Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 37 - Rika Wijaya

---

 

Hai. Kenalin lagi, aku Rika Wijaya.

Aku lahir di keluarga yang berkecukupan. Papa kandungku meninggal saat aku berusia enam tahun—usia ketika anak-anak mulai mengenal dan memahami arti rumah. Tapi aku kehilangan itu terlalu cepat.

Kecelakaan beruntun. Itu kata orang-orang. Tapi yang aku ingat cuma infus di tangannya, dan tatapan terakhir Papa yang gak pernah kembali. Sejak itu, semuanya kabur. Termasuk aku.

Aku pernah percaya Papa pergi karena aku nggak cukup baik. Aku sering bertanya ke Mama—yang kini kupanggil Ibu. Tapi mungkin ia juga kelelahan. Semakin lama, ia mulai berubah: dingin, mudah marah, seperti menyimpan sesuatu yang nggak pernah mau ia ceritakan.

Tiga bulan setelah Papa meninggal, Ibu menikah lagi. Ayah tiriku baik, bahkan sangat menyayangiku. Tapi sikap Ibu tak pernah kembali seperti dulu. Dan dari situlah, semuanya mulai pecah.

Aku belajar jadi anak baik, terlalu baik. Selalu bilang "iya", bahkan saat hatiku nolak. Aku takut ditinggal. Takut dianggap beban. Takut kehilangan, lagi.

Padahal dulu aku berani. Tegas. Nggak takut sendirian. Karena waktu itu aku masih percaya—aku punya Papa dan Ibu. Tapi luka lama tetap menang.

“Rika, kamu sudah siap?” Suara Ibu terdengar dari ambang pintu. Aku menoleh dan mengangguk pelan.

“Sudah, Bu.”

“Iya. Yuk, Ayah, Reza, dan Raka sudah nunggu di mobil.” Aku menarik napas. Kupungut tas kecil di kasur, lalu melangkah keluar kamar.

Menuju garasi. Menuju sesuatu yang baru, mungkin.

 

---

 

Pohon-pohon rindang terlihat rapi. Mobil kami terus melaju. Aku duduk di pinggir kanan, Raka dan Reza di sampingku. Tapi mataku hanya menatap jalan.

“Rika, kamu yakin? Kalau belum siap, kita bisa tunda,” tanya Ibu dari depan.

Aku menoleh, tersenyum tipis. “Aku siap kok, Bu. Udah lama juga nggak ke sana.”

Ibu masih tampak khawatir, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau nggak enak badan, bilang ya?” Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Dua jam berlalu.

Kami sampai di pemakaman. Rasanya berat. Enam tahun kenangan bersama Papa hanya tersisa dalam ingatan.

Aku menarik napas dalam. Kami berjalan pelan. Ibu kini menggenggam tanganku. Raka dan Reza ikut di belakang.

“Nak…” Ibu menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku tahu, ia juga menahan tangis.

“Udah lama, ya, kita nggak ke sini,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Tak sanggup bicara.

Kami tiba di makam Papa. Aku duduk di kursi batu. Raka dan Reza berdiri di seberang. Ayah—meski bukan Papa kandung—ikut berdoa bersama kami.

Aku menunduk. Mulutku kelu. Mataku panas. Suara-suara di kepala mengecil, seperti ikut diam bersama doa.

Ibu tiba-tiba memelukku. Tangisnya pecah. Pelukannya hangat, tapi asing. Seperti pelukan yang lama hilang.

Sebelum pulang, aku berdiri di samping makam. Meletakkan setangkai mawar putih di pot batu yang masih awet.

“Papa… aku pamit, ya. Aku janji bakal ke sini lagi. Aku juga udah mulai belajar nerima... kalau aku memang punya alter.”

“Semoga Papa tenang. Terima kasih… atas segalanya.”

Aku menyusul yang lain, meninggalkan makam itu. Tapi aku tahu, Papa nggak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal, di dalam hati. Selalu.

 

---

 

“Rika!! Hey! Aku udah nggak sabar nunggu acara ketulusan kita nanti! Enam bulan lagi, kan?!” seru Sarah dengan volume dua level di atas normal, sambil setengah lari nyamperin aku yang baru naruh buku di meja.

Aku cuma nyengir kecil, nggak sepenuhnya fokus. “Iya, Sar. Tapi itu masih lama,” jawabku, suara sedikit pelan.

Sarah nyengir lebih lebar, kayak anak kecil baru dikasih es krim dua rasa. “Tetep aja! Aku penasaran banget sama orang tuanya Jeno. Kali aja bisa kenalan, hehe.”

Aku otomatis menaikkan sebelah alis, refleks. “Oh, jadi sekarang udah ngaku suka sama Jeno, ya? Sampai mau kenal sama ortunya segala?”

Seketika, pipi Sarah berubah kayak buah naga. “Nggak gitu, Ri! Maksudku... aku kan udah kenal ortu kamu, Vio, Samudra, Rendra... tinggal Jeno doang!”

Aku nggak bisa nahan ketawa. “Ya kan kamu yang bilang, bukan aku.”

Sarah melempar tatapan sinis yang gagal total karena senyumnya nggak ilang juga. Gengsi banget. Tapi ya... aku tahu. Dari dulu.

Tanganku bergerak merapikan buku catatan. Tapi mataku... ngelirik tanpa sadar ke arah yang satu itu.

Samudra.

