Bab 18 - Bu Ratri
---
Selamat pagi.
Hari ini, biarkan aku yang berbicara. Aku, Bu Ratri—Guru BK di SMA Elitara. Nama sekolah kami memang menipu. Banyak yang mengira ini sekolah negeri. Aku juga dulu begitu. Sampai akhirnya lihat uang pangkalnya…
Langsung sadar: ini bukan sekolah biasa. Tapi, bukan soal biaya yang akan terjadi pada hari ini.
Aku sudah mengabdi sebagai guru BK di sekolah ini lebih dari lima tahun. Selama itu, saya belajar satu hal penting: anak-anak tak pernah bisa menyembunyikan segalanya.
Ada ribuan siswa yang pernah kutangani. Masing-masing dengan caranya sendiri dalam bertahan, tumbuh, dan terkadang... menyembunyikan sesuatu.
Tapi di angkatan ke-17 ini—ada satu yang paling mencolok. Kalian tahu siapa yang kumaksud.
Anak perempuan itu.
Di awal, hanya bertahan. Tapi saat ujian tulis semester lalu—kami hanya saling menatap sekilas—aku tahu ada yang berbeda.
Aku tahu jenis-jenis yang disampaikan: gelisah, kosong, takut, manis-manis manipulatif, bahkan yang dibuat-buat seolah kuat.
Aku tahu. Itulah mengapa aku mulai memperhatikannya lebih dekat. Bukan untuk menjatuhkannya. Tapi untuk memastikannya tidak jatuh lagi.
Aku tempatkan diriku sendiri sebagai wali kelasnya. Bukan suatu kebetulan.
Lalu kutempatkan teman-teman yang kukira bisa membantuku memahami siapa dia sebenarnya—sengaja kupasangkan dengan orang-orang yang matanya juga bisa melihat luka, tak selalu paham artinya.
Dan saat ia naik kelas 11, aku masih menjadi wali kelasnya. Tapi kali ini, yang tertinggal hanya dua teman persahabatan.
Salah satunya—Jeno. Keponakanku sendiri.
Jeno memang punya ketertarikan pada sisi terdalam manusia. Ia anak yang tenang, tapi berpikir dalam. Ia tahu kapan harus berbicara, dan kapan hanya diam mengamati.
Dan dia membantu saya. Dari dia, saya mendapatkan hal-hal yang tidak bisa kudapat hanya dari ruang BK.
Lalu datanglah Rendra, anak laki-laki dari Kalimantan. Sejak itu, catatanku semakin tebal. Aku memang suka mencatat. Tentang anak-anak. Tentang tanda-tanda.
Dan untuk murid perempuan itu… halaman catatanku nyaris penuh. Kalian yang membaca dari awal, kalian pasti menyadari sesuatu yang ganjil, bukan?
Bukan satu kejadian besar. Tapi serpihan-serpihan kecil. Tersembunyi di antara bab. Terasa... tapi tak jelas.
Itulah kenapa aku terus meminta Jeno mengawasi. Aku tidak ingin gegabah. Tapi sampai titik ini, aku semakin yakin: ada sesuatu dalam dirinya yang tidak baik-baik saja.
Hari ini hari ketiga Karya Wisata.
Kelompok 17—kelompok Jeno dan Rika—akan maju presentasi.
Dan entah kenapa, tidak nyaman. Aku tahu… hari ini dia akan tampil sebagai 'seseorang' yang berbeda lagi.
Maaf jika aku terlalu curiga pada muridku sendiri. Tapi percayalah, aku tidak sedang mencari kesalahan. Aku baru saja mencoba memahami.
Karena, di balik semua kata yang ia ucapkan… ada yang belum ia ceritakan. Dan mungkin—kali ini—aku harus benar-benar mendengarkan.
~
"Baiklah, selamat siang, hadirin sekalian. Hari ini, kita lanjutkan presentasi dari SMA Elitara bersama dengan NUS. Tanpa menunda lagi, mari kita lanjutkan—Kelompok 11, giliran kalian."
