Bab 31
Perjanjian dengan Penerbit
Sehari sebelum berangkat ke pertemuan yang diberitahukan oleh Dokter Sisi, Lala mempersiapkan beberapa eksemplar novelnya yang berjudul Aku Menderita Skizofrenia terbitan PT Kanisius. Namun, Mama mengomentari, “Sedikit sekali. Juallah lebih banyak! Bukankah pertemuannya tentang skizofrenia? Kan ada hubungannya dengan novelmu.”
“Tapi aku cuma punya segini, Ma …,” desah Lala. Ia tidak bisa berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan lebih banyak novel. Ia juga tidak mempunyai inisiatif untuk mengunjungi toko buku di sebelah percetakan milik penerbit.
“Ayo siap-siap!” suruh Mama, tegas. Suaranya seakan mengatakan bahwa ia tidak mau dibantah.
“Ke mana, Ma?” tanya Lala penasaran. Ia mengerutkan keningnya.
“Kita akan ke penerbitmu. Kita beli novelmu yang banyak,” usul Mama, antusias. Ia teringat bagaimana Lala menambah uang belanjanya dari hasil kerjanya. Namun, Mama tetap menyisihkan sebagian uang Lala untuk ditabung. Lala memang memiliki tabungan sendiri di bank semenjak ia SMA. Itu karena ia wajib memilikinya sebagai program dari sekolah bahwa setiap siswa dan siswi harus memiliki tabungan.
Dalam hati, Lala bersorak senang mendengar Mama akan menemaninya ke penerbit hari ini. Tak biasanya, Mama mengizinkannya membeli buku-buku karyanya dalam jumlah besar. Ia segera mandi dan bersiap-siap. Sekitar lima belas menit kemudian, ia sudah berada di ruang tamu dengan kaos pink dan celana jeansnya. Sejenak, ia ragu-ragu karena pakaiannya informal, tapi pikirnya, “Aku kan bukan mau mengajar.”
“Hari ini kita akan naik bus, La. Sudah kamu siapkan kartu Trans?” tanya Mama. Ia mengenakan gaun berwarna biru. Bibirnya dipoles lipstik berwarna merah kesayangannya. Lala tidak mengerti kenapa Mama suka sekali lipstik merah. Lala sendiri suka lipstik pink.
“Selalu berada di tasku, Ma. Tidak pernah kukeluarkan,” jawab Lala. Ia bersyukur Mama tidak mengajaknya naik mobil online seperti yang sudah-sudah karena sekali jalan, ongkosnya bisa mencapai empat puluh ribu rupiah.
Mama dan Lala berjalan menyusuri gang yang menghubungkan kompleks perumahan Lala dengan jalan besar. Setelah sampai di jalan besar, mereka harus berjalan sekitar satu kilometer lagi. Maka, sampailah mereka di shelter bus trans.
Mama dan Lala naik setelah bus datang. Mereka mencari tempat duduk yang kosong di seberang pintu. Mama suka sekali duduk di kanan depan sendiri yang menghadap ke kiri. Biasanya, Mama akan memutar tubuhnya menghadap ke depan walaupun tempat duduknya mengarah ke kiri. Alasan Mama, "Biar tidak pusing."
Lala menyerahkan kartu trans kepada petugas dan berkata, “Dua orang.”
Kondektur menggesekkan kartu itu ke mesinnya, serta menyerahkan kembali kartu dan karcis yang keluar dari mesin kepada Lala. Lala membaca karcisnya. Saldonya hanya terpotong 2 x Rp 2.700,00. Biasanya, kalau tidak membawa kartu, ia akan ditagih Rp 3.500,00 per orang. Ia pun menarik nafas lega.
Lala yang duduk di sebelah kiri Mama sambil dibelakangi oleh Mama, menoleh ke depan. Di pembatas di belakang sopir, terdapat dua lembar keterangan yang dilaminating. Salah satunya berisi foto sopir dan nama sopir, yang lainnya berisi sebuah foto dan nama kondektur. Namun, untuk keterangan tentang kondektur, mereka menyebutnya dengan 'pramugari.' Lala merasa heran. Pikirnya, "Bukankah pramugara atau pramugari adalah mereka yang bekerja di pesawat?"
