Bab 30 - Kan Selalu Ada
[Peringatan Pemicu]
Bab ini berisi percakapan tentang trauma masa kecil dan kondisi kesehatan mental (DID).
Jika kamu berada dalam kondisi rentan, mohon baca dengan hati-hati. Peluk dari jauh untuk kamu yang sedang bertahan.
---
Hari ini aku kembali masuk sekolah, seperti biasa. Tapi tidak benar-benar biasa—tidak setelah kemarin. Konsultasi dengan Bu Luna membuka pintu kebenaran yang selama ini tertutup rapat. Aku tahu sekarang, tentang diriku... tentang siapa saja yang hidup di dalamku.
Bu Luna bilang aku tak perlu merasa takut, malu, atau sedih. Tapi tetap saja... semua rasa itu tidak bisa hilang begitu saja. Aku masih malu. Masih takut. Dan sedih. Kalau orang-orang tahu lebih dulu sebelum aku sadar, bagaimana mereka akan melihatku? Bagaimana pandangan mereka?
Kemarin, penjelasan dari Bu Luna sempat tertunda karena... Rinka tiba-tiba muncul. Lalu Zea. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa. Semua hanya serpihan yang kudengar dari Bu Luna—dan dari Ibu, yang menangis dan terus meminta maaf. Katanya, dia bertemu dengan Zea. Baru aku tahu... ternyata Zea adalah alter pertamaku. Yang selama ini menjaga aku sejak kecil. Yang katanya... cukup agresif.
Aku duduk agak jauh dari Sarah. Dia tak menyapa belakangan ini, dan aku tidak tahu kenapa. Jeno, Viona, Rendra—semuanya juga begitu. Tapi Samudra... dia tetap menyapaku seperti biasa. Entah kenapa, ada rasa tenang setiap kali berada di kedamaian.
Bel berbunyi. Guru IPS masuk, menyuruh kami berpasangan untuk tugas menggambar peta dunia. Hatiku mencelos. Aku memandang sekeliling—tak yakin akan ada yang mengajakku.
Tapi kemudian...
“Rika, mau sekelompok sama aku?” Aku mendongak. Sarah berdiri di sampingku. menatapnya masih ragu, seolah takut aku akan menolak. Tangannya sedikit gemetar. Aku langsung menggeser dudukku, menarik tangan agar duduk di sebelahku.
“Ayo,” jawabku pelan. Matanya melebar, berkaca-kaca. Tapi ia tahan air mata itu dengan sangat. “Rika… ini beneran kamu kan?” bisiknya, hanya cukup untuk kudengar.
Aku mengangguk. Tentu saja ini aku. Tapi... jangan-jangan dia bertemu salah satu alterku?
“Ri! Syukurlah!” Pelukannya langsung menyergapku. Hangat. Aku diam sebentar, lalu memeluk balik.
"Hoi! Itu bukan reuni. Waktunya ngerjain tugas!" tegur guru IPS dari depan kelas.
Kami langsung duduk kembali, buru-buru menyusun alat gambar dan kertas tugas. Sarah menggambar garis-garis peta dunia dengan rapi, sementara aku mewarnai dan mencetak negara-negara satu per satu. Tapi pikiranku tak benar-benar tenang.
“Rika…” panggil Sarah lirih. Aku mendongak. Dia tidak melihatnya, tapi aku tahu pikirannya tidak hanya tentang peta itu.
“Kenapa?” tanyaku pelan. Dia diam sejenak. Lalu suaranya keluar, pelan—namun jelas.
“Kamu… punya kepribadian lain?” Pertanyaannya membuat jantungku tercekat.
"Waktu itu... aku ngajak kamu ngobrol, tapi kamu... beda. Cara kamu bicara, caramu menatap. Lalu waktu pulang sekolah, kamu membentakku. Tapi aku tahu itu bukan kamu. Dia bilang namanya... Zea."
Aku membayangkannya. Jadi... benar. Sarah bertemu Zea. Perubahan yang tidak mudah dipercaya, bahkan pada orang terdekatku sekalipun.
