Bab 48
Jalan Salib
Seakan-akan belum puas dengan kejadian wisata tempo lalu, Papa kembali mengajak Mama dan Lala jalan-jalan. Kali ini, bersama dengan teman-teman Papa. Mereka naik bus.
Lala memakai kesempatan ini untuk berjualan novel. Salah satu teman Papa membeli novel, tetapi tidak juga membayar. Setelah sampai di tempat penginapan, Lala merasa tidak tahan lagi dan menagih uang novel itu. Dengan wajah yang merona, teman Papa itu mengeluarkan dompet dari sakunya dan memberikan tiga lembar sepuluh ribuan.
Lala merasa tidak enak hati kalau harus menagih, tetapi ditahannya. Ia sudah susah payah menghasilkan novel itu. Harga laptopnya sepuluh juta rupiah, ongkos listrik lima ratus ribu per bulan, ongkos wifi tiga ratus ribu per bulan. Belum lagi, vitamin seharga empat ratus ribu yang harus ia beli karena jari-jarinya terasa sakit setelah mengetik sekian waktu lamanya. Namun, ia mendapatkan royalti sepuluh persen dari setiap novel yang terjual, yaitu sepuluh persen dari seluruh novel yang terjual. Lumayan.
Jadwal kegiatan wisata kali ini, mereka mengunjungi Gua Maria dengan bus wisata. Setelah sampai di sana, kembali Lala merasa sakit. Papa membelikannya kalung salib di salah satu kios yang berjajar di sana. Namun, sakit Lala malah semakin menjadi-jadi.
“Lihat, itu ada Jalan Salib di dekat Gua Maria! Ayo kita ikut Jalan Salib,” ajak teman Papa yang berpakaian serba hitam. Sontak, Lala mengeluh dalam hati. Selain sakit, ia tidak ingin ditinggalkan sendirian di tempat ini. Ia terpaksa mengikuti mereka Jalan Salib karena mereka merasa bahwa ide teman Papa itu bagus.
Lala mulai merasa putus asa dengan jalan yang menanjak. Ia sama sekali tidak membuat tanda salib. Kata teman papa yang tadi mengajak Jalan Salib, “Kok tidak berdoa?”
“Sakit sekali,” ucap Lala.
“Justru kalau berdoa menjadi tidak sakit,” bujuk teman Papa itu.
Mau tak mau, Lala membuat tanda salib. Batinnya, “Bukannya kalau sudah kesakitan, sudah termasuk berdoa?”
Sampai di tengah-tengah perjalanan, yaitu setelah sampai di depan patung ‘Yesus wafat di kayu salib,’ jalanan mulai menurun. Lala merasa bahwa sebentar lagi, ia akan mati.
Hari mulai malam. Jalanan menjadi gelap. Mama di depan Lala jatuh terduduk. Teman-teman Papa berusaha membangunkannya beramai-ramai. Seketika itu juga, rasa sakit Lala mereda. Lala heran, “Kenapa rasa sakitku mereda? Padahal, aku tidak sedang istirahat atau tiduran?”
Sesampainya di bus, mereka semua masuk dan naik bus kembali. Lala berkata, “Aku sudah sembuh.”
“Berkat ini,” kata Lala lagi sambil memegangi kalung salib yang tadi dibelikan oleh Papa dan sudah dipakainya.
“Bukan, tetapi karena hati,” kata teman Papa yang berpakaian serba hitam itu sambil menunjuk dadanya. Ia bukanlah teman Papa yang tadi tidak segera membayar novel Lala. Teman Papa yang tidak segera membayar novel Lala itu memakai baju biru dan sekarang sedang izin ke toilet.