Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat yang Tak Kunjung Usai
MENU
About Us  

“Waktu tak selalu berjalan maju. Kadang, ia membekukan satu hari menjadi seribu bayangan, dan di dalamnya, aku terus menemukanmu, terbaring diam, dikelilingi rahasia yang tak sempat terucap.”   — Maura

 

Hujan turun pada pagi itu. Maura terbangun karena suara tetesnya yang jatuh di genting, pelan, tetapi menusuk, seperti bunyi jam dinding dalam ruangan kosong. Ia menggeliat di balik selimut, mencoba menyesuaikan matanya dengan gelap samar yang masih menggantung di langit-langit kamar.

Di sampingnya, ranjang Maureen tampak damai. Terlalu damai. Bantalnya masih berada di posisi semula, selimutnya tersampir rapi di atas tubuh yang membeku dalam keheningan yang ganjil. Maureen tampak tertidur ... tetapi terlalu diam. Terlalu sunyi.

“Maureen?” Maura memanggil dengan suara serak.

Tak ada jawaban. Ia duduk perlahan dan mengulurkan tangan, mengguncang lengan saudarinya.

Dingin. Bukan dingin biasa—dingin yang tak kembali hangat. Dingin yang membuat waktu berhenti.

Tubuh Maura gemetar. Ia berteriak. Sejak hari itu, waktu tak pernah benar-benar bergerak maju.

Maureen dinyatakan meninggal dalam tidurnya. Tidak ada luka, tidak ada tanda kekerasan. Dokter menyebutnya “kemungkinan overdosis obat penenang”, tapi Riana menolak mempercayainya. “Maureen anak baik,” katanya pada setiap orang yang bertanya. “Dia hanya kelelahan. Tubuhnya lelah, bukan jiwanya.”

Namun, Maura tahu lebih dari itu. Ia tahu tatapan kosong di mata Maureen sudah mulai tampak sejak beberapa minggu terakhir. Ia tahu Maureen mulai menyimpan banyak hal—terlalu banyak, bahkan dari dirinya, dan yang tak pernah bisa ia lupakan adalah selembar surat kecil ditemukan di atas meja Maureen.

Tulisan tangan Maureen yang rapi, tetapi tergesa berbunyi: “Aku lelah, tapi aku masih punya sesuatu yang harus disampaikan. Maaf kalau aku pergi tanpa selesai menuliskan semuanya. Tapi tolong, Maura, jangan diam. Cari tahu.”

Di bawah kalimat itu, tergores simbol yang sama: setengah matahari dan setengah bulan, dikelilingi garis patah seperti cahaya yang gagal keluar. Sandi pribadi mereka.

Surat itu tak selesai. Tak ada salam penutup. Tak ada tanda tangan. Hanya kepergian.

Kilas balik itu datang lagi pada malam ini. Maura terbangun dengan napas tercekat. Langit masih gelap. Suara hujan menggurat jendela dengan pelan, seakan menyalin air mata yang tak sempat jatuh.

Ia bangkit dari ranjang, memandangi sisi kosong yang dulu ditempati Maureen. Kini hanya ada bantal dan boneka kecil yang tak pernah dipindahkan sejak hari itu.

Di meja belajar, buku milik Maureen masih terjaga dalam laci terkunci. Maura menyimpannya seperti harta karun yang menakutkan: terlalu berharga untuk dibuka, terlalu berat untuk dibiarkan begitu saja. Namun, malam ini, ia merasa perlu.

Dengan kunci kecil yang ia simpan di kotak perhiasan, Maura membuka laci itu. Ia menarik keluar buku catatan kulit berwarna biru gelap—buku harian Maureen, atau setidaknya buku yang sering ia gambar dan tulisi.

Maura membuka perlahan. Halaman-halaman awal berisi catatan acak, kutipan puisi, sketsa tanaman, nama-nama bintang. Namun, ketika ia sampai ke halaman terakhir, ia menemukan sesuatu yang berbeda. Halamannya dilipat menjadi segitiga.

Dengan jantung berdebar, Maura membukanya. Di halaman itu, Maureen menggambar lingkaran besar dengan simbol-simbol tak dikenal: angka ganjil, tanda panah, bentuk bulan sabit yang terpecah, dan bintang lima sisi yang hanya digambar sebagian. Di tengahnya, tertulis kalimat: “Hari yang tak selesai, tempat yang tak dijaga, diri yang tak diingat.”

Maura memandangi tulisan itu berulang kali. Kata-katanya terasa seperti bisikan yang belum lengkap. Ia menyentuh goresan tinta itu, berharap bisa menarik kembali suara Maureen dari halaman itu.

Lalu ia melihatnya—di sudut bawah halaman—Maureen menulis dalam sandi pribadi mereka. Kode dari masa kecil mereka. Campuran huruf-huruf yang hanya mereka berdua pahami.

Maura menyalin potongan kalimat itu ke kertas: “Jangan percaya semua cerita yang mereka ulang.”

ꕤꕤꕤ

Keesokan harinya, di sekolah, Maura tampak berjalan seperti dalam kabut. Koridor dipenuhi siswa lain, tetapi dunia terasa jauh. Setiap langkah seperti gema. Setiap suara seperti pantulan kenangan yang belum sembuh.

Di sela jam kosong, Bu Rissa mengajaknya duduk kembali di ruang konseling.

