Bab 2
Mengantuk
Lala membaca di buku panduan akademik bahwa salah satu syarat boleh kuliah di universitas ini adalah sehat secara mental. Ia merasa bahwa itu tidak adil. Bukan dirinya yang memilih sakit mental. Lagipula, sakit mental bukan berarti kognitif tidak bekerja. Maka, Lala berusaha menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya dari dosen-dosennya. Ia berharap agar mereka tidak mengetahuinya sehingga ia tidak dikeluarkan. Namun, ia tidak jarang dipanggil dosen yang menemukan keanehannya.
Contohnya, saat ia ditemukan tidur di kelas oleh dosen sementara mahasiswi-mahasiswa lainnya sibuk mengerjakan tugas. Mereka semua ceria dan aktif, tidak seperti Lala yang lesu. Dosen itu menghalangi Lala untuk keluar kelas saat Lala sudah sampai di depan kelas dan hendak menuju ke pintu keluar setelah pelajaran berakhir. Dosen wanita berambut cepak dan berkacamata itu mengajak, "Aku ingin bicara empat mata denganmu."
“Apakah kamu tidak apa-apa? Kamu tampak lelah dan mengantuk setiap hari,” selidik dosen itu.
“Saya tidak apa-apa. Jangan kuatir! Saya hanya kurang tidur karena harus mengerjakan sesuatu,” jawab Lala, mencari-cari alasan. Matanya melirik ke mana-mana. Kelas ini sudah sepi. Tidak ada seorang pun yang membantunya. Akhirnya, ia bisa bernafas lega setelah beberapa saat kemudian.
“Ya sudah kalau begitu. Namun, kamu harus bisa menjaga dirimu sendiri dan mengatur waktu,” nasihat dosen itu.
“Baik, Bu,” sahut Lala. Ia terburu-buru pergi sehingga ia secara tidak sengaja menyenggol bahu ibu dosen. Untung, kertas-kertas kerja yang masih dipegangi dosen itu tidak jatuh terlepas dari tangannya dan berhamburan ke mana-mana. Lala merasa malas kalau ia harus membantunya mengambilkan kertas-kertas itu, tetapi ia juga akan merasa bersalah kalau tidak mengambilkan kertas-kertas itu seandainya mereka sampai berjatuhan. Gumamnya sambil mengelus dada, "Syukurlah!"
Di saat lain, dosen perempuan berambut lurus sebahu dan berbibir merah karena dipoles gincu memanggilnya untuk berbicara empat mata segera setelah kelas berakhir. Gaunnya merah seperti gaun Mama. Sejenak, Lala teringat kepada Mama.
“Kamu terlihat sedih yang berlarut-larut. Apakah kamu tidak apa-apa?” tanya dosen cantik itu. Kulitnya putih dan wajahnya sempurna. Ia terlalu muda untuk memiliki otak yang secerdas itu.
"Berapa tahun kuliah yang dihabiskannya sampai ia bisa lulus semuda ini dan menjadi seorang dosen?" pikir Lala.
“Saya tidak apa-apa. Saya sudah biasa begini,” sahut Lala, akhirnya. Ia kembali memfokuskan pikirannya.
“Oh, ya sudah …. Ngomong-ngomong, bajumu cantik,” puji dosen itu, padahal Lala merasa kalah cantik dari dosen itu, begitu juga dengan pakaian yang sedang dikenakannya. Lala menundukkan kepala untuk melihat bajunya sendiri. Sebuah baju batik dengan corak cokelat yang dipilihkan oleh Mama tadi pagi. Sahutnya kepada Ibu Dosen, “Terima kasih. Saya keluar dulu, Bu.”
“Oke,” jawab Bu Dosen.
Lala memutuskan membalas perkataan dosen itu secara singkat dan tidak melanjutkan untuk berbasa-basi. Lala menahan diri walaupun ia suka kepada dosen itu. Lala tidak ingin rahasianya terbongkar.
Namun demikian, Lala tidak jarang ditemukan tertidur di bangku-bangku beton yang menghiasi kampus ketika waktu kosong setelah kuliah yang satu menuju ke kuliah berikutnya. Seorang dosen laki-laki berambut keriting dan berkacamata membangunkan Lala dengan suaranya yang keras, tanpa menyentuh tubuh Lala sedikit pun. Ocehnya, “Apakah kamu tidak apa-apa? Apakah kamu sakit? Mengapa kamu tertidur di sini?”
