Angin sore membawa bau tanah basah dan sisa asap dari bakaran sampah warga. Maura berdiri di depan pagar besi yang agak berkarat, ragu untuk mengetuk gerbang rumah berlantai dua itu. Rumah Dito. Dari luar, tak ada yang tampak istimewa, kecuali sepeda motor tua yang terparkir miring dan suara televisi dari dalam rumah.
Ia menggenggam erat halaman buku harian Maureen yang disobek dari bagian belakang, tempat di mana catatan itu tertulis dengan tulisan miring, tergesa, tapi penuh amarah dan luka:
“...kau bilang cinta tak harus diumumkan. Tapi bagaimana cinta bisa tumbuh jika terus disembunyikan? Langit kedua milik kita sudah runtuh, Dito. Kau berjanji tidak akan pergi, tapi kau justru pergi dengan cara paling menyakitkan. Jika aku hilang, mungkin itu akan membuat semuanya lebih mudah untukmu.”
Nama itu. Dito. Kata-kata itu membuat napas Maura selalu sesak sejak pertama membacanya. Ia belum pernah bertemu langsung dengan Dito, hanya tahu dari cerita samar Maureen tentang “seseorang yang membuatnya merasa hidup.” Namun, dari tulisannya, jelas—hubungan itu tidak berakhir dengan manis.
Maura menelan ludah. Jantungnya berdentum tak karuan. Ia sudah bolak-balik berpikir—apakah ini langkah yang bijak? Namun, jika ia ingin tahu seluruh kebenaran, ia harus berani menembus segala ketakutannya.
Dengan sisa-sisa energi yang dimiliki, ia menekan bel. Tak lama, seorang perempuan paruh baya dengan wajah ramah membuka pintu. Ia menyipitkan mata, memperhatikan Maura sejenak sebelum bicara.
“Iya, Nak? Cari siapa ya?”
Maura menarik napas, mencoba meredam gugup yang mendesak dadanya. “Saya ... mencari Arya Dito. Dia ada di rumah?”
Perempuan itu menggeleng. “Belum pulang, Nak. Mungkin masih di luar. Kamu temannya?”
Maura mengangguk perlahan. “Saya ... saudara kembar Maureen.”
Wajah perempuan itu berubah. Matanya membesar sejenak, lalu bergeser menjadi sorot heran dan pelan-pelan mengenali. “Maureen? Maureen yang ... pernah datang ke sini? Iya, kamu mirip sekali. Astaga!”
Maura terdiam. “Maureen pernah ke sini?” Suaranya nyaris seperti bisikan.
“Iya, beberapa kali, tapi cuma sampai pagar. Kadang kasih sesuatu, kadang cuma ngobrol di depan. Dito nggak pernah ngenalin dia ke kami. Jadi, Tante pikir dia cuma teman sekolah. Tapi ... caranya melihat Maureen waktu itu, Dito kelihatan beda.”
Maura mencengkeram tali tasnya. Ada perih yang merayap tanpa suara. “Maureen nggak pernah cerita,” bisik Maura.
“Mungkin dia punya alasannya,” ujar ibu Dito pelan. “Masuk dulu, Nak. Kalau kamu nggak keberatan nunggu, Tante buatkan teh.”
ꕤꕤꕤ
Maura duduk di ruang tamu yang sederhana dan terasa asing. Kursi rotan berlapis kain bermotif bunga tampak tua, tetapi rapi. Sebuah foto keluarga tergantung miring di dinding, menampilkan Dito kecil diapit kedua orang tuanya. Maura menatapnya, bertanya-tanya sejak kapan Maureen menyimpan hubungan dengan Dito sedalam itu, hingga sang ibu pun samar-samar mengingatnya.
Suara motor berhenti di luar. Pintu depan terbuka cepat dan suara berat menyapa, “Mah, tadi aku udah bilang ka—”
Langkah Dito terhenti saat matanya menangkap sosok di ruang tamu. “Kamu?”
