Bab 17 - Karya Wisata 2
---
Hai semuanya! Balik lagi samaaaaa—Sarah!
Ya, ini aku, Sarah. Hmm… kalian kangen nggak sih? Haha, canda doang.
Setelah sebelumnya kalian harus ngikutin POV-nya Jeno (yang mungkin agak bosenin ya?), sekarang giliran aku. Eh maaf juga sih kalau POV-ku sama-sama bosenin, hehe.
Oke, balik ke fokus utama. Malam itu, aku akhirnya keluar mencari udara segar bersama Jeno. Nggak ada yang penting-penting amat sih sebenernya, cuma ngobrol soal Rika.a.. dan hal-hal lain yang entah kenapa terasa ringan tapi juga di dalam.
Rencananya, kita mau balik ke hotel jam 20.35. Tapi ternyata hujan deras banget turun tiba-tiba. Jeno langsung terima kasih jaket dia ke aku. Awalnya aku nolak—nggak enak juga. Tapi ya... dia maksa. Secara harafiah maksa banget.
Jadinya yaudah, aku pakai. Kami lari bareng ke hotel sambil basah-basahan, terus berpisah di lantai dua, tempat kedap udara.
Apa yang kami bicarakan sebelumnya? Menurutku sih bukan ada yang penting. Tapi juga... bukan berarti tidak berarti. Begitu sampai kamar, aku langsung rebahan di kasur, bareng teman-teman cewek sekelompokku.
Ngomong-ngomong, Rika nggak bareng di kamar ini. Kita kelompok lain, oke?
Jam udah nunjukin jam 00.00. Tapi aku tidak bisa tidur.
Iseng aku cek HP. Ada pemberitahuan dari Jeno.
"Udah tidur belum? Mau lanjut ngobrol?"
Aku akan mati sebentar. Terus ngetik balasan:
“Ya... boleh.”
Nggak lama kemudian dia bales lagi:
"20 menit aja ya? Habis itu kamu tidur."
Aku terlihat kecil. Lah, dia juga harusnya tidur dong buat presentasi besok? Tapi yaudah lah, aku bales aja, dan kami lanjut ngobrol. Kali ini bukan soal Rika.
Lebih acak, tapi lebih pribadi. Ringan, tapi hangat. Dua puluh menit berlalu. Mataku mulai berat. Aku ngetik:
“Ngantuk. Mau tidur. Dah.”
Dia bales:
"Ya. Tidur yang nyenyak. Buat besok."
Aku tersenyum kecil. Terus matiin HP dan selimut yang menarik. Entah kenapa... malam itu terasa lebih tenang dari biasanya.
~
Besok pagi
Hari kedua akhirnya tiba. Aku bergabung dengan kelompok 4, satu kelompok dengan Samudra. Pagi-pagi sekali, tepat jam 06.30, kami sudah selesai sarapan dan bersiap untuk memulai penelitian.
Kamu tahu kan, aneh rasanya, SMA bisa sampai ke luar negeri untuk karya wisata dan presentasi di NUS. Tapi, ini SMA Elitara, sekolah terbaik di Indonesia. Jadi nggak heran kalau punya koneksi ke luar negeri.
Oke, fokus lagi. Hari ini aku di kelompok yang bukan milik Rika, jadi aku nggak bisa banyak lihat dia atau sikap aneh yang belakangan mulai dia tunjukkan. Aku bukan ngomong dia aneh sih, aku tetap sahabatnya. Tapi memang, akhir-akhir ini dia terlihat berbeda. Atau aku yang terlalu mikir?
Tapi, instingku nggak pernah salah. Itu yang selalu aku yakini. Jadi, saya fokus penelitian. Samudera? Dia malah sering ngelamun, sering banget lihat grup 17, yang kebetulan ada Rika dan Jeno. Ah, kalau bisa sih aku pengen gabung grup mereka. Biar nggak barengan sama Samudra yang bikin pusing.
Oh, kabar Viona dan Rendra? Viona seneng banget bisa satu kelompok sama Rendra, crush-nya. Gue bingung, kok bisa ya dia suka sama tipe Rendra. Ah, mungkin orang-orang punya tipe yang berbeda, atau mungkin gue yang paling beda? Ya, entahlah.
Aduh, malah ngelantur lagi. Jangan-jangan ketularan Jeno, nih! Oke, lanjut. Setelah berjam-jam penelitian, akhirnya jam 12.00, kami makan siang dan istirahat sejenak sebelum perjalanan menuju NUS.
Sampai di sana sekitar pukul 13.00. Kami langsung disambut pembukaan singkat dari kepala sekolah, Bu Safa, dilanjutkan dengan sambutan dari rektorat NUS. Setelah itu, presentasi pun dimulai.
