Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 22 -.Tanpa Kabar

---

 

Balik lagi. Ini Sarah.

Hai, semuanya. Hari ini... aku tidak bisa bilang semangat. Bukan karena pelajaran, bukan juga karena cuaca. Tapi Rika—temanku yang selalu ada di bangku sebelah—tidak masuk sekolah. Sudah seminggu sejak percakapan kami dengan Bu Ratri, dan sejak itu, dia menghilang. Tanpa kabar. Sama sekali.

Biasanya, dia rajin. Sejak kelas sepuluh, bisa dihitung dengan satu jari berapa kali dia absen, dan itu pun karena benar-benar parah. Apalagi kalau lagi demam, dia tetap masuk sekolah. Jadi saat ia tiba-tiba tak muncul... tanpa pesan, tanpa alasan, tanpa apapun—aku jadi curiga. Tapi, otakku buru-buru membentak.

Jangan berprasangka buruk. Jangan mikir yang nggak-nggak, Sarah. Dan aku hanya bisa mengangguk pada pikiranku sendiri.

Bangku di sebelahku kosong. Baru sehari, tapi rasanya kelas jadi lambat, waktu seperti menyeret, dan semua yang terjadi terasa hambar.

Saat istirahat, Jeno mengajakku ke kantin, seperti biasa. Rendra, Samudra, dan Viona sudah duduk di meja biasa. Dan sepertinya… Rendra dan Viona semakin dekat ya? Lucu juga ngelihat mereka kalau lagi tukar berharga.

Tapi begitu aku dan Jeno duduk, sorot mata Samudra langsung mengunci. “Mana Rika?” tanyanya, tanpa basa-basi.

Aku menggeleng pelan. “Nggak tahu… dia nggak masuk. Nggak ada kabar.”

Samudra berkerut. Matanya menajam. Aku tahu dia juga merasa aneh. Rika bukan tipe yang menghilang begitu saja. Dan… dia pasti khawatir. Sama seperti aku. Mungkin lebih. Aku tahu Samudra punya rasa untuk Rika.

Tapi... kalau dia tahu isi pembicaraan kami waktu itu—aku, Bu Ratri, dan kenyataan yang aku simpan dalam diam—apakah dia akan tetap bertahan di sisi Rika?

Entahlah. Aku mulai ragu. Kami mulai memesan makanan. Suasana agak canggung. Hingga akhirnya Viona membuka suara.

“Aku tahu, kalian pasti nahan buat gak bahas Rika, ya?” katanya pelan, tapi tegas. "Tapi jujur ​​deh, kalian ngerasa nggak sih? Waktu pemilihan OSIS itu... Rika kayak bukan Rika. Sarah, kamu pasti yang paling peka. Kalian udah deket dari lama." Menatapnya kali ini dengan serius. Nggak ada nada bercanda, gak ada sindiran. Hanya rasa cemas yang terpancar jelas dari matanya.

Aku menatap Jeno. Bingung harus jawab apa. Tapi dia hanya tersenyum kecil dan mengambil alih.

“Hei,” ucapnya tenang. "Sudahlah. Nggak semua hal di dunia ini harus kita tahu. Bahkan tentang teman sendiri. Kadang, nggak tahu malah lebih baik. Karena bisa jadi... saat kamu tahu, kamu malah nggak siap nerimanya."

Kalimatnya sederhana, tapi mengena. Viona dan Rendra saling pandang. Lalu menghela nafas pada saat yang sama, seolah menyerah. Saat itulah makanan datang, dan kami makan dalam keheningan.

Ada yang aneh. 

Hening yang seolah tahu ada yang tidak beres.

Hingga akhirnya, Rendra berbicara. "Yah, Jeno bener sih. Ngomong-ngomong, nanti pulang sekolah, main yuk? Kita motoran. Jalan-jalan aja."

Viona langsung semangat, "Boleh tuh! Sarah, Samudra, Jeno, kalian ikut, kan?" Aku diam sebentar. Mungkin jalan-jalan bisa sedikit mengalihkan pikiranku dari Rika.

“Aku ikut,” jawabku akhirnya. Jeno juga mengangguk. Kami bertiga menatap Samudra, menunggu penjelasannya. Tapi ia langsung menggeleng.

