Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat yang Tak Kunjung Usai
MENU
About Us  

Pukul enam pagi, rumah Harry yang tampak sunyi dari luar menyimpan badai di dalamnya. Suara piring pecah baru saja terdengar dari dapur, disusul makian kasar yang menusuk pagi.

“Berapa kali Papa bilang? Kalau potongnya miring begini, mana enak dilihat!” Tiyo membentak sambil menunjuk sepotong wortel yang tergeletak di talenan, terpotong runcing dan tak beraturan. Wajahnya memerah, napasnya berat seperti bom yang tinggal meledak. 

Harry berdiri kaku di depannya, menahan marah dan takut dalam satu tarikan napas. “Maaf, Pa ... aku—”

Tepukan keras mendarat di sisi wajah Harry sebelum ia selesai bicara. “Jangan alasan! Kamu pikir hidup bisa dijalanin cuma pakai maaf? Mau kamu jadi apa nanti, hah? Kayak ibumu yang kerjanya cuma ngeluh?”

Harry memejamkan mata. Sudah terlalu sering ia mendengar kata-kata itu. Tentang ibunya yang sudah lama pergi karena tak tahan. Tentang dirinya yang, menurut Tiyo, terlalu lemah, terlalu pendiam, terlalu ... rusak.

“Aku cuma ... belum bisa rapi,” gumamnya.

“Belum bisa rapi, belum bisa bangun pagi, belum bisa lulus ikut kompetisi apapun! Kamu tuh gagal, Har! Anak laki-laki itu nggak cengeng! Kamu tahu kenapa Maureen itu ...!”

Harry menoleh cepat, penuh kemarahan dan luka. “Jangan bawa nama dia!”

Tiyo terdiam sesaat, seperti baru menyadari sesuatu. Namun, bukan rasa bersalah yang muncul di wajahnya, melainkan senyum miring penuh sinis. “Kau pikir dia istimewa? Dia cuma bikin kamu lemah!”

Seperti itu saja, Harry mengerti: tidak ada tempat aman, bahkan di dalam rumah sendiri.

Tiyo mengambil rokok dari saku dan menyalakannya, lalu meninggalkan dapur tanpa peduli sayatan kecil di jari Harry. 

Pemuda itu menunduk, menggigit bibir sampai terasa darah. Ada bekas luka lama di pelipisnya yang belum sepenuhnya pudar.

Harry berdiri di sana dalam sunyi, hanya ditemani suara kipas tua dan aroma ampas kopi basi. Tangannya bergetar, tetapi bukan karena takut. Bukan juga karena sakit. Namun, karena sebuah kesadaran lama: dirinya memang selalu diposisikan sebagai kesalahan.

Ia mengambil wortel lain dan mulai memotong lagi, lebih pelan. Lebih presisi.

ꕤꕤꕤ

Hari itu di sekolah, gosip mulai mengalir seperti aliran sungai yang tak terbendung.

“Katanya, Maureen punya hubungan rahasia sama seseorang ....”

“Iya, dan tau nggak? Dengar-dengar, dia suka diem-diem ketemuan sama cowok yang sekarang masih deket sama adiknya.”

“Siapa, sih? Jangan-jangan si Harry itu? Dia kan agak aneh.”

Maura menatap mereka dari kejauhan, telinganya menangkap potongan kalimat-kalimat itu. Ia meremas tali tasnya. Sejak Maureen meninggal dan berita soal buku harian itu bocor ke beberapa murid lewat “seseorang” yang tak bertanggung jawab, pandangan orang-orang mulai berubah. Namun, yang lebih aneh, semua gosip seolah-olah diarahkan ke satu nama, yaitu Harry.

"Katanya udah ada yang mulai diperiksa gara-gara buku harian Maureen..."

"Serius? Siapa?"

"Katanya si H itu Harry, temennya Maura dari SMP. Cuma itu doang clue-nya."

"Jadi ... Maureen pacaran sama dia? Dan dia yang bikin Maureen ...?"

Gosip menyebar seperti api membakar tumpukan kering. Nama Harry mencuat begitu cepat, bahkan saat belum ada yang tahu kebenarannya. 

Nana hanya diam saat teman-teman sekelasnya mulai berbisik. Ia pernah melihat Maura dan Harry ngobrol dengan canggung di taman sekolah waktu SMP. Mungkin ada benarnya.

Seorang siswi dari kelas sebelah menghampirinya dengan ekspresi penasaran bercampur simpati pura-pura.

"Maura! Maaf, ya, tapi ... soal Harry itu bener?"

Maura mengernyit. "Maksudmu?"

"Ya itu. Dia yang ada ... di buku harian Maureen, kan? Yang namanya H itu?"

Jantung Maura mencelos.

ꕤꕤꕤ

Di lorong belakang kelas, Maura duduk bersandar pada dinding. Buku harian Maureen tergenggam erat dalam tasnya. Ia tahu betul siapa “H” dalam buku itu. Namun, juga tahu bahwa Maureen menulis inisial lain—A.D.—untuk sosok yang lebih menyakitinya.

