Bab 29 - Rinka : Tertunda
TW: Bab ini memuat konten sensitif yang berkaitan dengan gangguan kepribadian, trauma masa kecil, dan kondisi emosional yang intens. Bacalah dengan kesadaran penuh dan self-care, ya.
---
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi hari itu. Setelah beberapa kali berbicara, kepalaku terasa berat. Pusing. Pandanganku mengabur—dan setelah itu, gelap. Aku tidak ingat apa pun.
Tiba-tiba, aku sudah selesai sesi dengan Bu Luna. Wajahnya terlihat sedikit tegang ketika aku sadar. Aku masih merasa pusing, dan pikiranku kosong.
Setelahnya, aku hanya ingat pulang bersama Ibu.
Lima hari berlalu. Hari ini, aku kembali kontrol ke Bu Luna. Seperti biasa, Ibu menemaniku. Katanya, ia akan terus bersamaku... sampai aku pulih.
Memang, Ibu sudah banyak berubah sekarang. Ia lebih memperhatikanku. Bahkan Raka... entah kenapa, ia tak lagi menggangguku. Aku pun tak terlalu ingat kapan terakhir kali kami berselisih.
Kami sampai di depan ruang konseling. Aku membuka pintu dan masuk, Ibu duduk di sampingku. Setelah kami duduk dan pintu tertutup, Bu Luna menyapa lebih dulu.
"Halo, Rika. Apa kabar hari ini?"
"Nggak ada yang aneh belakangan ini?" tanyanya dengan nada lembut. Aku menggeleng pelan. Rasanya tidak.
Bu Luna tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Itu pertanda baik. Sekarang, kalau kamu tidak keberatan, saya ingin membicarakan sesuatu yang penting. Ini soal hasil observasi dari beberapa sesi terakhir kita."
Aku langsung menegakkan badan. Ada perasaan tak nyaman, tapi juga ingin tahu. Sebenarnya, apa yang terjadi denganku?
"Tapi sebelumnya," lanjut Bu Luna, nada bicaranya lebih pelan dan hati-hati, "saya ingin pastikan dulu... kamu merasa cukup stabil hari ini? Cukup tenang untuk mendengarkan hal yang mungkin berat?"
Aku menatapnya. Diam. Sekilas menoleh ke Ibu yang menggenggam tanganku dengan erat. Tatapannya cemas. Aku tarik napas. Dalam.
Tapi sebelum aku sempat menjawab—
Kepalaku terasa berat, dan dalam sekejap... semuanya kabur.
Tidak... Tolong...
Jangan sekarang...
---
Aku menatap Bu Luna sambil menarik sudut bibir sedikit.
“Jadi ini ya... penyebab kenapa Zea dan Altera merasa tertekan belakangan ini? Sampai hampir menciptakan kekacauan?” tanyaku datar, tapi tenang.
Bu Luna terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Matanya menelisik, lembut namun waspada.
“Halo... sepertinya kamu bukan Rika, ya?” katanya hati-hati. “Boleh tahu siapa yang sedang hadir saat ini?”
Aku membalasnya dengan anggukan kecil. “Rinka. Panggil saja itu. Aku alter yang paling muda, muncul baru beberapa bulan lalu. Biasanya aku yang datang kalau keadaan mulai ribut—terutama kalau Zea mengambil alih.”
Bu Luna mengangguk, lalu mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Jadi kamu yang paling muda, tapi juga yang paling tenang?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
“Kurang lebih begitu,” sahutku singkat.
“Terima kasih, Rinka. Ini menarik buatku, karena baru kali ini aku bisa berbincang langsung dengan kamu,” ucapnya jujur. Tatapannya memang terlihat antusias. Tapi aku? Tidak terlalu peduli.
“Langsung ke intinya saja, Bu Luna. Aku tidak suka basa-basi. Aku muncul hanya ketika Rika mulai kehilangan arah sebagai orang dewasa.”
Bu Luna tetap tenang. “Baik. Aku menghargai itu. Terima kasih sudah bersedia bicara denganku hari ini. Boleh aku tanya sesuatu?” Aku menatapnya datar, tidak menjawab. Diamku adalah tanda ‘lanjutkan saja’.
“Apa yang membuatmu merasa harus melindungi Rika selama ini?” Aku sempat mengernyit. Pertanyaan itu bisa jadi jebakan. Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh—
“Hati-hati. Dia hanya ingin mengorek informasi darimu.” Suara Zea bergema di kepalaku. Pelan tapi penuh tekanan.
Aku menggeleng kecil. Zea memang selalu begitu. Terlalu waspada. Terlalu marah.
“Mungkin aku tidak tahu semua alasannya,” kataku pelan. “Karena sebagian besar ingatan itu... ada di Zea. Dia tidak pernah membagi semua pada kami. Bahkan padaku.”
“Yang aku tahu, Zea menyimpan sebagian besar luka masa kecil Rika. Rasa sakit saat dimarahi terus-menerus oleh ibu kandungnya. Rasa bersalah karena merasa ayahnya pergi karena dirinya.”
