Bab 10
Rumah Sakit di Solo
Kali ini, Papa Mama mengantar Lala ke rumah sakit di Solo untuk pemeriksaan EEG (electrocardiogram). Mereka tiba di sebuah bangunan yang kelihatan usang. Cat temboknya yang berwarna putih sudah kusam dan mengelupas di sana-sini.
Lala heran. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Gumamnya, "Bukankah ini rumah sakit yang besar? Berapa penghasilannya? Mungkinkah rumah sakit ini miskin? Kenapa mereka tidak membayar orang untuk mengecat ulang temboknya? Apakah mereka sedang menghemat biaya?"
Mama menggandeng Lala yang masih mematung di depan rumah sakit, untuk memasuki bangunan itu. Mama menemui seseorang berseragam putih dan berbincang sebentar dengannya. Orang itu mendekati Lala. Katanya, "Saya adalah petugas yang akan melakukan ECG terhadap kamu. Kamu keramaslah dengan sampo ini terlebih dahulu di kamar mandi di sebelah sana. Masuklah melalui lorong ini."
Mama menggandeng Lala melewati lorong untuk mencari kamar mandi. Celetuk Lala, "Bagaimana nanti kalau samponya tidak cocok, Ma?"
"Pokoknya, kamu harus keramas," jawab Mama, tidak mau memedulikan kecemasan Lala.
Mereka menemukan kamar mandi. Mama memegangi kepala Lala agar menunduk. Mama segera mengguyur kepala Lala dengan air dan mengusap-usapkan sampo ke kepalanya. Lalu, Mama mengguyur kepala Lala dengan air kembali sampai bersih.
"Kenapa aku harus keramas, Ma?" tanya Lala, penasaran.
"Biar hasilnya maksimal," jawab Mama, singkat. Lalu, ia kembali menggandeng Lala kembali ke petugas tadi.
Petugas tadi sudah berada di sebuah ruangan. Terdapat sebuah mesin di dekatnya. Mama menggandeng Lala masuk ruangan itu.
Lala ketakutan, tetapi Mama menenangkannya dengan memegang tangannya. Petugas mulai menempelkan ujung-ujung kabel yang menempel pada mesin berbentuk kotak ke kepala Lala. Setelah itu, ia menyalakan mesinnya. Kepala Lala terasa berkedut-kedut. Petugas membaca frekuensi yang tertera pada mesin.
Di hari yang lain, Mama dan Lala kembali ke rumah sakit itu untuk mengetahui hasil pemeriksaan. Terdapat frekeunsi yang salah di hasil pemeriksaan yang sudah dicetak. Ternyata, terdapat kelainan di otak Lala yang menyebabkannya sakit mental. Mereka belum tahu apa kelainan itu. Mereka menyarankan Lala untuk terus berobat ke psikiater.
Psikiater hanya bisa memberi Lala obat. Namun, efek samping obat membuat Lala mengalami kekakuan sehingga ia berjalan seperti robot. Hal itulah yang membuat ia tergoda untuk membuang obatnya diam-diam. Ia merasa normal dan lebih baik tanpa obat. Setidaknya, tanpa obat, ia tidak akan menjadi robot.
Di hari yang lain lagi, Mama dan Lala pergi ke rumah sakit itu lagi untuk mengantar Lala mengikuti tes kepribadian. Lala pun masuk ke dalam sebuah ruangan yang besar tetapi sangat terang, tetapi Mama menunggu di ruang tunggu.
Meja kayu coklat dengan bangku kayu cokelat di belakang meja itu disusun berjajar di dalam ruangan itu, membentuk kolom-kolom dan baris-baris. Ada seorang gadis dan seorang remaja pria duduk di bangku di baris depan. Lembaran soal-soal berada di atas meja di depan mereka. Remaja pria itu terlihat merenung seraya menatap nanar lembaran soal-soal di depannya. Gadis itu terlihat ambruk pada lembaran soal-soal di depannya. Dari belakang, terlihat rambut hitam panjangnya yang disisir rapi.
Lala memilih duduk di tengah. Petugas memberikan lembaran soal dan lembaran untuk menjawab. Lalu, ia kembali duduk di bangkunya di depan sendiri. Bangkunya terbuat dari kayu dan berwarna cokelat juga. Terdapat meja kayu cokelat juga di depannya.
Lala mulai menjawab soal-soal itu dan menyerahkan hasilnya kepada petugas. Lala menjadi yang pertama selesai. Sebelum ia keluar ruangan, ia dites IQ dulu oleh petugas. Petugas menyuruhnya mengurutkan gambar-gambar. Lala berhasil. Lalu, petugas memberinya pertanyaan-pertanyaan sulit. Lala tidak bisa menjawab beberapa, tetapi ada satu pertanyaan yang berhasil Lala jawab.
“Tak Putus Dirundung Malang?” tanya petugas.
“Sutan Takdir Alisyahbana,” sahut Lala. Ia teringat kepada novelnya di rumah yang dibelikan oleh Mama.
Selesai tes, Lala keluar ruangan. Lala segera menemui Mama. Keluhnya, “Ma, aku merasa bahwa tadi yang kukerjakan salah semua.”
“Tidak apa-apa. Jangan kuatir!” Mama mengajak Lala pulang naik kereta api.
Beberapa hari berlalu. Mama dan Lala pergi ke rumah sakit itu lagi untuk mengambil hasil tes. Setelah mereka mendapatkannya, Mama menyimpannya ke dalam tas hitamnya. Mereka pun menuju ke tempat praktik dr. Andini dengan naik becak.
Setelah sampai di tempat praktik dr. Andini, mereka segera masuk ruangan karena antrian sedang sepi. Mama menyerahkan hasil tes kepada dr. Andini.
Tak sengaja, dr. Andini mendengar Mama memanggil Lala dengan nama julukan. Dr. Andini menegurnya. Ia menceritakan tentang anak tetangganya yang selalu menyebutkan nama dengan benar dan selalu berkata-kata dengan benar. Lalu, Dr. Andini membuka amplop hasil tes dan membacanya.
“Tes IQ kamu bagus, 116, di atas rata-rata. Namun, terdapat kekurangan dalam kepribadian kamu. Kamu kurang berempati. Bagaimana perasaanmu kalau ada pengemis di pinggir jalan yang tidak mempunyai kaki? Tidakkah kamu merasa kasihan?” cecar dr. Andini.
“Asal sudah kasih uang sudah tidak apa-apa,” celetuk Mama.
“Ini apa, Dok?” Lala menunjuk buku-buku kecil di meja dokter.
“Jualan saya,” jawab dr. Andini.
“Saya beli satu,” kata Mama.
“Satu lima ribu,” kata dr. Andini. Mama mengeluarkan selembar uang dari dalam tasnya dan memasukkan satu buku kecil ke dalamnya.
Konsultasi tidak berlangsung lama. Mama dan Lala berpamitan setelah selesai. Tak lupa, Mama memasukkan uang ke dalam peti.