Harry memang bagian dari masa lalu mereka, tetapi ia bukan alasan di balik kematian Maureen.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Harry:

“Ada gosip aneh. Semua orang lihat ke arahku hari ini. Maura ... kamu tahu kenapa?”

Maura tak bisa langsung membalas. Rasa bersalah dan amarah berkecamuk bersamaan. Ia tahu ini salah satu rekayasa. Namun, siapa yang menyebarkannya?

Ia membuka kembali lembaran terakhir buku harian itu, yang kini mulai terlihat rusak di bagian pinggirnya. Di sana, seperti bisikan, Maureen pernah menulis:

“Kadang aku merasa ... tak ada yang benar-benar tulus menyayangi. Bahkan kamu, H, hanya tahu bayanganku, bukan aku yang sebenarnya.”

Maura memejamkan mata. Ia harus bicara dengan Harry. Ia harus tahu seberapa besar luka yang telah terbuka karena diamnya terlalu lama. Maura tak tahu harus percaya siapa. Namun, satu hal yang pasti, semuanya semakin kabur, dan kebenaran justru semakin tertutup oleh suara-suara yang terlalu banyak.

ꕤꕤꕤ

Di rumah, Seno mengetuk pintu kamar Maura. Ia berdiri diam di ambang pintu kamar, memandangi Maura yang masih memegangi halaman terbuka dengan mata yang tak berkedip.

“Maureen sering menggambar seperti itu, ya?” tanyanya pelan, seperti seseorang yang mencoba memanggil kenangan yang telah terkubur.

Maura mengangguk pelan, lalu menjawab, “Iya, tapi tidak semua orang bisa membaca maksudnya.”

Seno mendesah, lalu menatap lantai sejenak sebelum berkata, “Papa ... bukan ayah yang sempurna, Maura. Tapi sekarang Papa ingin tahu lebih banyak. Tentang apa yang kalian sembunyikan waktu itu. Tentang Maureen. Apa maksud dari semua ini?”

Maura memejamkan mata sejenak. Pertanyaan itu seperti pisau tumpul: tidak menyakitkan karena tajam, tetapi karena menekan luka yang belum pulih.

“Aku juga belum tahu, Pa,” katanya. “Tapi dia menyimpan sesuatu. Bukan cuma rasa sakit ... tapi semacam rencana. Atau sinyal. Langit Kedua itu bukan cuma gambar. Itu ... semacam pintu.”

Seno mengangguk pelan, walau wajahnya tetap menyiratkan kebingungan. “Kamu percaya semua ini akan menjawab kenapa Maureen pergi?”

Maura menoleh padanya. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, ia melihat mata ayahnya yang tak disembunyikan oleh pekerjaan dan tekanan. Hanya mata seorang lelaki yang kehilangan anak—dan takut kehilangan satu anak lagi.

“Aku harus percaya,” jawab Maura. “Karena kalau tidak, aku takut ... aku juga akan hilang seperti dia.”

Seno diam. Udara di antara mereka berat, seperti tertahan oleh semua hal yang tak sempat diucapkan.

“Kalau kamu butuh bantuan, ngomong ke Papa. Bukan cuma tentang gambar ini, tapi tentang apa pun yang kamu rasakan. Papa selalu ada di sini.”

Maura menunduk. “Terima kasih, Pa.”

Dalam keheningan itu, sebuah ikatan yang pernah longgar terasa menguat. Bukan karena semuanya jadi jelas, tetapi karena mereka mulai mengakui: kehilangan ini terlalu besar untuk dipikul sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reflection
439      314     1     
Short Story
Ketika melihat namun, tak mampu melakukan apapun
Perjalanan yang Takkan Usai
496      394     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
RUANGKASA
46      42     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Blocked Street
15973      3755     5     
Horror
Ada apa dengan jalan buntu tersebut? Apa ada riwayat terakhir seperti pembunuhan atau penyiksaan? Aryan dan Harris si anak paranormal yang mencoba menemukan kejanggalan di jalan buntu itu. Banyak sekali yang dialami oleh Aryan dan Harris Apa kelanjutan ceritanya?
Fusion Taste
197      173     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Flashdisk
488      324     2     
Short Story
Ada yang aneh dengan flashdiskku. Semuanya terjadi begitu saja. Aneh. Lalat itu tiba-tiba muncul dan bergerak liar pada layar laptopku, semuanya terasa cepat. Hingga kuku pada semua jariku lepas dengan sendirinya, seperti terpotong namun dengan bentuk yang tak beraturan. Ah, wajahku! Astaga apalagi ini?
Our Perfect Times
1359      878     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Mimpi Dari Masa Lalu
724      418     4     
Short Story
Sebuah cerita yang menceritakan tentang seorang gadis yang selalu mendapatkan mimpi buruk yang menakutkan, hingga suatu saat dia bertemu seorang laki-laki disekolahnya yang bersikap aneh dan mencurigakan, tetapi ternyata laki-laki itulah yang membantu gadis itu untuk mendapatkan jawaban mengenai mimpi buruknya itu.
29.02
448      240     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
155      128     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.