Pagi itu, Maura merasa ada sesuatu yang ganjil dalam dirinya. Seperti ada sesuatu yang berputar-putar dalam pikirannya, sesuatu yang terus mengguncang kesadaran dan mendorongnya untuk mencari. Begitu dia membuka laci meja belajarnya, pandangannya tertumbuk pada buku kecil berwarna coklat—buku harian milik Maureen.
Dari sekian banyak hal yang telah berubah, buku harian itu tetap menjadi benda yang tak pernah benar-benar bisa dia sentuh. Tertutup rapat, seolah-olah memendam seluruh kisah Maureen yang masih belum selesai. Namun, pagi ini entah mengapa, Maura merasa seperti ada dorongan kuat untuk membuka kembali halaman-halaman yang penuh kenangan itu.
Tangan Maura gemetar saat membuka halaman demi halaman. Dia menemukan diri terhanyut dalam kisah-kisah yang hanya ditulis Maureen. Dalam buku harian itu, Maura menemukan lebih banyak tentang sosok yang selama ini dia anggap hanya seorang saudara, tetapi ternyata memiliki kedalaman yang tak pernah ia ketahui.
Lalu, di halaman yang lebih baru—tersembunyi di balik dua lembar yang hampir terlipat—Maura menemukan sesuatu yang berbeda. Sebuah catatan yang terlihat lebih emosional, penuh dengan tanda-tanda kemarahan dan rasa sakit.
"Mungkin memang tak ada yang bisa benar-benar mencintaiku kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya. Bahkan Langit Kedua pun pergi."
Langit Kedua? Maura tertegun. Nama itu, atau lebih tepatnya kode itu, terasa asing, tetapi sekilas terdengar akrab. Ia telah membaca bagian itu sebelumnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengusik. Kata-kata itu begitu suram, seolah memberi petunjuk tentang seseorang yang sangat berarti bagi Maureen, seseorang yang sudah tidak ada lagi.
Dalam diam, Maura berusaha memahami apa yang dimaksud Maureen dengan "Langit Kedua". Dia pernah mendengar nama itu sekali, tidak langsung, tetapi di antara bisikan teman-temannya di sekolah. Namun, saat itu dia mengabaikannya. Sekarang, seolah ada jembatan yang menghubungkan dirinya dengan masa lalu Maureen, sesuatu yang mengarah pada seorang pria yang mungkin pernah begitu penting dalam hidup Maureen.
Tanpa berpikir panjang, Maura melangkah keluar dari kamar, membawa buku harian itu bersama dirinya. Langkahnya terasa berat, tetapi dia tahu dia harus mencari tahu lebih banyak. Dia harus menggali lebih dalam. Semua ini sudah terlalu mencurigakan untuk dianggap hanya kebetulan.
ꕤꕤꕤ
Di sekolah, suasana masih terasa sama—seolah dunia berputar tanpa peduli apa yang terjadi di dalam dirinya. Nana sudah ada di kelas, berbicara dengan teman-temannya, seperti biasa. Namun, Maura tidak bisa mengabaikan tatapan itu. Tatapan yang penuh dengan penghakiman dan rasa malu yang tak bisa dihindari. Di sekolah ini, dia tidak hanya kehilangan saudara kembarnya, tetapi juga tempatnya di dunia.
Lalu, saat lonceng berbunyi, Maura melangkah menuju ruang BK, tempat di mana Bu Rissa selalu siap mendengarkan. Ada yang aneh dalam sikap Bu Rissa pagi itu. Guru BK itu tampak lebih gelisah dari biasanya, wajahnya cemas, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu yang besar.
“Maura, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Bu Rissa, sambil menyarungkan tangannya ke belakang meja. "Ini tentang Maureen."
Maura mendengkus pelan, hatinya mulai mencelos. "Tentang Maureen?" tanyanya dengan nada yang datar, berusaha menahan agar emosinya tak meledak.
"Ya," Bu Rissa mengangguk, sedikit terhenti. "Kamu tahu, Maureen itu seorang anak yang sangat berharga, tapi ada hal-hal yang aku tak pernah bisa ceritakan kepadamu, hal-hal yang ... mungkin bisa memberimu jawaban."
