Bab 20
Psikolog
Karena hari demi hari, Lala selalu terlihat sedih dan tak bergairah melakukan apa pun, Papa Mama memutuskan untuk membawa Lala ke psikolog. Psikolog itu juga praktik di Rumah Sakit Castle. Hanya saja, jadwalnya tidak selalu bersamaan dengan Dokter Krisna.
Selama menunggu antrian, Mama mengajak Lala mengobrol, "La, kamu tahu tidak?"
"Apa, Ma?" tanya Lala.
"Anak Dokter Krisna sakit skizofrenia seperti kamu, tetapi ia bisa menjadi dokter juga seperti papanya dengan rutin minum obat," urai Mama.
Lala merasa malas mendengarnya. Lala pernah diceramahi Papa, "Lihat! Anaknya menjadi orang walaupun keadaannya seperti itu. Tidak seperti kamu. Kamu jangan seperti ini terus. Kamu menyusahkan Mama Papa. Mau jadi apa kamu kalau mencari uang saja tidak becus."
Lala bukannya tidak becus mencari uang, tetapi penghasilannya yang sedikit tidak bisa digunakan untuk seluruh keluarga. Mereka harus menggantungkan hidup dari gaji Papa. Lagipula, kalau mood Lala membaik, ia akan terus berusaha mencari uang. Salah satunya adalah dengan menulis. Saat ini, tulisan-tulisannya belum jadi bestseller. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti, buku Lala akan menjadi bestseller. Lala terus berharap dan berdoa dalam hati karena tidak tahan dengan kata-kata Papa.
"Ah, Papa hanya skeptis saja," hiburnya kepada diri sendiri sewaktu Papa sudah menghilang masuk ke dalam kamarnya.
Lala tersentak kaget sewaktu Mama memegang bahu Lala. Mama menuntun Lala masuk ruangan psikolog dan meninggalkannya di sana. Psikolognya sudah duduk di kursinya di belakang meja kayu cokelat bertaplak hijau muda. Ia adalah seorang pria berkacamata berusia separuh baya. Ia memperkenalkan dirinya kepada Lala, “Saya Jatmiko. Silahkan duduk!”
Lala duduk di kursi kayu coklat di depan meja Pak Jatmiko. Lalu, kata Pak Jatmiko, “Kamu pasti Lala. Ayo ceritakan saja semua yang ada di hatimu. Jangan dipendam sendiri.”
“Akhir-akhir ini, saya jatuh cinta. Ia mengabaikan saya. Ia hanya menjawab ketika saya berkata bahwa saya ingin membeli tablet darinya. Padahal, saya sudah berusaha mati-matian. Saya masih punya harapan kan?” terang Lala.
Pak Jatmiko mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Orang ini tidak mencintaimu. Ia hanya mau mengambil keuntungan darimu sehubungan dengan pekerjaannya sebagai penjual handphone.”
“Dari mana Bapak tahu? Bukankah saya harus terus mencoba dan tidak putus asa?” tanya Lala. Hatinya seperti tersayat. Ia berusaha menolak kenyataan sepahit empedu bahwa lagi-lagi, cintanya akan bertepuk sebelah tangan.
“Tentu saja saya tahu. Saya kan juga laki-laki. Saran saya, jauhi dan lupakan dia! Cari yang lain!”
“Saya mempunyai kenalan yang tidak tertarik kepada perempuan dan mempunyai banyak uang. Bolehkah saya tinggal serumah dengannya?” tanya Lala lagi. Laki-laki kenalannya itu sekarang sudah separuh baya dan tidak pernah menikah sama sekali.
“Kalau tidak ada perjanjian hitam di atas putih, seperti misalnya surat pernikahan, tidak boleh,” suruh Pak Jatmiko.
“Walaupun ia sama sekali tidak tertarik dengan hubungan romantik?” cecar Lala.
“Iya. Jangan sampai terjadi fitnah,” nasehat Pak Jatmiko.
"Tapi ia kaya. Hidup saya akan terjamin karena saya sendiri tidak pintar mencari uang," bujuk Lala.
"Pokoknya, tidak bisa," keukeh Pak Jatmiko.
"Ia berjanji akan memberi saya warisan kalau saya baik kepadanya. Mungkin, kalau saya merawatnya di masa tua, ia akan memberi saya warisan," terang Lala.
"Kalian tetap harus tinggal di rumah terpisah. Kalian hanya boleh saling mengunjungi," tegas Pak Jatmiko.
Lala beranjak keluar dari ruangan itu begitu saja. Di luar, ia berpapasan dengan Mama yang bertanya, “Sudah berterima kasih?”