Suaranya datar, tetapi sorot matanya sejenak goyah. Dia menatap Maura dengan kebingungan, lalu menoleh ke ibunya yang hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke dapur, membiarkan mereka berdua.
Maura bangkit berdiri. Rasanya seperti berbicara pada bayang-bayang dari masa lalu Maureen. “Kita perlu bicara,” ucapnya.
Dito menelan ludah, mengangguk tanpa suara. Mereka pindah ke teras belakang, duduk di bawah pohon belimbing yang daunnya berguguran oleh angin sore.
“Aku baca buku harian Maureen.” Maura membuka pembicaraan. “Kau ada di sana. Dalam bentuk kode, tapi aku tahu itu kamu.”
Dito menarik napas panjang, lalu bersandar di sandaran bangku kayu. “Dia bilang, kalau aku benar-benar peduli, aku harus bisa menjaganya ... tanpa menyebutkan semuanya.”
“Tapi kamu gagal,” bisik Maura, tatapannya menusuk. “Apa yang terjadi antara kalian?”
Dito menggosok wajahnya kasar. Jemarinya menggigil samar. “Setelah lulus, aku ... aku mulai sibuk sendiri. Maureen merasa aku berubah, tapi dia nggak tahu, aku mulai kerja bantuin Om di bengkel, biar bisa punya penghasilan sendiri. Aku pengen nyiapin masa depan buat kami.”
“Tapi kamu malah putus dengannya.”
“Karena dia yang minta.” Dito menatap Maura dengan mata merah. “Dia bilang, 'kalau kamu nggak bisa hadir sekarang, buat apa kamu janji nanti?'”
Maura terdiam. Kalimat itu terdengar terlalu dingin, tetapi juga terlalu familiar—seolah Maureen mengatakannya dengan suara penuh luka.
“Kamu nyakitin dia?”
“Mungkin, tapi bukan maksudku.” Dito memalingkan wajah. “Seminggu sebelum dia ... dia bilang kalau dia nggak percaya lagi pada siapapun.”
Maura menggenggam lututnya erat-erat. Angin sore menyapu rambutnya, membawa kenangan yang tak pernah diminta. “Apa dia bilang sesuatu soal ... ‘langit kedua’?”
Dito menoleh cepat. “Langit kedua? Itu ....” Ia ragu. “Itu sebutan dia untuk dunia yang nggak dilihat siapa-siapa. Tempat dia menyimpan semua hal yang nggak bisa dia ucapin.”
Maura mengangguk perlahan. Petunjuk lain yang memperkuat simbol di buku harian Maureen, yang berulang kali menyebutkan “langit kedua” dengan huruf kecil dan digarisbawahi. Tempat di mana ia merasa benar-benar terlihat atau mungkin benar-benar sendiri.
“Aku butuh tahu semua yang kamu tahu tentang Maureen, bahkan kalau itu menyakitkan.”
Dito tak menjawab. Ia hanya mengangguk, perlahan.
ꕤꕤꕤ
Saat malam menjelang, Maura pamit pulang. Ibu Dito mengantarnya sampai pagar, menatapnya dengan mata yang belum bisa menyimpulkan segalanya.
“Maureen gadis baik, ya?” katanya pelan.
Maura hanya menatap tanah. Rasanya berat menjawab itu, karena di balik kebaikan itu, ada dunia gelap yang tak pernah dipahami siapa pun. Bahkan oleh dirinya sendiri.
ꕤꕤꕤ
Di kamar malam itu, Maura menyalakan lampu meja dan kembali membuka buku harian Maureen. Kali ini, ia menyorot kalimat yang sebelumnya dilewati.
“Langit kedua bukan untuk dibuka oleh mereka yang hanya memandang dari luar. Namun, kalau kau membacanya, mungkin aku sudah tak tahan lagi menyimpannya sendiri....”
Maura menyentuh kata “memandang dari luar” dan “menyimpannya sendiri”. Sesuatu dalam frasa itu menyiratkan bahwa ada ruang—mungkin nyata, mungkin metaforis—di mana Maureen pernah menaruh beban yang tak tertulis dan Maura akan menemukannya.