“Maaf… aku ada urusan. Kalian aja.” Viona menghela napas panjang. Tapi Rendra malah membukakan mata, curiga.

"Urusan? Jangan-jangan mau jenguk Rika ya? Bucin amat sih lu, Sam!" godanya sambil tertawa kecil. Viona ikut tertawa, meski agak kaget. Sementara Samudra—wajahnya langsung memerah. Dia menunduk ke dalam, pura-pura fokus sama makanannya.

Jadi... dia memang mau ke rumah Rika? Aku menahan napas. Kalau benar, berarti sekarang... Rika lebih dekat dengan Samudra ya?

Ah, sudahlah. Aku ini sahabat.

Kalau Samudra… mungkin dia lebih dari itu.

 

---

 

Hari Kedua.

Sama.

Rika masih belum terlihat. Bangkunya kosong. Suara tawa khasnya yang biasa hanya didengar olehku—tidak terdengar. Hening menggantikan kehadirannya. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.

Konon, bahkan orang tuanya tidak memberi penjelasan apapun. Ketika aku bertanya pada Samudra tentang kunjungannya kemarin, dia hanya mengangguk pelan. Katanya, dia sempat bertemu ibunya. Tapi perempuan itu hanya menyampaikan satu kalimat pendek yang menempel seperti luka baru di dinding ingatanku:

"Rika sedang tidak ingin bertemu siapa pun. Bahkan dengan kami pun, dia menghindar."

Jantungku mencelos. Rika yang selama ini kukenal—yang bahkan saat demam tinggi masih memaksa datang ke sekolah demi kelompok presentasi—tiba-tiba menjauh dari segalanya?

Ada bagian dari diri saya yang ingin menyusun logika, tapi sisi lain malah menuduh dengan bisikan buruk. Apa itu... bukan Rika? Apa ini... sesuatu yang lebih dari sekedar lelah?

Tidak! Ck. Aku menepisnya dengan cepat. Aku harus tetap percaya. Rika adalah Rika. Dia hanya butuh waktu. Dan aku akan menunggunya, entah sampai kapan.

Tapi tetap saja, kelas terasa hampa. Ada ruang kosong di sebelahku yang tidak bisa diisi siapa pun, tidak bisa menggantikan apa pun.

 

---

 

Hari Ketiga.

Masih sama.

Tidak ada keajaiban pagi ini. Tidak ada langkah kaki ringan Rika, tidak ada suara pintu kelas yang dia dorong terburu-buru, tidak ada wajah cerah dengan rambut sedikit berantakan.

Bangkunya masih sunyi. Catatan pelajaran yang biasanya ia hias dengan gambar-gambar kecil, tertutup debu tipis.

Guru-guru mulai gelisah. Bahkan wali kelas kami terlihat ragu ketika hendak menulis “A” di kolom absen. Seolah hati kecilnya memberontak: "Tidak mungkin anak sebaik Rika tiba-tiba menghilang seperti ini."

Tapi kenyataannya begitu. Rika tidak ada.

Dan aku masih mencoba berpikir positif. Berulang-ulang kalimat ini aku bisikkan dalam hati:

Dia akan kembali. Paling besok.

Ya, besok dia akan datang. Duduk lagi di sebelahku. Kan...?

——

 

Hari Ketujuh. Sunyi yang semakin berat.

"..."

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Sudah tujuh hari Rika belum masuk sekolah. Dan jujur... aku mulai kehilangan semangat.

Ada ruang yang menggantung di dalam diri—diam-diam tumbuh dan membesar sepanjang minggu ini.

Rika, sahabatku yang selalu minta ditemani, yang suasana hatinya naik-turun kayak roller coaster, tapi tetap saja... dia adalah Rika. Orang yang selalu membuat kehadirannya terasa penting. Dan sekarang, dia hilang begitu saja.

Kalian mungkin akan menyuruhku menghubunginya. Mengobrol? Telepon? Sudah. nihil. Ponselnya tidak aktif sejak hari pertama ia menghilang. Nomornya seperti ikut menghilang bersama kepergiannya.

Aku duduk di kelas, membiarkan tubuhku bersandar lemas. Tidak ada tenaga untuk sekedar berjalan ke kantin yang bising.

