah tempat duduk. Lalu dia menggantikan posisi duduk cewek berambut kriwil itu, tepat di sebelahku. Hal selanjutnya dia bertingkah layaknya cowok kurang belaian yang bikin aku pengin nonjok mukanya.
Dia benar-benar salah minum obat kurasa. Sempat kulirik Regan yang duduk bersama rombongan anak kelas XII. Tatap kami bertemu sesaat, tapi ketika aku mencoba melempar senyum, dia melengos.
Tunggu, apa dia marah padaku?
Dan terakhir sekarang. Aku kembali bertemu Regan saat jam sekolah usai di depan pintu ruangan Club Fisika. Kami berdiri saling berhadapan selama beberapa saat. Sepertinya aku harus tahu penyebab dia tiba-tiba begini. Selama sisa kelas tadi, aku terus berpikir kesalahan yang sudah aku lakukan padanya. Tapi secuil pun nggak nemu jawabannya. Clueless.
Sudah aku duga, sekarang pun Regan mencoba menghindar. Tapi sebelum dia berhasil melarikan diri, aku buru-buru menangkap tangannya.
"Kamu menghindari aku?" tanyaku cepat. Beruntung dia nggak memberontak. Dia diam, sebelum kembali berbalik menghadapku.
"Apa aku ada salah?" tanyaku, nggak paham dengan sikapnya.
Regan menarik napas dan mengembuskan. Lalu tiba-tiba tangannya terulur. "Selamat," ujarnya.
Aku mengernyit bingung, dan melirik tangannya yang terulur. "Selamat buat apa?" Bahkan dia yang pertama kali mengucapkan selamat saat aku lolos OSN ke provinsi.
"Selamat atas jadian kalian. Kamu dan Prince."
Refleks mulutku terbuka, tapi segera menutup kembali. Aku lantas tertawa. Membuat cowok di depanku terlihat heran.
"Kamu jangan ikut-ikutan gila deh," kataku setelah tawaku reda.
"Gila kenapa? Aku cuma kasih kamu selamat." Dia mengangkat bahu.
"Ya itu memberi ucapan selamat kepada sesuatu yang nggak pernah aku terjadi."
Kening Regan mengernyit. "Maksudnya kamu nggak jadian sama Prince?"
"Ya, nggaklah. Kamu pikir Prince mau sama cewek kayak aku?"
"Maksudnya kayak aku? Kamu nggak sadar, kalau kamu itu istimewa?" Wajahnya terlihat serius bikin aku serta merta tertegun.
"Aku—"
"Kali ini mungkin fake situation, tapi aku yakin nggak lama bakal jadi nyata."
Sekarang aku yang bego karena nggak ngerti ucapan Regan.
"Dan, aku kayaknya nggak rela kalau kamu jadian sama dia."
Harusnya aku tanya kenapa? Tapi kata tanya itu aku telan lagi, karena nggak mau mendengar kalimat yang lebih mengerikan. Melihat mimik serius Regan bikin aku takut. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi entah kenapa tatap Regan lain. Bikin dadaku berdebar hebat karena ... ngeri?
"Aku masuk ke dalam dulu." Aku menunjuk ragu ruang club, lalu dengan gugup segera beranjak. Tapi ... Mendadak jantungku mau lepas saat tanganku dia cekal.
Terpaksa aku urung melangkah dan melirik tangan Regan yang sudah mencengkeram pergelangan tanganku.
"Sindy, bisa enggak kamu jangan deket-deket Prince?" tanya Regan dengan nada suara lirih, mata teduhnya seperti memohon.
Tapi nggak dekat dengan Prince? Itu mustahil. Aku baby sitter-nya, maksudku, tutornya. Dan lebih dari itu aku tinggal di rumahnya.
"Itu kayaknya—"
Sebuah bola basket yang tiba-tiba menggelinding ke arah kami menjeda kata-kataku. Perasaanku mulai nggak enak. Parfum lembut yang biasa Prince pakai lantas tercium.
"Sindy, nggak mungkin nggak deket-deket gue."
Tuh kan!
Kontan aku dan Regan menoleh. Bola basket itu pasti sepaket dengan pemiliknya. Nggak jauh dari kami, Prince yang mengenakan seragam basket sekolah berdiri dengan wajah sinis.
Dia berjalan mendekat, lalu mengambil bola basketnya. "Nggak usah sok ngatur Sindy mau dekat sama siapa. Lo bukan siapa-siapanya," ujarnya menatap tajam ke arah Regan. Lalu melepas kasar pegangan tangan Regan pada tanganku.