“Itulah titik awal kemunculan Zea. Dia muncul untuk jadi pelindung. Saat Rika takut, marah, bingung—Zea yang ambil alih. Awalnya hanya untuk menyalurkan emosi. Tapi lama-lama, dia menjadi tameng utama. Walaupun... caranya memang keras. Agresif. Tapi niatnya tetap sama: melindungi.” Bu Luna menyimak dengan seksama. Setelah jeda sejenak, ia kembali bicara.
“Terima kasih sudah berbagi, Rinka. Apa kamu masih bersedia menjawab satu atau dua pertanyaan lagi?” Aku menghela napas. “Empat pertanyaan. Tidak lebih.”
Bu Luna mengangguk sambil tersenyum kecil. “Baik. Pertama... kapan kamu merasa perlu muncul menggantikan Rika?” Aku menatap lurus ke matanya. Duduk tegak. Tegas.
“Saat dia mulai goyah. Bingung ambil keputusan. Overthinking. Atau saat dia mulai sadar kalau hidupnya... tidak lagi sendiri. Kadang aku hanya membisikkan sesuatu di kepalanya, kadang aku ambil alih.”
---
"Apa yang sebenarnya terjadi waktu itu, Rinka? Di sini kamu aman. Kami ingin memahami, bukan menghakimi. Kamu boleh ceritakan hal-hal yang belum sempat kamu sampaikan sebelumnya," ucap Bu Luna lembut. Suaranya tenang, tapi aku tetap menunduk. Diam.
"HENTIKAN. Kau tidak akan menceritakan apa pun lagi padanya, Rinka! Kau sudah berjanji. Itu alasan kenapa aku mengizinkanmu mengambil alih Rika!"
Zea berteriak dalam pikiranku. Aku menahan napas. Walau aku disebut sebagai yang paling dewasa, bukan berarti aku yang paling kuat. Untuk mengambil alih tubuh Rika, aku harus bekerja keras—meyakinkan Zea, membuatnya percaya bahwa aku bisa mengendalikan keadaan.
“Alter Rika tidak hanya aku, Zea, atau Altera,” kataku, pelan tapi tegas. “Ada yang lain, meski tidak selalu muncul seintens kami. Tapi mereka cukup kuat untuk mengambil alih jika dibutuhkan: Rana, Rasa, Riskau, dan Raveena.”
Aku menarik napas perlahan. Menyusun kalimat. Membiarkan Bu Luna mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Rana biasanya muncul saat Rika sedang benar-benar bahagia. Saat ia merasa dunia baik-baik saja, penuh harapan. Tapi Rana sering terlalu optimis... sampai-sampai mengabaikan realitas.”
“Rasa adalah alter yang... cukup ekstrem. Dia sering dilarang muncul oleh Zea karena bisa membahayakan Rika secara fisik. Rasa muncul ketika putus asa menyelimuti Rika, saat ia merasa tak berharga, dan Rasa akan menyalurkan perasaan itu menjadi... dorongan untuk menyakiti diri sendiri.”
Aku menatap Bu Luna sejenak. Matanya tetap tenang, mendengarkan dengan fokus.
“Riskau hampir mirip, tapi berbeda. Ia tak langsung mendorong tindakan. Ia membisikkan kalimat-kalimat yang menghancurkan—membuat Rika overthinking, merasa hancur perlahan. Dan saat Rika sudah rapuh, barulah Rasa mengambil alih.”
“Duo menyebalkan, menurutku. Riskau menghancurkan dari dalam, lalu Rasa yang menyelesaikan.” Aku meneguk ludah.
“Raveena... dia muncul saat Rika penasaran. Saat dia merasa harus fokus, ingin mendalami sesuatu. Raveena cerdas, ambisius, percaya diri. Mungkin agak mirip Zea, tapi dia tidak agresif. Raveena lebih logis, bisa berdialog tanpa merendahkan.”
Bu Luna mencatat sesuatu. Aku tahu. Dan jujur, itu sedikit mengganggu. Benar kata Zea, kadang menyebalkan melihat semuanya dicatat begitu... seperti kami ini makhluk yang harus dipetakan.
Ibu Rika, yang duduk di sisi, terdiam. Wajahnya terlihat bingung... atau syok.
Aku menoleh padanya, lalu berkata pelan, “Halo, Bu. Mungkin Anda pikir ini semua cuma akal-akalan. Tapi saya nyata. Saya bagian dari Rika. Bukan khayalan, bukan ilusi. Dan... semua ini mungkin terbentuk karena luka yang Rika alami saat kecil.”
Ibunya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku tidak terlalu peduli. Ya, meski disebut ‘alter dewasa’, aku tetap punya batas sabar. Terutama pada mereka yang menyakiti Rika. Aku bukan Zea yang meledak-ledak. Tapi aku pun tidak memaafkan semudah itu.
“Kamu... sepertinya memang alter yang paling dewasa,” kata Bu Luna dengan nada pelan. “Aku bisa bayangkan bagaimana beratnya jadi kamu. Tapi terima kasih, Rinka. Aku mendengarkanmu. Tanpa prasangka, tanpa penghakiman.”