Dia lagi berdiri di depan papan, ngerjain soal Matematika yang kayaknya nggak semua orang bisa ngerti. Matanya fokus. Alisnya sedikit berkerut. Tangannya luwes tapi pasti. Kayak dia tahu persis apa yang harus ditulis, dan kenapa itu penting.

Aku menatap lebih lama dari yang seharusnya. Lalu dia noleh. Mata kami bertemu. Beberapa detik. Terlalu lama buat disebut kebetulan.

Dan dia senyum. Senyum yang pelan, nggak buru-buru, kayak dia lagi ngucapin “halo” tanpa suara. Senyum yang selalu bikin aku pengen lari, tapi juga pengen diam di tempat selamanya.

Aku langsung buang muka. Panas. Malu. Deg-degan. Semua bersatu kayak kompilasi emosi yang susah diurai.

Dasar Samudra.

 

 

Bel istirahat udah lama bunyi. Tapi aku masih duduk di tangga belakang gedung tua fakultas, tempat yang jarang dipake kecuali buat nyari ketenangan. Sarah entah ke mana, mungkin lagi sibuk nulis nama belakang bareng Jeno.

Aku duduk sambil ngeliatin tangan sendiri. Nggak tahu kenapa, tapi hari ini terasa aneh. Bukan buruk. Tapi... penuh.

Ada sesuatu yang kayak pengen keluar. Sesuatu yang udah lama aku simpan, bahkan mungkin aku lupa cara ngomonginnya.

Aku buka ponsel. Layar menyala. Foto terakhir yang aku ambil: makam Papa. Setangkai mawar putih di atas batu. Dan pelukan Ibu, yang terasa canggung tapi... nyata.

Aku menarik napas pelan, lalu buka aplikasi notes. Nulis. Lagi-lagi nulis. Mungkin cuma itu cara paling jujur aku bicara.

 Hari ini aku mikir: kenapa dulu aku selalu bilang "iya", bahkan saat hatiku bilang "nggak"?

Mungkin karena aku takut kehilangan. Takut dikira salah. Takut dimarahin. Takut dianggap aneh, rusak, lemah.

Tapi nyatanya... aku emang aneh. Aku emang pecah. Aku emang nggak utuh. Dan itu nggak apa-apa.

Zea, Rinka, Rana, Raveena. Mereka bukan musuh. Bukan gangguan. Bukan penjara. Mereka versi aku yang selamat waktu aku nggak kuat.

Hari ini aku ngerti satu hal: menerima diri sendiri itu bukan cuma soal belajar suka sama apa yang kita lihat di kaca. Tapi juga berdamai sama bagian dalam yang retak.

Dan... mungkin itu cukup. Buat sekarang.

Aku nutup ponsel. Dan entah kenapa, air mataku netes pelan. Nggak banyak. Tapi jujur. Murni. Kayak lepasin sesuatu yang selama ini aku pegangin terlalu erat.

Tiba-tiba, suara langkah pelan datang dari belakang. Aku noleh. Samudra.

Dia duduk di sampingku tanpa banyak tanya. Bawa dua botol teh kotak dan dua gorengan dalam plastik kecil. Klasik banget.

“Capek nulis?” tanyanya pelan, matanya lurus ke depan, bukan ke aku.

Aku cuma nyengir kecil. “Capek mikir.” Dia nyodorin teh kotaknya. Aku ambil. Minum. Diam sebentar.

“Tau nggak,” ujarnya, “kadang yang paling susah itu bukan nemuin siapa diri kita. Tapi berani nerima jawaban yang kita temuin.”

Aku menoleh. Dan kali ini, aku nggak buang muka. Mataku tetap di dia. Dan dia tetap di aku.

Aku nggak jawab apa-apa. Karena kadang... diam juga bisa jadi bentuk paling jujur dari rasa syukur.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, aku merasa... utuh. Meski belum sepenuhnya sembuh.

 

---

 

Kini, perlahan aku belajar mengelola emosiku sendiri. Belajar untuk tidak terus menjadi ‘si paling nggak enakan’. Belajar untuk berani bicara—soal pendapat, soal perasaan, tanpa takut ditinggalkan.

Karena akhirnya aku sadar: aku tidak pernah benar-benar sendiri. Mereka ada. Mereka bagian dariku.

Yang tertinggal dariku dulu bukan orang lain—tapi aku sendiri.

Keberanian itu dulu milikku. Ketegasan, rasa percaya diri, semua itu pecah... lalu hidup sebagai alter.

Kini, aku tahu: meski kami terpisah, kami tetap satu. Dengan bentuk dan kesadaran yang berbeda.

Dan meski aku masih sering bingung, bertanya siapa aku, merasa kosong, atau merasa asing dalam tubuh sendiri—aku tetap bisa berjalan sejauh ini, karena mereka.

Aku, Rika Wijaya. Aku hidup dengan DID.

Aku pernah takut jadi diriku sendiri. Tapi sekarang, aku memilih untuk kenal... dan tinggal.

Di tubuh ini. Di cerita ini. Di hidup ini.

Aku, Rika. Dan aku tidak sendirian.

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perjalanan yang Takkan Usai
396      319     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
225      188     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Da Capo al Fine
342      280     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
254      168     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Kacamata Monita
1275      565     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Lepas SKS
184      159     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
40 Hari Terakhir
826      548     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Heavenly Project
591      401     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...