“Saya tidak apa-apa,” sahut Lala. Ia merasa bahwa dosen itu mengganggu saja. Ia tahu bahwa seorang guru atau dosen harus dilatih untuk bersuara keras agar seluruh kelas mendengar dari sebuah mata kuliah yang diikutinya. Lala yang suaranya pelan sering ditegur dan disuruh mengulang-ulang perkataannya sampai seluruh kelas mendengar saat mata kuliah mengajar. Ia pun menuju ke pos kesehatan untuk melanjutkan tidur di sana.
Lala masih mempunyai keanehan yang lain lagi.
Pada suatu kuliah sore, kertas-kertas kuis yang kemarin, dibagikan, dan Lala mendapat nilai A. Ia sama sekali tidak menduganya karena selama ini, ia merasa bodoh.
Namun, dosen yang sudah sepuh itu memberikan kuis lagi. Serta merta, Lala merasa putus asa karena terdapat bacaan yang panjang dengan beberapa pertanyaan di bawahnya. Ia takut nilainya tak lagi A sehingga mengotori nilai sebelumnya. Ia memegangi kepalanya dan mengeluh sakit kepada dosen. Tanpa diduga, dosen itu merangkulnya dan mengajaknya ke ruang dosen untuk beristirahat. Lalu, dosen itu meninggalkannya seorang diri.
Lala menelungkupkan kepala di meja kayu cokelat dosen itu. Ia tergeragap ketika bel berdering. Ia keluar dari ruangan itu dan melangkah malas ke tempat bus biasa berhenti.
Lala berusaha menahan diri dan air liur yang hendak menetes dari mulutnya dengan cara menelannya. Itu karena ia melewati kedai-kedai makanan yang mengeluarkan bau harum dan berjajar di sepanjang jalan yang menuju ke halte bus.
Lala harus mengirit karena ia masih seorang mahasiswi yang tidak mempunyai gaji sendiri. Ia tidak enak meminta uang kepada Mama Papa. Walaupun mereka adalah orang tuanya, ia tetap saja merasa seperti pengemis. Ia melangkah cepat-cepat dan langsung naik bus pertama yang lewat setelah ia sampai di tempat pemberhentian bus.
Satu lagi keanehan Lala.
Ada kalanya, mata kuliah-mata kuliah yang harus Lala ikuti terasa berat dan memenuhi rongga otaknya sampai meluap-luap. Ia merasa putus asa. Ia maju ke depan kelas. Katanya kepada dosen, “Saya mau drop out.”
Entah mengapa, Lala berkata seperti itu. Padahal, tujuannya semula adalah menyembunyikan rahasianya agar ia tidak dikeluarkan.
Dosen itu mengantarkannya ke ruang dosen untuk beristirahat dan meninggalkannya untuk melanjutkan mengajar. Dosen-dosen lain yang berada di ruangan itu pun serta merta mengerubunginya. Kata dosen perempuan yang berambut cepak dan berkacamata, “Tidak bijaksana kalau memutuskan untuk drop out. Kamu harus berjuang terlebih dahulu sebelum berputus asa.”
Maka, dosen-dosen itu menumpangkan tangan di atas kepala Lala dan mendoakannya, dilanjutkan dengan Doa Bapa Kami, “Bapa kami yang ada di Sorga, dimuliakanlah namaMu, datanglah KerajaanMu, di bumi seperti di dalam Sorga, berilah kami rejeki pada hari ini, ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami, dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskan kami dari yang jahat. Amin.”
Lala mulai merasa tenang. Ia pun melanjutkan kuliahnya meskipun dengan tertatih-tatih. Ketika semester ini berakhir, ia berhasil mendapatkan IPK 2,7 dengan hanya satu nilai D di mata kuliah Pronunciation yang merupakan mata kuliah tentang bagaimana cara mengucapkan kata dan kalimat Bahasa Inggris yang benar berikut intonasinya.
Entah mengapa, Lala gagal sampai tiga kali. Mungkinkah, itu karena lidahnya yang tidak fasih berbahasa Inggris? Ia pun harus mengulang di tiga semester yang berbeda. Ia beruntung karena pada akhirnya, seorang teman wanita berkacamata, berambut ikal yang diekor kuda, menawarinya untuk belajar pronunciation bersama dengannya. Berkat temannya, yang lantas menjadi sahabatnya itu, kali ini Lala lulus di mata kuliah Pronunciation.