Suara MC itu terdengar ringan tapi jelas. Bu Rasnah, bertanya sekaligus teman lamaku di fakultas dulu. Kami memang berbeda jurusan, tapi satu kampus. Dia Biologi, aku Psikologi. Dulu sama-sama mahasiswi yang aktif ikut lomba debat dan konferensi pelajar ASEAN , dan sekarang... ya, siapa sangka kami berdiri di sisi panggung yang sama, menyaksikan generasi baru yang tampil di depan kita.
Kelompok 11 maju duluan. Viona dan Rendra—dua anak yang juga masuk dalam daftar perhatianku, bukan karena masalah, tapi karena... kepekaan. Viona adalah keponakanku juga, sementara Rendra... anak baru dari Kalimantan yang entah kenapa seperti membawa badai dalam diam. Tema yang cukup menarik adalah “ Standar Kecantikan dan Budaya Kompetitif di Era Digital”. Penampilan mereka rapi, isi presentasinya padat. Semua berjalan sesuai ekspektasi.
Tapi bukan mereka yang kutunggu hari ini.
Sekarang giliran kelompok 17.
Langkah mereka menuju panggung cukup tenang. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak santai. Jeno berjalan paling depan, diikuti Ayu dan dua anggota lainnya. Dan Rika... dia di belakang. Tapi anehnya, aura yang dia bawa justru paling terasa di antara mereka semua.
Dari tempat dudukku, aku memperhatikan gerakan tubuhnya.
Tidak gugup. Jangan takut.
Tapi percayalah pada diri sendiri. Dan... seperti sedang memerankan sesuatu?
Ada yang tidak tenggelam antara tubuhnya dan siapa yang selama ini aku kenal sebagai Rika. Caranya berdiri, cara dia mengamati penonton, bahkan sorot matanya—bukan hanya fokus, tapi tajam. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Atau mungkin, sudah merencanakan sesuatu.
Ayu membuka presentasi dengan cukup baik, dan tema mereka—“Identitas Ganda: Realita, Dunia Maya, dan Diri yang Terpecah”—jujur saja, membuat napas pelan pelan.
Bukan karena materinya salah. Justru sebaliknya—terlalu tepat sasaran.
Ada kesan seolah-olah mereka sedang mengangkat sesuatu yang... pribadi. Terlalu pribadi. Bukan pada siapa yang mereka tunjuk, tapi pada apa yang mereka pilih untuk dibicarakan. Seperti menyingkap lapisan yang biasanya tidak disentuh di ruang presentasi siswa SMA.
Jeno melanjutkan. Nada bicaranya stabil, gesturnya tepat. Dia memang memutar. Anak itu memiliki kecerdasan emosional yang tidak banyak dimiliki remaja seusianya. Dan pidatonya... hampir terlalu tepat, jika kita tahu siapa yang ada di kelompok ini.
"Jadi, bagian saya berfokus pada bagaimana media sosial menciptakan ruang di mana identitas kita dapat terbagi—terkadang sengaja, terkadang tidak sadar. Dalam kehidupan nyata, kita adalah satu versi diri kita sendiri. Namun, di dunia maya? Kita dapat mengendalikan bagaimana orang lain melihat kita..."
Aku mencatat tanpa menunduk, mataku tetap tertarik pada Rika.
Jeno sedang membuka jalan. Membuka panggung, dengan kalimat-kalimat yang terasa seperti pintu yang sebentar lagi akan ditabrak keras dari sisi dalam.
“Jadi pertanyaannya adalah: apakah kita masih bersikap autentik, atau hanya hidup dalam lingkaran yang diinginkan internet?”
Dan seperti aba-aba yang halus, Jeno menutup dengan menyebut nama Rika.
“Saya akan membiarkan teman saya melanjutkan tugas ini.”
Langkah Rika maju. Dan ya... aku tidak salah. Senyumnya tidak seperti biasanya.
Bukan senyum tegang, bukan senyum canggung. Tapi... senyum yang dibuat-buat. Seperti penampilan di teater. Dibentuk, disusun, ditampilkan dengan sadar.
Bulu kudukku meremang seketika. Anak ini...
Siapa yang sedang berbicara dari dalam dirinya saat ini?
