Bab 32
Pertemuan Skizofrenia
Lala menuju ke tempat pertemuan dengan mobil online. Ia tidak lupa membawa novel-novelnya. Ternyata, tempatnya lumayan jauh. Sekali berangkat, saldonya terpotong Rp 40.000, 00.
Lala sampai di tempat pertemuan. Ia mengangkat bungkusan yang berisi novelnya dan menaruhnya di sebuah meja kayu cokelat yang pendek. Peserta pertemuan sudah banyak yang menunggu. Mereka duduk-duduk di kursi-kursi yang telah disediakan oleh panitia. Lala memilih salah satu tempat duduk di situ.
Mendadak, Lala merasa minder. Batinnya, “Apakah novel-novelku akan laku? Oh, Tuhan, tolonglah aku!”
Sesaat kemudian, Dokter Sisi datang dengan memakai gaun putih. Ia memulai ceramahnya sambil menyetel gambar-gambar yang ditampilkan melalui proyektor. Namun demikian, Lala tidak bisa fokus. Pikirannya mengembara ke mana-mana. Kadang, ke masa lalu dan kadang, ke masa depan. Namun, tidak ada seorang pun yang memerhatikannya.
“Apakah mereka juga sama denganku? Mereka semua menatap ke depan, tetapi dengan pandangan kosong,” pikir Lala. Lagi-lagi, ia berpikir bahwa novel-novelnya tidak akan laku. Batinnya, “Mereka semua sakit. Apakah mereka akan membeli novel-novelku?”
Dua jam kemudian, berdasarkan jam dinding yang tergantung di salah satu sisi dinding, pertemuan berakhir. Dokter Sisi menghampiri Lala dan menyalaminya. Tak Lala sangka, Dokter Sisi mengeluarkan uang untuk membeli novel Lala, diikuti oleh peserta-peserta pertemuan lainnya. Akhirnya, novel-novel yang dibawa oleh Lala, habis terjual.
Seorang pria mendekati Lala dan mengangsurkan sebuah buku kepada Lala. Katanya, “Ini buku saya yang juara ketiga lomba sastra. Ini hadiah untukmu.”
“Saya akan membayarnya. Berapa?” tanya Lala. Namun, pria itu cepat-cepat berlalu dan masuk ke dalam kerumunan peserta lainnya.
Lala memutuskan untuk pulang. Pikiran Lala tidak selalu panjang. Ia memutuskan untuk naik mobil online yang harganya mahal, bisa sampai Rp 40.000 untuk mencapai rumahnya. Padahal, ia sudah tidak perlu mengangkat barang yang berat lagi.
Setelah berada di dalam mobil, Lala baru berpikir, “Kenapa tadi aku tidak naik trans saja? Kan aku sudah tidak perlu membawa barang yang berat lagi. Yah, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur.”