Maura menggenggam salinan simbol dan tulisan sandi itu di sakunya.

“Kamu terlihat letih,” kata Bu Rissa, lembut.

Maura mengangguk pelan.

“Apakah kamu memimpikan Maureen lagi?”

“Setiap malam.”

Mereka diam sesaat. Lalu Maura membuka kertas di sakunya, menyerahkannya pada Bu Rissa.

“Dia ninggalin ini. Aku belum tahu maksudnya apa, tapi aku rasa ... ini penting.”

Bu Rissa membaca dengan seksama. Ekspresinya netral, tetapi tak kosong. Ia hanya berkata pelan, “Kadang mereka yang pergi menyisakan benang yang harus kita jahit sendiri.”

Maura menatap jendela. Hujan kembali turun. Ia tahu satu hal pasti: Maureen belum benar-benar selesai berbicara.

ꕤꕤꕤ

Di sore hari, Maura bertemu dengan Harry di bangku tua dekat taman belakang sekolah. Ia menyerahkan fotokopi halaman terakhir buku Maureen.

“Aku butuh bantuanmu.”

Harry membaca tanpa suara. Tatapannya berubah serius. “Aku ingat ini,” katanya. “Kode kalian waktu SD, tapi bagian arah, simbol bintang, angka ganjil ... kayak peta atau semacam koordinat.”

“Koordinat ke mana?”

Harry menatap langit. “Mungkin bukan ke tempat, tapi ke momen. Ke satu hari yang tak selesai.”

Maura merasa gemetar. “Hari apa?”

Harry menoleh. “Hari terakhir saat kalian bertengkar, mungkin? Atau saat dia mulai menyembunyikan sesuatu darimu.”

Maura terdiam. Di dalam dadanya, ada lubang yang kembali terbuka, teapi juga ada cahaya kecil yang menyala, keyakinan bahwa semua ini belum berakhir dan mungkin ... belum terlambat untuk menemukan Maureen kembali.

ꕤꕤꕤ

Sore hari menjelang malam. Langit Jakarta mulai berwarna jingga kusam. Di lantai paling atas sebuah firma arsitektur swasta di daerah Jagakarsa, lampu ruang kerja Seno masih menyala, meski mayoritas karyawan sudah pulang.

Seno duduk sendirian di ruang gambarnya. Dinding penuh cetakan sketsa bangunan modern dan struktur geometris yang nyaris sempurna. Di meja, terbentang kertas kalkir transparan dengan desain gedung pameran baru yang sedang ia rancang.

Tangannya menggenggam pensil arsitek 2H, tetapi ujungnya hanya bergerak melingkar—tidak menghasilkan apa pun yang berarti. Di sampingnya, ada sketsa yang belum selesai, bagian tengahnya kosong, seperti lubang yang disengaja. Ia sudah menatapnya lebih dari dua jam.

Jam digital di sudut ruang menunjukkan pukul 17:49. Dari jendela kaca, ia bisa melihat langit menggelap pelan. Lalu, matanya beralih pada sebuah buku sketsa kecil yang entah mengapa terbawa ke ruangannya—buku milik Maureen—yang Riana simpan dan entah sejak kapan berpindah ke dalam tas kerjanya.

Dengan ragu, Seno membukanya. Di dalamnya, bukan bangunan atau denah, melainkan garis-garis acak dan simbol-simbol aneh. Bentuk seperti lingkaran setengah patah, panah kecil mengarah ke dalam, dan huruf-huruf acak dalam pola. Seolah anak itu sedang menggambar sesuatu yang hanya ia pahami.

Satu halaman membuat Seno terhenti. “Rumah adalah tempat yang diam-diam bisa menghancurkanmu, jika dindingnya hanya menahan suara, bukan mendengarnya.” Tulis tangan Maureen. Kecil dan rapi, tetapi terlihat menyimpan tekanan.

Seno memandangi kata-kata itu lama. Ruangan terasa sunyi. Hanya ada dengungan pendingin ruangan dan jam yang berdetak seperti palu kecil di kepala.

Lalu, di sisi bawah halaman, ada satu simbol kecil: tiga garis melengkung menyatu ke tengah, membentuk sejenis spiral. Ia ingat, Maura dan Maureen pernah menggambar itu berulang kali di meja makan, di pinggir buku pelajaran, bahkan di ujung undangan ulang tahun mereka. Ia tak pernah paham apa artinya. Kini, simbol itu terasa seperti pesan. 

Seno berdiri perlahan. Ia menutup buku sketsa dan menaruhnya kembali ke dalam laci meja. Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Retak pertama telah muncul di dalam dunia yang ia bangun dengan sangat rapi dan di tengah senja yang semakin turun, seorang ayah yang biasa menciptakan struktur kokoh mulai menyadari: ada bangunan lain yang perlahan runtuh di dalam dirinya sendiri—bangunan bernama keluarga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melihat Tanpamu
177      138     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Finding My Way
965      577     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Arsya (Proses Refisi)
1145      711     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
PROMISES [RE-WRITE]
6167      1804     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
Reflection
439      314     1     
Short Story
Ketika melihat namun, tak mampu melakukan apapun
Rumah Tanpa Dede
182      123     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Gue Mau Hidup Lagi
443      290     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Sebab Pria Tidak Berduka
151      123     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
The DARK SWEET
721      506     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Love Yourself for A2
34      31     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...