Giliran kelompokku di posisi keempat. Aku kebagian presentasi bagian kesimpulan. Mudah sih, saya memang suka kalau dosen-dosen di sini bertanya, tapi yang sesuai kapasitasku. Jadi, aku merasa cukup pede.
Saat giliran kami tiba, aku berdiri di samping Samudra yang kebagian bagian akhir. Aku memaparkan audiens yang terdiri dari guru, murid, pendamping sekolah, dan dosen-dosen dari NUS. Jantungku mulai berdegup kencang. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ketua kelompok sudah membuka dengan salam, dan presentasi dimulai.
Kelompok kami memilih topik "Dampak Pola Asuh di Asia Tenggara terhadap Kesehatan Mental Remaja." Ketika tiba giliranku untuk berbicara, rasanya perutku berputar. Jantungku semakin cepat berdetak. Aku menatap penonton, mencoba membayangkan mereka semua hilang, hanya aku yang berdiri di depan, berbicara.
Baiklah. "Dari observasi dan penelitian yang telah kami lakukan selama kunjungan ini, kami menemukan bahwa pola asuh di Asia Tenggara sangat, tapi satu benang merahnya jelas—anak-anak diajarkan untuk 'tahan banting', bukan untuk 'mengungkapkan'. Itu membuat banyak remaja tumbuh dengan luka yang tidak terlihat, dan sayangnya, kadang-kadang kita baru sadar saat semuanya sudah beragam. Padahal, kalau kita mau jujur dan lebih peka, kita bisa melihat tanda-tandanya dari awal. Di balik senyum, kadang ada yang tidak bisa dijelaskan.”
Aku diam sejenak, memberi jeda agar audiens bisa memahami apa yang kukatakan. Aku menatap Jeno, yang tampak mengangguk kecil dan tersenyum padaku. Tanpa sadar, aku ikut tersenyum dan mataku beralih ke Rika. Tapi, memunculkannya... kosong. Ada yang berbeda dari dia, dan entah kenapa, itu membuat perasaanku sedikit khawatir.
Aku meneguk ludah dan melanjutkan kalimatku, “Dan untuk itu, kita tidak bisa terus saling menyalahkan, apalagi mengabaikan. Mungkin... kita hanya perlu mulai dari berani bertanya: 'Apa kamu benar-benar baik-baik saja?' Karena terkadang , itu saja yang dibutuhkan untuk menyelamatkan seseorang. Karena terkadang, hanya itu yang diperlukan untuk menyelamatkan seseorang, terima kasih.”
Audiens terdiam sejenak, lalu mulai menggenggam tangan. Aku lebar tersenyum, lega. Akhirnya presentasi selesai juga. Kelompokku kembali duduk di kursi masing-masing, dan aku melihat Jeno memberi jempol padaku. Aku mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih.
“Oke, terima kasih untuk Grup 4. Bagus sekali presentasinya, ayo kita lanjutkan ke grup berikutnya, grup 5,” kata MC. Kami melanjutkan sesi presentasi, yang memakan waktu sampai pukul 17.00.
Setelah itu, kami naik bus menuju Singapore Discovery Centre. Perjalanan sekitar 20 menit, jadi waktu di sana cuma sekitar 40 menit. Aku duduk di samping Samudra.
"Hah, keren banget lo tadi, Sar! Gue kira lo nggak bakal bisa kaya gitu. Maksud gue, bukan paham lo, tapi pokoknya tadi keren banget!" kata Samudra.
Aku cuma berdecak pelan, malas menyampaikan pujian atau bahkan kalau itu cuma olokan. Aku menoleh ke arah Rika, yang duduk tidak jauh dariku, di samping Ayu. Mereka ngobrol, sesekali Rika mencatat sesuatu dan bertanya pada Ayu. Entahlah, ini aneh.
Aku tahu Rika pintar, selalu ingin tahu. Tapi, dia tidak seperti ini. Tidak terus-menerus bertanya. Ada yang tidak beres. Apa-apaan ini? Apa itu Rika yang sebenarnya?
Aku terkejut ketika Rika menoleh ke arahku dan penyesuaian tangan. Aku langsung sadar dan balas melambai, tapi entah kenapa, ada rasa aneh. Rika tersenyum kecil dan kembali fokus pada catatannya. Hah, selalu begini. Aku merasa ragu, dan entah kenapa, perasaan itu semakin kuat. Apa aku sahabat yang baik kalau meragukan perubahan kecil dari sahabatku sendiri? Aku berusaha berpikir positif. Tapi, tetap saja... ada yang aneh.
