Bab 8
Naik Kereta Api
Hari ini, Mama mengajak Lala naik kereta api ke Solo. Mama menyuruh Lala bersiap-siap. Mama membangunkan, menyuruh mandi, dan menyuruh Lala berganti pakaian. Kali ini, Lala menurut karena Mama terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Lala mengenakan kaos kuningnya dan celana jeans biru. Mama mengenakan gaun birunya. Lala heran, "Kenapa Mama suka sekali pakai gaun sementara aku suka pakai celana panjang?"
Mama memoles bibirnya dengan lipstik merah kesayangannya. Lala lebih menyukai lipstik merah muda, tetapi ia jarang memakainya. Mama menegurnya, "Jadi cewek itu harus dandan kalau mau ke mana-mana. Kok tidak pakai lipstik? Ayo bedakan!"
Kalau dulu, sewaktu Lala masih kecil, Mama akan menaburkan bedak begitu saja di wajah Lala. Kini, Lala sudah dewasa. Mama cuma bisa menasehatinya. Meskipun demikian, Lala bergeming. Ia tidak menggubris perintah Mama untuk dirinya berdandan. Ia malas berdandan. Ia merasa akan diganggu oleh pria hidung belang kalau ia menjadi terlalu cantik. Tadi, ia memandang wajahnya di cermin dan ia belum menemukan keriput apa pun. Ia masih terlalu cantik untuk tidak akan diganggu pria hidung belang. Namun, ia juga merasa minder dengan penampilan fisiknya sekarang.
"Ah, yang penting, aku tidak diganggu. Jelek tak mengapa," gumam Lala kepada dirinya sendiri. Beruntung, Mama tidak mendengar Lala sehingga Mama belum menganggap Lala aneh. Setiap kali Mama menganggap Lala aneh, Mama akan menyodorkan obat kepada Lala. Tak jarang, Mama memaksa Lala meminum obat tambahan. Tak jarang pula, Lala menolak dan memberontak, sehingga Papa harus memeganginya untuk mereka bisa memaksanya minum obat.
Papa mengantar Mama dan Lala ke stasiun kereta api sebelum Papa berangkat bekerja. Mereka sampai di stasiun, dan Papa meninggalkan Mama dan Lala. Mama segera melangkah ke loket untuk membeli dua tiket pulang pergi Yogyakarta-Solo dan Solo-Yogyakarta. Lala mengikutinya dari belakang.
Lala menyadari bahwa Mama akan membawanya ke psikiater lagi. Lala tidak percaya kepada Mama dan psikiater itu. Lala berpikir bahwa keluarganya hanya mencari-cari cara agar bisa menjerumuskannya dalam masalah. Psikiater itu menyatakan bahwa Lala sakit mental hanya agar psikiater itu bisa mengeruk uang keluarganya. Pada masa itu, belum ada BPJS. Lala berobat dengan uang orang tuanya. Biaya berobat juga tidak sedikit.
"Kamu bisanya cuma menyusahkan." Suara Papa kembali terdengar di otak Lala.
"Menyusahkan bagaimana? Itu salah Papa sendiri yang melakukan hal-hal tidak perlu seperti ini. Aku kan tidak gila. Untuk apa mengeluarkan uang banyak untuk mengobatiku ke psikiater? Papa cuma mengada-ada dan sengaja memberiku masalah. Papa senang kalau melihatku banyak masalah," jerit batin Lala.
Lala mulai menceracau dan berteriak-teriak di stasiun. Mama memegangi tangannya untuk menenangkannya. Lalu, kata Lala, “I will always follow your commands, Mother.” (“Aku akan selalu menuruti perintah-perintahmu, Ibu.”)
Orang-orang di sekitar Mama dan Lala menatap mereka berdua dengan pandangan heran dan penuh selidik. Mama cepat-cepat menggandeng Lala untuk masuk ke kereta api. Hampir saja, mereka tersandung saking Mama terburu-buru.
Mama dan Lala beruntung karena mereka mendapat tempat duduk. Yang tidak mendapat tempat duduk terpaksa duduk di lantai dengan beralaskan koran. Entah dari mana mereka mendapatkan koran-koran itu. Lalu, Lala melihat dari jendela kereta api, ada kios koran di sisi sebelah sana. Pasti mereka membeli koran dari sana. Lala ingin membeli majalah remaja tetapi takut Mama tidak mengizinkannya. Dulu, ia pernah minta dibelikan majalah remaja, tetapi Mama menolaknya.
