Bab 38 – Harapan
---
Pagi itu, langit tidak terlalu cerah. Tapi juga tidak mendung. Cukup. Seperti perasaanku hari ini.
Aku membuka jendela kamar, membiarkan angin menyapa wajahku. Rasanya ringan. Bukan karena beban sudah hilang. Tapi karena hari ini, aku tidak lagi sendirian menanggung semuanya.
Aku turun ke dapur, menyeduh tehnya sendiri. Zea tidak mengambil alih. Rinka diam. Rana hanya menyapa sebentar. Raveena memberi isyarat untuk berani melangkah. Mereka ada, tapi kali ini... mereka membiarkanku mengambil kendali.
"Selamat pagi, Rika," bisikku ke cermin. Kalimat sederhana. Tapi aku belum pernah mengutarakan pada diri sendiri selama ini.
Aku tahu, perjalanan ini masih panjang. Akan ada hari di mana aku jatuh lagi. Akan ada momen di mana aku ingin lari. Tapi hari ini, aku punya harapan.
Bukan karena semua baik-baik saja. Tapi karena aku mulai bisa berdamai dengan bagian-bagian diriku yang dulu kusalahkan.
Karena aku mulai percaya: mungkin, aku memang bisa utuh kembali. Atau setidaknya... hidup berdampingan tanpa saling menyakiti.
Hari ini, aku tidak sempurna. Tapi aku cukup.
Aku adalah Rika Wijaya. Dan hari ini, aku memilih untuk tetap hidup.
———
Taman ini tidak pernah berubah sejak tujuh belas tahun lalu, sejak aku pertama kali membuka mata ke dunia. Masih dengan jalur berbatu, bangku kayu yang mulai usang, dan pohon-pohon tua yang berdiri tenang seperti penjaga waktu. Semuanya terasa seperti bagian dari ingatan yang tak pernah pudar.
Aku duduk di salah satu bangku, sendiri. Udara sore ini sejuk, angin semilir menyapu pelan rambut panjangku yang terurai. Helaian-helaian halus itu menari dengan lembut mengikuti arah angin. Langit di atas terbentang luas, biru pucat dengan awan tipis mengambang perlahan.
"Meong~" Suara itu menyela keheningan. Aku menoleh. Seekor kucing kecil muncul dari balik semak, berjalan pelan dengan ekor terangkat tinggi. Langkahnya ringan, penuh percaya diri seolah dunia memang diciptakan untuknya.
"Wah... hai, Pus. Sini, sini." Aku menampar pahaku pelan, memberi isyarat.
Tanpa ragu, kucing itu melompat ke pangkuanku dan langsung melingkar dengan nyaman. Bulu-bulunya lembut, putih bersih dengan bercak oranye yang hangat di bawah cahaya matahari. Saat menyentuh kepalanya, ia mengeong pelan, menundul-nyundul seolah tak mau aku berhenti.
Aku tersenyum. Mengusap lembut kepalanya, mengulasnya, lalu punggungnya. Ia mendengkur pelan.
“Grrr…” Suara dengkuran kecilnya menenangkan, seperti pelukan yang diam-diam menguatkan. Kucing itu merebahkan diri, menatap dengan mata jernih yang anehnya... membuat merasa dilihat, benar-benar dilihat. Saat ia menampilkan tubuh, menampilkannya, aku tahu ia percaya padaku.
Dengan hati-hati, aku mendiami labirin yang lembut, dan dia tetap bergelung manja di pangkuanku. Sepertinya sedang berkata, "Kamu gak sendiri, Rika."
---
> “Wah!! Kucingnya imut banget, kayak aku, ya kan??”
Suara Rana muncul begitu saja di dalam kepalaku, riang dan penuh percaya diri seperti biasa. Kucing di pangkuanku kini duduk dengan pose roti—tubuhnya menggelinding sempurna, kaki tersembunyi di bawah perut, matanya terpejam damai.
Aku tersenyum, jemariku mengusap lembut bulunya yang tebal dan bersih. Ia mendengkur pelan, suara khas yang menenangkan, seperti lagu nina bobo dalam versi paling sederhana.
“Iya, kucingnya imut… tapi gak kayak kamu, Rana,” sahutku santai.
Di dalam pikiranku, Rana langsung terlintas—kasar tapi lucu.