"Aku tahu itu bukan kamu, Rika. Tapi... meyakinkan kamu cerita? Aku cuma ingin tahu. Aku nggak akan menghakimi. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan tetap di sini, jadi sahabatmu. Siapa pun kamu, sebanyak apa pun kamu." Aku menarik napas panjang. Aku memang ingin bercerita. Tapi... secepat ini?
“Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa,” lanjutnya. "Aku akan menunggu. Tapi aku harap, kamu tahu... kamu tidak sendiri. Aku, Jeno, Samudra, Viona, Rendra—kita semua, selalu ada buat kamu." Aku mengangguk pelan. Tapi dalam diam, pikiranku riuh.
> "Kau jangan mudah percaya, Rika. Dia bisa saja manis sekarang, tapi setelah tahu semua? Dia akan meninggalkanmu. Tidak semua orang layak tahu."
Suara Zea menggema dalam benakku. Membuat kepalaku terasa bising, penuh, sesak. Bagaimana mungkin aku bisa yakin? Dengan diriku sendiri pun aku ragu. Aku... bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya. Apakah aku ini Rika yang asli? Atau hanya serpihan lain yang mengira-ngira dirinya pusat dari semua ini?
Tapi untuk saat ini, aku menyisihkan semua suara itu. Menyingkirkan semua pertanyaan dan keraguan. Aku harus menyelesaikan tugas ini lebih dulu. Satu warna. Satu nama. Satu peta.
Setidaknya... ada satu hal yang masih bisa kurapikan hari ini.
~
Bel berbunyi.
Tugas selesai. Tanganku pegal, jari-jari hampir mati rasa. Semua krayon yang kupakai sudah tumpul dan pendek-pendek. Peta dunia penuh warna itu kini dikumpulkan ke meja guru, jadi saksi betapa aku—kami—berusaha terlihat biasa di tengah yang tidak biasa.
Sarah menoleh padaku, tersenyum ragu. “Ke kantin, yuk?”
Aku mengangguk pelan.
Kami jalan berdampingan, dan entah sejak kapan, Jeno mengikuti dari belakang. Di kantin, Viona dan Rendra sedang duduk di pojok seperti biasa, dan Samudra… dia sibuk mengunyah cilok pedas, sendirian.
Begitu aku mendekat, Viona langsung berdiri dari tempat duduknya. Matanya berbinar.
"Rika!! Hey! Kamu udah balik lagi? Kamu nggak apa-apa kan? Maaf ya kalau aku, Rendra, Samudra, Sarah, atau Jeno ada salah ke kamu. Syukur deh kamu mau balik lagi sama kita!"
Aku belum sempat menjawab, baru duduk di samping Sarah, tepat di hadapan Samudra. tatapan cowok itu... diam-diam memperhatikanku. Nggak ada senyum, gak ada komentar. Tapi aku tahu, dia lihat aku.
Aku menatap Sarah, bingung. Wajahku pasti penuh tanda tanya.
Sarah akhirnya buka suara. “Um… kamu dari minggu kemarin kayak… ngejauh. Nggak duduk sama aku lagi, nggak nyapa siapa-siapa juga. Diam aja terus.”
Aku mengangguk pelan. Aku tahu, aku ingat. Tapi setengahnya… buram. Seolah-olah aku cuma jadi penonton dari tubuhku sendiri.
"Aku kira... aku memang lagi marah sama kamu," ucapku pelan. "Tapi ternyata... aku malah nggak ngerti kenapa bisa ngerasa kayak gitu."
“Maaf soal itu. Aku... lagi kurang enak moodnya aja,” tambahku cepat. Aku tidak tahu harus bilang apa. Masa iya aku bilang, 'Itu bukan aku. Itu salah satu perubahanku'? Rasanya belum siap.
Viona mengangguk cepat. "Iya, paham kok! Tapi kamu emang jadi beda banget. Kadang nyolot banget, terus tiba-tiba diem, eh terus tiba-tiba ceria. Jujur aja itu bikin aku agak takut sih, Rik..."
Aku cuma senyum kecut. Gimana ya... bahkan aku sendiri takut sama diriku kadang-kadang.