“Belum,” sahut Lala. Ia terburu-buru masuk lagi ke dalam ruangan. Katanya, “Terima kasih, Pak! Maaf, tadi saya lupa karena saya dan teman saya biasa saling curhat. Kami tidak saling mengucapkan terima kasih.”
“Ya. Tidak apa-apa,” sahut Pak Jatmiko.
"Bapak sudah mau pergi?" tanya Lala yang melihat Pak Jatmiko memasukkan berkas-berkas ke dalam tas hitamnya. Tasnya sama hitamnya dengan tas Lala, tetapi tas Pak Jatmiko lebih kecil seukuran kertas-kertas HVS. Tas Lala agak lebih besar sedikit.
"Saya masih ada urusan lain di luar sini," kata Pak Jatmiko.
Sebelum Lala mengekor Mama ke tempat pemberhentian bus, Lala mengeluarkan topi hijau dari dalam tas. Ia sering merasa pusing kalau kepalanya terkena sinar matahari terik, tidak peduli rambutnya yang tebal.
Sesaat Lala tidak beranjak dan terus melihat ke bawah. Mama bertanya, "Ada apa, La?"
"Aku merasa barangku ada yang ikut keluar ketika aku mengeluarkan topi," sahut Lala.
"Ah, tidak ada. Cuma perasaanmu saja," hibur Mama.
OCD/Obsesif Compulsive Disorder yang diderita Lala kembali kambuh. Mungkin, itu karena Lala terlalu susah dan overthinking.
OCD adalah keadaan di mana otak memberi informasi bahwa ada yang belum beres walaupun segala sesuatunya sudah beres atau tidak perlu dicemaskan. OCD membuat penderitanya merasa cemas. Contohnya, ketika seseorang merasa bahwa barang-barangnya belum dimasukkan kembali ke dalam tas setelah meninggalkan restoran. Kalau dituruti, penderita akan kembali ke restoran dan mengecek secara berulang-ulang.
Kalau masih di pikiran disebut obsesif. Kalau sudah menjadi tindakan seperti mengecek berulang-ulang disebut kompulsif. Disorder sendiri artinya adalah kelainan.
Dokter Krisna pernah memberi Lala resep obat OCD, tetapi tidak banyak membantu. Mungkin, obat itu harus dikonsumsi dalam jangka panjang dulu sehingga sembuh. Namun, Dokter Krisna menghentikan obat itu. Katanya, "Obat ini tidak baik dikonsumsi dalam jangka panjang. Kamu bisa kecanduan."
Lala berusaha bertahan dengan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia berdoa setiap kali OCD menyerang. Apa saja ia doakan agar beres. Lama-lama, pikiran Lala menjadi penuh. Ia kembali merasa sakit dan harus mengonsumsi obat bila perlu.
Lala mengonsumsi Closaryl yang menimbulkan kantuk. Sebenarnya, obat itu cukup diminum setengah tetapi efeknya baru terasa setelah satu jam. Karena Lala sudah tidak tahan lagi, ia mengonsumsi setengah obat itu lagi dalam jarak seperempat jam. Akibatnya, ia tidak bisa menahan kantuknya di jalan. Ia tertidur di pangkuan Mama di dalam bus yang membawa mereka menuju gang rumah mereka.
Setelah bus sampai di tempat tujuan, Mama kesulitan untuk membangunkan Lala walaupun tubuh Lala diguncang keras-keras. Lala sendiri yang memaksa untuk membuka matanya. Ia berdiri sambil dipapah Mama. Mata Lala menyipit. Mama memanggil becak yang sedang lewat. Mereka pun naik becak tanpa menawar lagi. Lala tertidur di becak dan baru membuka matanya kembali setelah sampai di depan rumahnya. Lala turun dari becak dan langsung masuk ke rumah.
Mama mengangsurkan uang sepuluh ribu rupiah ke tukang becak yang berkata, "Kok cuma segini, Nyah? Kurang."
Mama kembali mengangsurkan uang. Kali ini, selembar lima ribuan. Namun, kata tukang becak, "Tambahi!"
"Berapa?" tanya Mama, mulai merasa jengkel.
"Ongkos becak dua puluh ribu. Kurang lima ribu lagi," paksa tukang becak.
"Owalah, Pak! Kowe ngepruk (sengaja meminta bayaran yang mahal)," seru Mama yang melenggang masuk rumah. Sementara itu, tukang becak pergi sambil memaki-maki. Lala hanya memandang mereka dari balik jendela kaca rumahnya. Beginilah kehidupan. Tidak selamanya segala sesuatunya berjalan dengan mulus tanpa masalah.