"Mengapa mereka disebut pramugari atau pramugara, Ma?" tanya Lala.
"Biar keren," jawab Mama.
Bus trans tidak langsung menuju ke tempat tujuan Lala dan Mama, tetapi berputar-putar terlebih dahulu dan berhenti di beberapa pemberhentian. Mama dan Lala berhenti di suatu shelter untuk transit. Setelah itu, mereka baru mendapatkan bus dengan jalur yang langsung membawa mereka ke gang yang menuju ke penerbit.
Ketika, Mama dan Lala sedang berjalan menuju ke penerbit, mereka melewati sebuah warung soto. Mereka berhenti sejenak untuk makan soto. Sate dan lauk tambahan lainnya disajikan secara terpisah dan bisa diambil sendiri di meja yang bertiang yang dipasangi plastik sebagai penutup agar tidak dihinggapi lalat. Terdapat sate koyor, sate paru, sate kerang, sate daging ayam, sate ati ampela, tempe, bakwan, dan tahu di meja itu. Mama dan Lala tidak mau repot-repot mengambil sate dan lauk tambahan. Selain itu, Mama juga membawa minuman sendiri dari rumah sehingga mereka tidak memesan minuman. Mereka minum dengan sembunyi-sembunyi, takut ketahuan pelayan warung itu.
Setelah makan, Mama dan Lala melanjutkan perjalanan. Sesampainya di penerbit, Lala berkata kepada staff, “Selamat pagi! Saya ingin membeli dua puluh eksemplar novel Aku Menderita Skizofrenia. Boleh minta diskon penulis?”
“Baik. Saya sampaikan kepada bagian marketing,” sahut staff. Beberapa saat kemudian, ia kembali dan berkata, “Tolong tunggu di ruang tunggu itu!”
Lala masuk ke ruangan yang ditunjuk oleh staff. Di dalamnya, terdapat empat meja yang masing-masing dikelilingi empat kursi yang empuk. Pendingin ruangan dalam keadaan menyala. Lala berkata kepada seorang perempuan yang duduk di kursi di belakang meja depan dengan telepon di atasnya, “Permisi!”
“Silahkan!” ucap perempuan berambut keriting sebahu itu. Lala pun duduk di salah satu kursi empuk itu.
Tak berapa lama, bapak yang bertugas di bagian marketing pun datang dan duduk di kursi empuk, berhadapan dengan Lala. Ia membawa sebuah bungkusan yang terlihat begitu berat. Katanya, “Mbak Lala, Mbak tidak usah membeli dua puluh eksemplar. Ini saya pinjami seratus eksemplar. Kalau sudah laku, baru dibayar dengan dikurangi diskon penulis.”
“Oh, baik, Pak,” ucap Lala. Mulutnya menganga. Ia tampak terkejut. Namun, ia bangkit juga dari duduknya dan bersalaman dengan bapak itu.
Setelah bapak itu pergi, Lala berusaha untuk mengangkat bungkusan berat itu. Lala merasa kuat karena ia biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sedari dulu. Ia bahkan bisa mengangkat galon air yang masih penuh isinya ke dispenser yang setinggi pinggangnya. Tinggi badannya 160 cm.
Mama yang sedari tadi duduk-duduk di taman segera berdiri demi melihat Lala dan bungkusan di tangannya. Mama terheran-heran. Katanya, “Kok banyak sekali?”
“Lala cuma dipinjami, Ma. Kita tidak usah membeli,” terang Lala.
“Kita harus memesan kendaraan online. Tidak mungkin kita berjalan kaki menenteng barang seberat itu. Nanti kamu bisa turun berok. Sayang, Papa tidak bisa mengantar jemput kita. Ia harus bekerja keras setiap harinya. Ia selalu pulang sore dan sudah kelelahan saat tiba di rumah. Kadang ia tidak pulang karena harus jaga malam di rumah sakit,” ujar Mama.
Lala menurut. Ia memencet-mencet handphone-nya untuk memesan mobil online. Mobil online berwarna putih datang beberapa saat kemudian. Sopirnya membantu Lala memasukkan barang ke bagasi. Mama memberinya tip lima ribu rupiah. Sopir tampak sumringah dan memasukkan uang itu ke saku bajunya. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.