Tatapku auto bergeser melihat reaksi Regan. Ini nggak lucu kalau dia terpancing dengan ucapan Prince. Tapi, wajah Regan tampak tenang dan nggak mengeras. Itu cukup membuatku lega.
"Lalu kamu pikir, kamu siapanya dia? Jangan bilang kamu pacarnya, karena Sindy baru saja bilang kalau kalian nggak jadian," balas Regan tenang.
Prince mengumbar senyum miring andalannya. Lalu beralih menatapku.
"Lo yakin kalau kita nggak jadian?"
Apa aku semalam salah memberinya obat? Atau dia baru kepentok tiang ring basket? Sikapnya beberapa hari bikin aku merinding. Dan, detik berikutnya tindakan cowok itu bikin aku tercengang. Tanpa aku duga, Prince mencium pipiku. Gerakannya sama sekali nggak bisa aku prediksi. Kejadiannya juga begitu cepat dan aku nggak sempat menghindar.
Aku cuma bisa tertegun dan kaget secara bersamaan. Bukan hanya aku, Regan juga tampak terbelalak melihat adegan itu.
Setelah melakukan hal di luar ekspetasi, cowok arogan itu pergi begitu saja seraya menyeringai. Bahkan aku belum sempat memberi pelajaran padanya saking syoknya.
"Brengsek," umpatku lirih begitu sadar bahwa barusan aku sudah dilecehkan.
"Prince!" seru Regan memanggil. Wajahnya nggak setenang tadi. Ada kilat marah pada mata teduh cowok itu. Tangannya bahkan mengepal erat.
Jika dia kesal, aku lebih-lebih. Tapi anehnya aku nggak bisa semarah biasanya. Hanya dadaku saja yang rasanya panas dan membuncah.
Prince berbalik sambil memainkan bola basket yang berputar di atas jari telunjuknya. Sebelah alisnya naik.
"Kamu jangan kurang ajar, ya. Minta maaf sama Sindy," seru Regan seraya berjalan mendekati Prince.
Feeling-ku nggak enak. Aku celingukan memastikan nggak ada yang melihat kejadian ini.
"Minta maaf? Sindy aja nggak masalah kok."
"Itu pelecehan."
"Pelecehan sama pacar sendiri?"
"Sindy-bukan-pacar-kamu."
Aku bergegas menghampiri mereka ketika Regan mendorong dada Prince. Lalu segera berdiri di tengah keduanya sebelum Prince membalas perbuatan Regan.
"Please, jangan ribut." Aku menatap keduanya berganti sembari merentangkan kedua tangan. "Regan, mungkin sebaiknya kita kembali ke club. Dan, lo Prince, gue nggak suka cara lo tadi. Kita bakal ngomong nanti," ujarku seraya memelotot pada kapten tim basket Dwi Warna itu.
Prince mengangkat bahu lalu beranjak pergi.
"Sindy, harusnya kamu biarin aku memberinya pelajaran barang satu atau dua pukulan," protes Regan saat aku membiarkan Prince lolos begitu saja.
Aku menggeleng. "Itu nggak akan menyelesaikan masalah. Aku nggak mau kalian menjadi tontonan di ruang BK. Sebenarnya aku lebih menjaga nama baik kamu di sini. Kamu salah satu kebanggaan Dwi Warna sekarang."
"Aku nggak masalah. Prince udah kurang ajar tadi."
"Biar itu menjadi urusanku sama dia."
"Siapa pun yang mengganggu kamu, itu artinya berurusan denganku, Sindy." Ada nada penegasan yang aku tangkap di sana.
"Ma-makasih. Tapi serius, aku bisa menanganinya sendiri."
"Aku nggak bisa biarin Prince berbuat seenaknya sama kamu."
Aku sudah nggak terkejut jika Prince semena-mena padaku. Itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Hanya saja, kali ini memang sedikit kebangetan. Kalau saja nggak karena ingin menghindari keributan, yang ujung-ujungnya bakal bikin aku malu, mungkin aku sudah ngamuk.
"Aku beneran nggak apa-apa," sahutku, tersenyum. "Bentar lagi anak-anak pasti datang. Kita masuk sekarang aja." Aku berusaha mengalihkan topik, dan beranjak menuju ruang Club Fisika. Tapi ....
"Apa nanti kita bisa pulang bareng?"
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2