Setelah duduk, Lala masih saja menceracau. Kebanyakan, ia tidak mengerti ucapan-ucapannya sendiri. Salah satu ceracaunya, “Aku ini susah sekali. Jadi, aku mempelajari semua jenis Kitab Suci dari agama-agama yang berbeda-beda ….”
Seorang gadis yang Lala dan Mama kenal duduk tepat di hadapan mereka. Mereka saling menyapa. Gadis itu cantik dengan mata dan rambut coklatnya. Ia mengenakan kemeja kuning. Mama dan Lala tidak tahu ia hendak ke mana dan mereka tidak bertanya kepadanya. Namun, kebanyakan orang di kereta api yang berpakaian resmi akan berangkat bekerja ke Solo dan pulang lagi ke Yogyakarta di sore harinya. Mama dan Lala mengetahuinya dari berita televisi yang pernah mereka tonton.
Selama dalam perjalanan, gadis itu tertidur. Kadang, kepalanya mendongak ke atas dan kadang, kepalanya tertunduk. Saat kepalanya mendongak ke atas, mulutnya terbuka secara otomatis. Saat tertunduk, mulutnya mengatup secara otomatis juga.
Yang lain-lainnya juga banyak yang tertidur. Ada seorang ibu yang terlihat tertidur. Badannya condong ke kanan tetapi kepalanya lunglai ke kiri. Mungkin itu caranya agar tidak tertidur di bahu penumpang di sebelahnya. Lala heran mengapa mereka bisa tertidur dengan mudahnya. Bukankah tertidur di kereta api itu tidak nyaman?
Mama dan Lala sampai di stasiun tujuan beberapa jam kemudian. Mereka segera pergi ke tempat psikiater itu praktik dengan naik becak. Saat itu, kendaraan online belum popular.
Akhirnya, mereka sampai di tempat praktik psikiater. Terdapat sebuah rumah dan di depannya terdapat sebuah kantor seperti klinik. Di depan kantor itu, terdapat peti kayu cokelat yang berlubang di atasnya untuk memasukkan uang.
Pasien yang antri dipanggil satu per satu. Giliran Lala pun tiba. Ia masuk bersama Mama. Di meja psikiater, terdapat sebuah papan cokelat bertulisan “dr. Andini.” Lala dan Mama dipersilakan duduk di dua kursi kayu cokelat di depan meja psikiater. Lalu, Lala disuruh menyampaikan keluhannya. Keluh Lala, “Saya sering overthinking. Berkali-kali, saya melongok ke dalam tas untuk memeriksa apakah barang saya ada yang ketinggalan.”
“Kamu terlalu berorientasi pada barang. Berdoa saja! Serahkan kepada Tuhan! Kamu harus bersyukur karena kamu masih bisa minum obat,” ujar dr. Andini.
“Saya tidak suka minum obat,” sahut Lala.
“Kamu sendiri yang bisa merasakan enak atau tidaknya tubuhmu. Kalau rasanya sudah tidak enak, kamu harus meminum obatmu. Jangan lupa mendekatkan diri kepada Tuhan! Tulis 100 alasan di buku catatanmu tentang hal-hal yang bisa kamu syukuri!” ujar dr. Andini lagi.
“Dok, saya belum punya pacar sampai sekarang,” keluh Lala lagi.
“Tidak apa-apa. Saya juga tidak menikah. Namun, saya menikmati hidup saya karena saya suka menasihati orang,” nasihat dr. Andini. Ia mencorat-coret selembar kertas dan menyerahkannya kepada Mama. Katanya, “Ini resep obat yang harus ditebus.”
“Terima kasih, Dok! Ayo Lala bilang terima kasih!” perintah Mama.
“Terima kasih,” gumam Lala. Mereka pun keluar. Tak lupa, Mama memasukkan amplop yang berisi uang ke peti kayu.
Mereka pun pulang dengan naik kereta api lagi setelah sebelumnya, mampir ke sebuah pasar untuk membeli beberapa potong pakaian. Mama membelikan Lala celana jeans panjang berwarna cokelat.