Aku mengangguk. Tanggapan itu... cukup melegakan. Tapi tidak sepenuhnya.
“Masih ada pertanyaan lain?” tanyaku, agak datar. Bu Luna diam sejenak.
Deg.
Sial. Aku merasa sesuatu mulai bergeser.
“Berani-beraninya kau menceritakan semua ini! Kau pikir mereka bisa dipercaya?! Kau pikir mereka akan benar-benar membantu kita?!”
Suara Zea kembali bergema dalam benakku. Lebih keras, lebih marah. Aku memegang kepala. Napasku mulai memburu. Pandanganku kabur. Suara denging bergemuruh kencang. Tubuhku mulai gemetar.
***
“DASAR MENYUSAHKAN! Kau pikir siapa dirimu, Luna?! Hanya karena kau psikolog, kau kira bisa mengorek semua hal dari ‘kami’ semudah itu?!” Aku menggeram tajam, mataku menatap penuh amarah ke arah perempuan itu. Rahangku mengeras. Aku sedang tidak main-main.
Dan Rinka... Si pengecut itu berani-beraninya diam-diam membuka semua ini tanpa izinku? Sok-sokan jadi pahlawan hanya karena dia bisa sedikit lebih tenang dari alter yang lain?
Bu Luna menghentikan catatannya. Tatapannya masih sama: lembut, tenang, tak bergeming meski aku hampir menerkamnya. Lalu, ia tersenyum kecil.
“Lama tak berjumpa, Zea. Kukira kau takkan muncul lagi.” Tch. Aku mendecak malas. Tatapanku segera beralih ke perempuan di sebelah Luna. Ibu Rika.
Dan seketika itu pula amarahku membuncah.
“KAU!!” Bentakku tajam. Perempuan itu sontak mundur. Bu Luna langsung berdiri ketika aku ikut bangkit. Tapi aku tak peduli.
“Kau tahu siapa aku?! Aku adalah alter pertama Rika. Aku yang muncul saat tak ada satu pun yang peduli. Aku yang melindunginya, saat kau—IBUNYA SENDIRI—bahkan tak melihatnya!”
“Kau kira dia baik-baik saja setelah kehilangan ayahnya? Dia masih anak-anak saat itu! Masih bingung, masih takut! Tapi apa yang kau lakukan?! Kau malah menambah lukanya. Dengan teriakan, makian, dan amarah yang tak pernah ia mengerti!”
Mataku memanas. Tapi tidak, aku tidak akan menangis. Air mata hanya membuatku terlihat lemah. Aku harus tetap kuat. Aku harus. Tanganku terangkat sedikit, dorongan untuk melampiaskan sakit ini hampir tak terbendung. Tapi…
“Zea... Cukup,” Itu suara Rinka. Lembut tapi tegas, menyeruak dari dalam kesadaranku.
“Kita nggak bisa terus begini. Rika butuh hidupnya sendiri. Ingatan aslinya, hidup yang utuh. Kalau terus kita ambil alih, Rika akan kesulitan mengenali dirinya sendiri...”
Tubuhku gemetar. Nafasku berat. Tangan yang semula terangkat kini perlahan turun. Aku mengusap mataku yang mulai basah.
“Aku lelah.” Dua kata itu keluar begitu saja. Jujur. Tanpa topeng. Bu Luna tetap diam, memberi ruang. Ibu Rika hanya menangis dalam senyap, menjaga jarak.
Bu Luna lalu duduk perlahan, menatapku dengan lembut.
“Kamu boleh bercerita padaku, Zea. Aku gak akan memaksa. Gak akan menilai. Aku hanya ingin kamu tahu, aku percaya padamu. Dan apa pun yang kamu bagi di ruangan ini… akan tetap aman.” Aku menunduk. Masih belum bisa menatapnya.
Dari mana aku harus mulai? Luka-luka itu, memori yang berserakan, semua terlalu menyakitkan. Tapi aku lahir sebagai mekanisme bertahan. Aku hadir agar Rika tetap hidup, tetap utuh.
“Bagaimana... aku harus memulainya?” Suaraku pelan.
“Semuanya... menyakitkan.” Luna mengangguk pelan.
“Itu sudah cukup, Zea. Terima kasih… karena sudah berani bicara sejauh ini. Aku tahu itu gak mudah.”
Hening sejenak.
“Kamu nggak harus cerita semuanya sekarang. Tapi kalau suatu saat kamu siap, aku di sini. Dan kamu boleh mulai dari bagian yang paling ringan... atau dari sudut pandangmu sendiri. Sesedikit atau sebanyak yang kamu mau.”
Aku menghela napas. Mencoba memilah. Yang paling ringan, ya? Tapi semua terasa berat. Walau aku tahu... di luar sana, banyak juga yang mungkin menyimpan luka lebih parah dari ‘kami’.
Aku menarik napas dalam.
“Aku...” Tapi kalimat itu terhenti.
Seperti menguliti luka yang belum sembuh. Dan semuanya... kembali hening.
[Bersambung]