~/
Pulang.
Akhirnya, kami sampai di hotel. Aku langsung menghampiri Rika untuk memastikan apakah dia baik-baik saja setelah kejadian di bus tadi. Bukan kejadian asli juga sih, cuma... aneh.
"Rika!" panggilku. Rika menoleh, tersenyum cerah melihatku. Dia segera berhenti, perhatikan dengan penuh perhatian.
"Sarah, kenapa? Aku sebenarnya pengen ngobrol sama kamu, tapi aku jadi kebanyakan fokus nyatet buat presentasi kelompok besok. Aku nggak sabar, aku pengen banget kamu juga bagi ilmu yang kamu punya ke aku!" kata Rika dengan semangat. Aku terdiam sejenak—uh, apa?
"Ah, iya... aku bisa kok mengaturnya, tapi... aku pengen kita ngobrol lebih biasa aja deh," jawabku. Rika diam sejenak, mengernyitkan dahi, lalu menghela napas. Ia menyimpan buku coklat kecilnya ke dalam kantung baju dan kembali melihatnya.
"Apa yang mau kamu bicarakan? Apa yang biasa kita obrolin selain tukar ilmu, sih?" tanya Rika, masih dengan ekspresi bingung. Aku mengernyit, bingung. Ini aneh banget, janggal! Aku menahan napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat.
Tiba-tiba, seseorang menampar pundakku, dan Rika juga.
"Heh, kalian! Reuni ya? Haha! Bestie dua ini kasihan deh, udah lebih dari sehari nggak ngobrol, sekarang malah saling menatap bingung," suara Viona terdengar ceria. Jeno ada di belakangnya, mengikuti.
"Oh, hai Viona! Apa kabar?" tanya Rika. Viona tersenyum lebar, mengangguk dengan jawaban khasnya, "Baik! Kamu bagaimana?" Aku menghela napas lega. Rika akhirnya kembali ke dirinya yang biasa. Tadi hampir saja aku berteriak karena Rika beda banget.
Jeno kemudian menarik sedikit jeda, saat Samudra dan Rendra ikut bergabung dengan Viona dan Rika yang sedang ngobrol. Aku menatap Jeno bingung, lalu melepaskan darinya.
"Kenapa? Ada yang mau ngomong?" tanyaku langsung pada intinya. Jeno menghela napas panjang.
“Lo liat kan, Rika beda tadi?” tanya Jeno, dan aku hanya diam, mengangguk pelan.
"Ya... lo juga liat kan?" jawabku, menatap. Jeno mengangguk sebagai jawaban, lalu kami terdiam sejenak. Kemudian, Jeno membuka suara lagi, kali ini sedikit lebih hati-hati.
"Udahlah, jangan berpikir terlalu dalam, nanti lo malah nggak bisa tidur. Gue yakin Rika cuma lagi berkembang aja, secara potensi," kata Jeno, matanya tampak mencoba meyakinkanku. Aku menghela napas, terdiam sejenak, mencoba memahami maksudnya.
Bagaimana aku bisa tidak khawatir? Kalau dipikirin lebih dalam lagi ya bikin bingung. Rika sahabatku, dan dia benar-benar berubah. Maksudku, dalam sehari dia bisa berubah 180 derajat, lalu besoknya kembali seperti biasa. Kadang-kadang, dia bahkan lupa apa yang aku obrolin kemarin. Itu bikin pusing!
Tiba-tiba, Jeno menyadarkanku, menarikku dari lamunan. Aku mengangkat kepala dan menatapnya.
"Udah, tenang aja ya? Gue ngerti lo khawatir, tapi selagi Rika baik-baik aja, lo nggak perlu mikirin sampe nggak bisa tidur," kata Jeno. Aku menghela nafas, lalu mengangguk. Mungkin dia benar.
Tapi sebelum sempat berkata lagi, terdengar suara Viona dari belakang, "Woi! Ehem! Ada couple baru di sini, ya?~" Aku mundur sedikit, menatap datar. Duh, jangan sampai menjodoh-jodohin.
"Apa sih lu?" aku mengerutkan kening, kesal. Viona terkikik geli.
"Haha! Jeno, gue nggak nyangka sepupu gue yang bisa taklukin Sarah! Hahahaha!" Aku kesal kesal, lalu buru-buru meninggalkan Viona yang bikin nggak ngenakin, apalagi kalau Samudra dan Rendra juga gabung, habis aku!
Tanpa aku sadari, Jeno hanya diam sambil menikmati olokan Viona. Dia tersenyum, memandang saat aku mulai naik lift dan menuju lantai kamarku.
[Bersambung]