Kamar itu masih sunyi. Udara sore membawa kelembaban samar dari jendela yang terbuka sedikit, seperti helaan napas yang tidak selesai. Maura duduk di lantai, dikelilingi oleh buku-buku, kertas-kertas berserakan, dan jurnal Maureen yang kini terbuka lebar di hadapannya. Jemarinya menyentuh perlahan halaman demi halaman, seolah takut merusaknya.
Simbol spiral itu muncul lagi—di pojok kanan bawah halaman yang ditulis dengan tinta hitam pekat. Kali ini, spiral itu lebih tebal, lebih gelap, seperti ditorehkan dengan emosi yang mendalam. Di bawahnya, Maureen menulis: "Kadang, diam itu lebih lantang daripada teriakan. Tapi siapa yang mau mendengarkan?"
Maura menarik napas dalam-dalam. Ia mencatat di sebuah buku kecilnya: Halaman 38 – spiral + frasa tentang diam. Lalu membalik ke halaman sebelumnya. Tulisan Maureen tampak semakin tidak teratur semakin mendekati akhir. Gaya hurufnya berubah, dari rapi dan melingkar, menjadi tergesa, lalu ke bentuk yang nyaris tak terbaca.
Kemudian, sebuah kalimat yang ditulis dengan tinta merah. Hanya satu. “Kalau sesuatu terjadi, cari aku di tempat kita pernah diam.”
Maura terpaku. Jantungnya memukul dinding dadanya lebih cepat. “Tempat kita pernah diam,” gumamnya. Ia mencoba mengingat, mana tempat mereka berdua bisa berdiam bersama, tanpa kata, tanpa suara, tetapi penuh makna?
Lorong belakang rumah nenek mereka. Sebuah tempat kecil yang sempit dan penuh tanaman liar, tempat mereka berdua sering duduk diam saat bertengkar kecil, atau saat ingin kabur dari dunia.
Tempat itu sudah lama tidak dikunjungi. Rumah nenek mereka di pinggiran kota, sudah kosong sejak beliau meninggal dua tahun lalu, dan tidak ada yang benar-benar berani menjualnya. Seno selalu bilang, “Tunggu Mama siap.”
Maura menutup buku harian itu perlahan. Malam sudah hampir datang. Ia menatap sekeliling kamar—tempat yang dulu dihuni dua nyawa—kini hanya dirinya sendiri dan seolah-olah keheningan di kamar itu ikut menyimpan pesan yang belum selesai dari Maureen.
ꕤꕤꕤ
Keesokan harinya, Maura berjalan ke sekolah seperti biasa, tetapi langkahnya lebih berat. Kepalanya masih dipenuhi potongan-potongan kalimat dari jurnal Maureen. Ia melewati ruang konseling dan melihat pintu Bu Rissa terbuka, tetapi ia terus berjalan, berpura-pura tidak melihat.
Ia melangkah menuju perpustakaan, mencari tempat sunyi. Namun, saat sampai di lantai dua, ia bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak bicara dengannya.
“Nggak ikut konseling?” suara Nana mengagetkannya.
Maura menoleh. “Nggak mood.”
Nana tidak tersenyum. Ia mendekat, lalu duduk di sebelah Maura yang mulai membuka buku. “Aku tahu kamu nggak suka kalau orang nanya-nanya, tapi kamu berubah, tahu nggak?”
Maura diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Nana melanjutkan, “Aku nggak tahu kamu dulu kayak gimana, tapi waktu kalian tampil di acara puisi itu ... aku ingat ekspresi kalian. Kamu dan Maureen. Kayak ... saling ngerti tanpa ngomong.”
Maura menutup bukunya. “Kamu nggak tahu apa-apa tentang kami.”
Nana mengangguk. “Benar, tapi aku mau kamu tahu, kalau aku akan selalu ada saat kamu membutuhkan teman untuk tempat bercerita.”
Kalimat itu menghantam Maura lebih dari yang ia perkirakan. Ia hanya menjawab pelan, “Makasih.” Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Maura merasa sedikit—sedikit saja—tidak sendirian.
ꕤꕤꕤ
Sementara itu, di rumah, Riana sedang menyusun pakaian di kamar Maura. Setelah selesai merapikan pakaian Maura, ia beralih ke lemari pakaian Maureen, hendak merapikan isi yang belum ia sentuh sejak kematian putrinya. Tangannya berhenti saat menyentuh sebuah kotak kecil—kotak kayu tua yang dulu milik Maureen.
Ia membukanya dan mendapati sebuah kancing jas warna perak di dalamnya, bersama seutas pita ungu. Wajah Riana mengeras. Matanya berkaca, tetapi ia cepat-cepat menutup kotak itu dan meletakkannya kembali.
Di bawah kotak itu, ia melihat satu halaman kertas longgar dari jurnal Maureen yang belum sempat ditemukan Maura. Tertulis: “Mama nggak mau lihat, tapi aku tahu dia tahu.”
Riana menatap tulisan itu lama, lalu meletakkan kertas itu kembali. Ia tak sanggup membacanya lebih lama.
ꕤꕤꕤ
Di sisi lain kota, Seno duduk di ruang kerjanya di firma arsitektur tempatnya bekerja. Di mejanya, gambar-gambar rumah model modern memenuhi layar laptopnya. Telepon berdering dan ia mengangkatnya.
“Pak Seno?” Suara dari seberang terdengar ramah.
“Ya, ini saya.”
“Saya Aditya, dulu kepala TU di SMP Harapan Bangsa, tempat Maureen dulu sekolah. Kami sedang merapikan arsip lama dan menemukan beberapa dokumen konseling yang tampaknya terkait putri Bapak.”
Seno terdiam. “Dokumen?”
“Ya. Kami biasanya membakar dokumen lama setelah lima tahun, tetapi ada satu map yang tidak diberi tanggal pemusnahan. Saya pikir lebih baik saya sampaikan langsung ke Anda.”
“Bisa saya ambil?”
“Tentu. Kami tunggu di sekolah. Saya harap ini bisa membantu Anda ... memahami sesuatu.”
Setelah menutup telepon, Seno menatap layar laptopnya. Proyek rumah besar yang tengah ia tangani terasa tak ada artinya sekarang.
ꕤꕤꕤ
Sore itu, Harry berdiri di bagian belakang perpustakaan kota. Ia sedang membaca buku psikologi klasik ketika matanya tertumbuk pada bagian tentang simbolisme dalam tulisan. Salah satu bab menjelaskan: “Spiral dapat melambangkan keterjebakan, ilusi kendali, atau perjalanan batin menuju kehancuran.”
Harry menulis di catatannya: Maureen = spiral = trapped?
Ia ingat kalimat Maura tempo hari: “Dia menggambar spiral di bukunya.” Sesuatu dalam hatinya mulai tak tenang. Ia menutup buku itu dan menyenderkan kepala ke rak.
Maureen meninggal bukan hanya karena kesedihan. Harry mulai merasa, mungkin ... ada lebih dari itu.
ꕤꕤꕤ
Di rumah, malam sudah turun. Maura membuka kembali jurnal Maureen. Kali ini dengan senter kecil di bawah selimut, seperti dulu mereka sering lakukan saat membaca cerita horor. Namun, ini lebih menakutkan. Ini adalah kisah nyata.
Di akhir buku, ia menemukan satu halaman kosong, kecuali satu simbol, spiral ganda.
Maura merinding. Ia tahu persis, itu adalah sandi terakhir mereka. Spiral ganda berarti: “Rahasia. Jangan percaya siapa pun.”