Maura menatap Bu Rissa tajam. Sesuatu di dalam dirinya mengingatkan pada kata-kata dalam buku harian Maureen yang baru saja ia baca. Kata-kata itu mengungkapkan rasa sakit, tetapi apakah Bu Rissa tahu lebih banyak?
"Ada yang ingin kamu katakan tentang Langit Kedua?" tanya Maura, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia rencanakan.
Wajah Bu Rissa berubah seketika. Ada semacam perubahan halus dalam ekspresi wajahnya, ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang terbiasa menjaga rahasia. Maura bisa merasakannya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam diri Bu Rissa, sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan.
"Tentu saja," jawab Bu Rissa dengan suara serak. "Tapi ini bukan hal yang mudah, Maura. Langit Kedua bukan orang sembarangan."
"Apa maksudnya?" Maura bertanya lebih keras, tidak sabar lagi.
Bu Rissa hanya menunduk, menyisihkan waktu sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. “Dia adalah ... seorang kakak kelas Maureen, tetapi hubungan mereka tidak seperti yang kalian pikirkan. Dito, Arya Dito—dia orangnya. Dan mungkin, kamu sudah mendengar banyak tentang dia.”
Nama itu terasa begitu asing, tetapi begitu akrab. Arya Dito—Dito. Maura pernah mendengar tentangnya, tetapi hanya lewat bisikan di lorong sekolah.
Dito adalah sosok yang berkonotasi buruk, seorang pemuda bermasalah yang kerap bolos, dan terkenal karena sikap bandelnya. Namun, jika benar ia adalah Langit Kedua, kenapa Maureen begitu dekat dengannya?
Semuanya mulai terbuka perlahan. Maura bisa merasakan petunjuk demi petunjuk yang muncul dari dalam dirinya. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia cari tahu—sesuatu yang tersembunyi di balik kenyataan yang selalu dia tahu.
Setelah percakapan dengan Bu Rissa, Maura kembali merenung dalam diam. Segalanya kini menjadi lebih gelap dan lebih rumit. Dito—yang selama ini dikenal sebagai sosok nakal di sekolah—ternyata punya peran lebih besar dalam hidup Maureen. Namun, mengapa Maureen memilih untuk merahasiakan hubungan mereka? Apa yang dia sembunyikan?
Maura merasa semakin terperangkap dalam pusaran misteri yang semakin dalam. Dengan hati yang tertekan, dia kembali membuka buku harian Maureen. Seolah-olah, buku itu adalah kunci untuk mengungkap semua teka-teki yang mengitari kematian saudara kembarnya.
Di sana, di antara tulisan-tulisan yang penuh dengan harapan dan rasa takut, dia menemukan catatan yang lebih menggelisahkan lagi.
"Aku harus memilih, tapi aku tak tahu lagi apakah ada jalan yang benar. Dito, dia mungkin mencintaiku, tapi aku merasa terperangkap dalam dunia yang tak pernah bisa aku pahami."
Di bagian akhir, Maura menemukan sesuatu yang mencengangkan. Tanda hati, tetapi ada sesuatu yang aneh pada cara Maureen menulisnya—seperti ada sesuatu yang hilang, seolah ada potongan kata yang tak tertulis.
Sekarang, semuanya kembali pada Maura. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang Dito dan apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Sebelum, atau bahkan setelah, dia menemui Dito, ada hal-hal yang harus diungkap.
ꕤꕤꕤ
Siang itu, setelah sekolah, Maura memutuskan untuk pergi ke rumah Dito. Ada sesuatu yang mendesak dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Dia harus mencari jawaban. Apakah Dito tahu lebih banyak dari yang dia tunjukkan? Apakah dia punya hubungan dengan kematian Maureen yang lebih dalam dari yang Maura kira?
Dengan hati yang penuh pertanyaan dan langkah yang semakin mantap, Maura berjalan menuju rumah Dito. Keputusan itu terasa berat. Namun, saat itu Maura tahu dia tak bisa mundur lagi. Sesuatu yang besar sedang menunggu untuk diungkap.