Kepalaku bertumpu di lipatan lengan, mencoba bersembunyi dari dunia yang terasa terlalu ramai tanpa Rika.

Seseorang mendekat. Langkahnya pelan, lalu duduk di sampingku. Nafasnya juga pelan. Dia tidak bicara.

Aku mendongak perlahan. Menemukan Jeno yang pekat, tenang, dan dalam.

"Apa?" tanyaku malas, tanpa tenaga.

"Kamu keliatan lemas. Biasanya paling semangat kalau ke kantin. Sekarang malah diem di kelas." Aku mendecak pelan dan menunduk lagi.

“Gak ada Rika... jadi males,” jawabku lirih. Sunyi kembali jatuh di antara kami.

Jeno memang bukan tipe yang cerewet. Dia dan Rika...mirip. Diam, tapi menyimpan banyak.

“Kamu gak lapar?” tanyanya. Aku menggeleng. Masih tidak menatap. Ada suara kursi bergeser. Sepertinya Jeno mengubah posisi duduk, lalu berkata:

"Kamu tahu? Di otak manusia itu... ada ruang kosong yang bahkan dirinya sendiri gak ngerti. Kadang ruang itu sunyi, kadang terlalu ramai. Dan saat seseorang gak kuat ngadepin semuanya sendirian, otaknya bakal cari cara. Cara yang gak biasa. Kadang... dia sendiri gak sadar dia lagi ngelakuin itu."

Dia berhenti sebentar. Tarik nafas sebelum melanjutkan, “Orang kayak Rika… mungkin bukan cuma butuh teman. Tapi seseorang yang siap dengerin, bahkan ketika dia gak bisa cerita apa-apa.”

Aku perlahan mengangkat wajahku. Pandanganku mulai buram. Mata ini panas, seperti menahan sesuatu yang ingin keluar tapi belum berani.

Jeno terdiam sesaat, lalu berdiri. Ia menampar bahuku sekali—pelan.

"Gue gak tau pasti apa yang terjadi. Tapi... kadang seseorang keliatan kuat banget, padahal dia lagi rapuh banget. Kita cuma perlu cukup sabar buat nunggu dia balik. Ketika dia siap."

Dan setelah itu, dia pergi. Meninggalkanku sendirian. Bersama pertanyaan yang belum berani kusuarakan.

Rika... Kamu sedang sembunyi?

Atau... kamu disembunyikan?

 

 

Sore itu, Bu Ratri datang ke kelas setelah bel pulang. Langkahnya cepat, tapi wajahnya tetap tenang seperti biasa. Ia berdiri di depan kami, menatap seisi kelas dengan sorot mata yang agak berbeda dari biasanya—seperti menyimpan sesuatu. Sesuatu yang berat.

“Sarah. Jeno. Sebentar,” panggilnya pelan namun tegas. Aku langsung menoleh, begitu juga Jeno. Kami berdua bangkit dari bangku, berjalan mendekat. Beberapa teman melirik penasaran, tapi tak ada yang berani bertanya.

Bu Ratri menarik napas pendek sebelum berbicara lagi. "Saya akan ke rumah Rika hari ini. Sendirian. Kalian tidak perlu ikut."

Aku membuka mulut, hendak memaksa ikut, tapi Jeno melihat cepat, seolah berkata: tunggu dulu.

“Tapi… saya akan beri kabar kalau sudah ada penjelasan pasti,” lanjut Bu Ratri, suaranya melembut. Aku mengangguk pelan. Jeno juga. Tapi dada kami sama-sama berat.

Satu minggu tanpa kabar dari Rika, dan kini Bu Ratri memutuskan turun langsung—aku tahu ini bukan sekedar absen karena sakit biasa.

Dan entah kenapa… kenapa aku bilang… 

Bu Ratri tidak akan kembali dengan jawaban yang biasa. Mungkin dia akan kembali dengan kebenaran. Atau… luka lain yang lebih sulit dijelaskan dengan kata-kata.

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Maju Terus Pantang Kurus
894      584     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Suara yang Tak Pernah Didengar
331      203     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Simfoni Rindu Zindy
650      516     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Taruhan
51      48     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1043      694     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Sweet Seventeen
984      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Kainga
1152      679     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...