> "Wah, kamu ini! Ck, aku serius. Kucing itu tuh imut banget, dan mirip sama aku!"
Nada suaranya agak kesal, tapi tetap dengan nada main-main yang khas Rana.
Aku terkekeh, tidak membalas. Hanya terus memijat si kucing yang kini mulai meremas-remas rokku dengan cakarnya—lembut, tidak menyakitkan, malah terasa geli.
“Hm… iya iya, nanah. Sayang,” bisikku sambil tertawa pelan.
Ia mengeong kecil, lalu kembali mendengkur. Rana dalam pikiranku masih berceloteh, tapi suaranya makin lama makin pelan, seperti perlahan menyatu dengan angin sore yang menari di sela pepohonan taman.
Aku tidak sadar waktu berjalan cepat. Matahari mulai miring, mengintip malu dari balik dedaunan. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda menghampiri, dia panik sekaligus lega.
"Oh! Itu kucingku! Astaga, aku mencarinya dari tadi," katanya bergegas-buru.
Aku mengangguk dan perlahan mengangkat si kucing dari pangkuanku. Ia sempat mengeong protes, namun tetap tenang di pelukan pemiliknya. Kami bertukar senyum. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan aku membalas dengan anggukan ringan. Tidak lama, kami berjalan pulang ke arah rumah masing-masing.
Aku sempat menoleh ke belakang—si kucing masih memandang dari belakang bahu pemiliknya. Matanya tenang, seolah berkata: “Sampai jumpa, Rika.” Dan Rana? Dia hanya mencium kecil di dalam kepalaku,
> “Aku tetap lebih imut, sih.”
---
Rumah. Pulang. Dan Kamar.
Tiga kata itu terasa asing, tapi kali ini… hangat.
Aku duduk di meja belajar. Meletakkan kepalaku sebentar di atas lengan. Hari ini aku tidak mendengar suara Zea. Tapi bukan karena aku takut. Hanya… rindu.
Aku buku membuka catatanku. Menulis sesuatu yang sederhana. Tapi penting.
> "Zea, kamu masih di sana? Aku nggak mau menekanmu. Aku cuma... pengen kenal. Aku pengen tahu siapa kalian. Siapa aku. Kita. Karena aku sadar… aku gak pernah benar-benar sendiri."
Tanganku gemetar pelan saat menulis itu. Tapi rasanya... benar. Lalu, dengingan itu datang. Cepat. Sunyi. Gelap.
---
Ketika aku kembali sadar, halaman demi halaman sudah penuh tulisan. Tulisan tangan besar, agak sempit, khas Zea. Dan di tulisan akhir:
> “Kami menyiapkan sesuatu. Coba buka lemari bukumu, yang paling bawah.”
Kakiku melangkah pelan. Dan di sana...
Sebuah bungkusan kecil berwarna merah. Sudah agak berdebu. Di dalamnya: sebuah buku bersapul biru, sedikit kusut. Di atasnya tertulis:
"Rika Wijaya & Altermu."
Saya membukanya.
Halaman pertama, tulisan Zea:
> “Kalau kamu membaca ini, berarti kamu sudah siap. Siap menerima semua sisi dirimu—yang terang maupun yang gelap. Terima kasih… karena sudah bertahan sejauh ini. Karena masih di sini."
> “Maaf kalau kadang kami mengira bingung. Tapi percayalah, kami muncul karena kamu pernah terluka. Dan kami... cuma ingin kamu selamat.”
Aku menutup buku itu. Memeluknya erat. Mungkin aku belum benar-benar pulih. Mungkin proses ini masih panjang.
Tapi untuk pertama kalinya… aku tidak takut jalanin hidup dengan mereka semua di dalam diriku. Karena aku mulai mengerti.
Bahwa mencintai diri sendiri… berarti mencintai seluruh bagian dariku. Bahkan yang rapuh, yang retak, yang sempat kusembunyikan.
Dan hari ini— Aku memilih untuk berdamai.
Dengan diri. Dengan luka. Dengan masa lalu.
Dengan kami.
Rika Wijaya dan Alternya akan selalu bersama, tak peduli badai apa pun. Karena Alter bukan hanya teman—mereka adalah bagian dari jiwa satu tubuh, yang tak akan pernah terpisah. Dan mungkin, ini bukan akhir. Tapi titik diam sebelum bab baru ditulis ulang oleh Rika yang lebih utuh.
- SAMA -