Suasana sempat canggung beberapa detik sebelum Jeno bersuara, mencoba ganti topik. Entah apa yang dia obrolin, aku nggak begitu dengar. Pikiranku mendengung, sibuk mengurai serpihan-serpihan kosong yang tercecer di kepala.
Saya memesan mie ayam. Saat mangkuknya datang, aromanya hangat. Tapi nafsu makanku entah kemana. Aku makan perlahan, pura-pura sibuk.
Samudra masih terlihat. Diam. Tapi muncullah itu... seolah bicara banyak. Aku tidak bisa membaca isi pikiran. Tapi... aku bisa merasakannya. Dia peduli. Tanpa banyak kata, tanpa drama.
Aku menunduk, menusuk bakso di mangkukku. Setidaknya hari ini… aku tidak sendiri. Setidaknya hari ini… mereka masih ada.
Dan mungkin, itu cukup untuk saat ini.
---
Pulang sekolah.
Aku duduk lagi bersama Sarah. Hari ini tubuhku lebih stabil dari kemarin, meski suara-suara dari Zea dan perubahan lain masih terjadi di kepala.
Sebelum keluar kelas, saya sempat menarik tangan Sarah. "Boleh cerita?"
Dia mengangguk cepat. "Tapi ayo ke luar dulu, nanti dikunci satpam."
Kami berjalan ke taman depan dekat gerbang. Masih agak sepi. Jeno juga ikut, aku percaya dia, apalagi dia keponakan Bu Ratri.
Kami duduk di bangku panjang. Aku di tengah, Jeno sengaja duduk agak jauh—tahu aku kurang nyaman dekat laki-laki. Tapi aku ingin dia mendengar juga. Belum sempat memulai cerita, suara itu terdengar.
"Hei, kalian nggak ngajak aku?"
Samudra. Dia berdiri sambil nyenderin tas di bahu. pandangannya lurus ke arahku. Aku menatap ke belakang, lalu menggeser dudukku sedikit. Dia duduk di sampingku. Sarah menghela napas dan menggeser lagi. Jeno melirik, tapi diam.
Aku tarik napas. Lalu mulai cerita—tentang Ibu yang akhirnya minta maaf, tentang Bu Ratri yang bilang aku punya gangguan disosiatif, tentang psikolog, dan tentang hal-hal yang sebelumnya bahkan gak aku pahami sendiri.
Kami diam. Angin sore menyapu rambutku. Sarah tertunduk. Jeno memandangku lekat. Samudra… tetap diam.
"Itu aja sih. Tapi… tolong jangan kasihanin aku. Kalau mau temenan, ya temenan. Bukan karena iba."
Sarah angkat kepala. "Aku ngerti. Gak semua, tapi aku ngerti. Aku lihat Zea waktu itu. Rika… kamu hebat. Masih bertahan sampai sekarang. Aku bangga." Dia peluk aku. Hangat. Rasanya kayak pelukan kakak kandung. Walau aku tak pernah punya kakak.
"Aku akan selalu ada buat kamu, Ri. Luka masa kecil itu berat. Tapi kamu kuat." Air mataku jatuh. Tanpa suara. Kupeluk dia balik, erat. Jeno dan Samudra hanya menatap.
Setelah beberapa saat, Sarah melepaskan pelukannya, menyeka air matanya.
"Nih," kata Samudra, menyodorkan tisu kecil. Aku mengangguk, merasa tidak nyaman. Sarah juga.
"Terima kasih, Rika." kata Jeno lembut. "Kamu berani banget. Dan aku janji jaga cerita ini. Aku juga tertarik soal sistem mengubah kamu—bukan karena penasaran, tapi karena aku pengen ngeerti lebih."
Aku hanya tersenyum kecil. Tapi Samudra masih diam. Sejak tadi dia tak melihatnya. Aku mulai cemas. Apa dia takut? malu? Menjauh? Aku baru mau tanya—
"Heh! Masih di sekolah aja? Ini udah mau maghrib. Ayo pulang!" Satpam mendekat. Kami semua berdiri.
Sarah ngater aku pulang naik motor. Tapi sepanjang jalan, pikiranku hanya satu:
Samudra. Apa dia akan menjauh setelah ini?
Kalau iya… aku mungkin akan menyesal sudah cerita.
[Bersambung]