Riana duduk di ruang tamu yang sepi, tangan terlipat di pangkuan, matanya tertuju pada layar televisi yang tak benar-benar ia tonton. Serial drama Korea diputar dengan volume kecil, tetapi pikirannya terlempar jauh ke tempat lain—ke rumah sakit, ke kasur putih, ke napas terakhir yang tidak terdengar, dan ... ke wajah yang terlalu mirip untuk dibedakan. Maureen. Atau Maura?
Ia mengusap wajahnya cepat, seperti mengusir mimpi buruk yang menempel. Padahal ini bukan mimpi. Ini hidup yang terus berjalan dengan separuh denyut yang hilang.
Riana adalah sosok yang selalu tampak teratur. Rambutnya tersisir rapi meski tidak sedang pergi, bajunya bersih dan wangi sabun lembut, dan tiap sore ia menyapu halaman walau tak ada daun yang jatuh. Orang-orang mengenalnya sebagai ibu rumah tangga yang tenang, disiplin, dan kuat.
Namun, tidak ada yang tahu bahwa Riana—dalam sepi—bisa berdiri berjam-jam di depan lemari, memandangi pakaian Maureen yang belum disingkirkan. Bahwa ia masih mendengar suara Maureen memanggilnya dari dapur. Bahwa ketika Maura bicara dengan nada yang sedikit lebih rendah, ia pernah salah menoleh dan mengira Maureen masih ada. Ia tidak menyangkal kematian Maureen. Ia hanya ... belum siap menandainya sebagai akhir.
ꕤꕤꕤ
Maura memandangi ibunya dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Riana sedang menata bunga kering di atas meja ruang tamu, dengan kesabaran seperti sedang menenun luka menjadi bentuk yang rapi.
Mereka jarang bicara banyak sejak kejadian itu. Rumah ini bukan rumah yang terbiasa mengungkapkan rasa lewat kata. Semua kesedihan harus dibungkus tenang. Bahkan tangis harus punya waktu, tempat, dan ukuran.
Maura melangkah pelan, menuruni tangga. "Ma," sapanya lirih.
Riana menoleh. Senyum kecil yang terlalu cepat muncul. Terlalu rapi. “Iya, Maura? Sudah makan?”
“Sudah.” Maura mendekat. “Aku boleh lihat buku-buku lama Mama? Yang dulu disimpan di lemari kaca itu.”
Riana memicingkan mata, sedikit curiga, tetapi ia mengangguk. “Di atas lemari dapur. Hati-hati, banyak yang sudah lapuk.”
Maura mengangguk dan berjalan ke arah dapur. Buku-buku tua itu disimpan dalam sebuah kardus besar di atas lemari, dibungkus plastik yang agak menguning. Ia menariknya pelan dan mulai membuka satu per satu.
Buku psikologi, jurnal pendidikan, dan satu buku kecil bersampul kulit merah. Maura mengenal sampul itu. Dulu, ia pernah melihat Riana menulis di dalamnya saat malam-malam hujan, ketika Seno pulang terlambat. Waktu itu Maureen bilang, “Itu buku rahasia Mama. Jangan ganggu.”
Maura membukanya perlahan. Halaman pertama kosong. Halaman kedua berisi: “Kadang aku merasa satu anak lebih butuh aku dibanding yang lain, tapi apakah aku boleh memilih? Apakah boleh seorang ibu... merasa begitu?”
Maura berhenti. Napasnya tercekat.
Tulisannya adalah milik Riana. Halus, melingkar. Lembut tapi tegas. Halaman-halaman berikutnya berisi catatan-catatan pendek: tentang hari-hari saat Maureen menangis lebih lama dari Maura, tentang kunjungan ke psikolog yang tak pernah diberitahu ke Seno, dan tentang kecemasan yang disembunyikan di balik keberhasilan.
“Aku mencintai keduanya, tapi kenapa hatiku seperti condong ke satu sisi? Aku takut Maura akan membenciku nanti.”
Maura menutup buku itu perlahan. Dadanya terasa sempit. Ia tidak marah. Tidak kecewa, tetapi ada sesuatu yang berubah. Ia mulai memahami bahwa ibunya pun manusia yang penuh retakan dan Maureen menyimpan lebih banyak luka daripada yang tampak di permukaan.
Saat ia hendak mengembalikan buku itu ke dalam kardus, sesuatu terjatuh dari sela-sela halamannya. Sebuah kertas kecil. Maura membukanya. Simbol spiral tiga lengkung dan di bawahnya terdapat tulisan kecil yang nyaris terhapus: “Maura, kalau kau menemukan ini... berarti kau masih bisa meneruskan apa yang belum sempat kuselesaikan.”
Maura terpaku. Tulisannya bukan milik Riana, melainkan milik Maureen.
ꕤꕤꕤ
Di akhir sore, Bu Rissa sedang membereskan berkas-berkas sesi konseling di ruangannya yang sunyi. Ia menyimpan map berwarna hijau tua yang bertuliskan "Maura – pribadi", lalu berhenti sejenak, memandangi map tersebut dengan ekspresi ragu.
Di rak buku samping meja, tersembunyi di antara dokumen-dokumen resmi, ada sebuah album foto tua yang sudah agak lusuh. Ia menariknya pelan, membuka halaman pertama dan senyumnya perlahan memudar.
Foto seorang gadis berambut panjang dengan seragam putih biru. Wajahnya murung, matanya seperti menyimpan kabut. Itu dirinya. Dulu.
Bu Rissa mengelus perlahan gambar itu. Gadis yang dulu pernah duduk di bangku konseling, bukan sebagai guru, tetapi sebagai remaja yang merasa dunia terlalu sunyi untuk dihadapi.
Ia menutup album itu dan menatap catatan yang baru ia tulis tentang Maura: “Pasif di kelas. Tidak agresif, tapi ekspresi kehilangan sangat kuat. Respon terhadap percakapan terbatas. Perlu pelan-pelan.” dan satu catatan kecil di pojok bawah halaman:“Ada simbol spiral di jurnalnya, perlu ditelusuri. Tampaknya memiliki makna pribadi. Jangan langsung tanya. Tunggu ia terbuka.”
Bu Rissa tahu rasa bersalah. Ia tahu kehilangan. Ia tahu bagaimana orang dewasa bisa terlalu takut untuk mendengar dan terlalu cepat menyimpulkan.
Itulah kenapa ia memilih menjadi guru BK. Supaya tidak ada anak yang merasa seasing dulu dirinya sendiri.
Saat menutup map Maura, ia melirik ke kalender di mejanya. Lingkaran merah kecil ada di tanggal satu minggu ke depan. Sebuah reuni.
Ia menarik napas. Tempat ia bersekolah dulu, pernah nyaris menghilang dari dunia dan kini, ia berada di sisi yang lain—menjadi yang mendengar.