“Terima kasih, Jeno. Kita hidup di masa ketika batasan antara siapa kita sebenarnya dan siapa kita yang tampak semakin menipis setiap harinya.
Pertanyaannya bukan lagi 'Apakah Anda memiliki identitas daring?'—melainkan 'Berapa banyak yang Anda bawa sekaligus?'
Diri yang beragam, avatar digital, persona yang dikurasi—tidak satu pun dari ini yang secara inheren salah. Namun, ketika versi-versi itu mulai berbicara lebih keras daripada diri yang kita tuju dalam keheningan, kita kehilangan sesuatu yang lebih dalam daripada kejelasan. Kita kehilangan jangkar kita. Itulah sebabnya kami memilih topik ini. Karena identitas bukan hanya tentang apa yang kami tampilkan—tetapi juga tentang apa yang kami lindungi.
Terkadang, bagian diri kita yang terasa paling nyata sebenarnya adalah bagian yang kita ciptakan untuk bertahan hidup. Dan ironisnya, bagian yang terasa paling sunyi... adalah bagian yang telah kita kubur paling dalam.
Jadi tujuannya bukanlah untuk menghapus jati diri tersebut—melainkan untuk mempelajari suara mana yang benar-benar milik kita. Dan suara mana yang merupakan gema yang kita salah sangka sebagai rumah.
Sekian dari kami—terima kasih telah mendengarkan. Kami siap menjawab pertanyaan Anda sekarang!”
---
Lihat? Berbeda. Sangat berbeda.
Suasana ruang auditorium tiba-tiba hening. Bukan karena sunyi, tapi karena semua orang seolah butuh waktu untuk mencerna apa yang mereka dengar.
Lalu, salah satu profesor NUS mengangkat tangan, tersenyum cerah ke arah 'Rika' yang kini berdiri tenang, seolah tak tersentuh.
"Bukankah agak bermasalah untuk melabeli seseorang dengan DID sedini mungkin? Bagaimana jika mereka hanya menghadapi stres atau trauma yang belum terselesaikan yang tidak memenuhi ambang klinis?"
Rika mengangguk pelan. Wajahnya tenang, senyumnya tipis tapi tajam.
"Itu poin yang valid, Profesor. Label—terutama dalam psikologi—tidak muncul dari satu momen pengamatan. Label terbentuk melalui pola, sejarah, dan dampak pada fungsi sehari-hari.
Trauma memang membentuk kita. Namun, ketika dampak tersebut memecah rasa diri hingga kehidupan sehari-hari menjadi tidak terarah, pembicaraan pun berubah. Ini bukan lagi tentang stres sementara—ini menjadi tentang kesinambungan identitas.”
Profesor itu kelihatannya belum puas. Ia mengangkat alis, tersenyum lebih lebar, lalu bertanya lagi:
“Lalu bagaimana kita membedakan antara disosiasi yang sebenarnya dan pengaruh dari lingkungan digital—seperti media sosial? Tidak bisakah hal-hal ini dipelajari atau ditiru?”
Rika tidak langsung menjawab. Ia menjentikkan jari, menarik sebuah buku kecil bersampul cokelat dari saku kemeja formal Elitara. Ia mencatat singkat sebelum menatap kembali ke profesor itu.
"Media sosial jelas telah membuat istilah-istilah tertentu lebih terlihat. Namun, visibilitas tidak sama dengan validitas.
Hanya karena sesuatu lebih banyak dibicarakan, bukan berarti hal itu kurang nyata. Tantangan sebenarnya adalah interpretasi budaya—bagaimana kita membingkai kesehatan mental.
Bagi sebagian orang, disosiasi adalah kata kunci. Bagi yang lain, itu adalah satu-satunya cara mereka belajar untuk bertahan hidup.”
Profesor itu tertawa pelan, puas tapi juga masih penasaran. Ia melirik kawan sejawatnya sebelum memberi satu pertanyaan terakhir:
“Baiklah. Yang terakhir. Bagaimana kita bisa yakin bahwa DID bukan hanya... alasan yang mudah? Cara untuk menghindari tanggung jawab atau tekanan sosial?”
Dan di dalam...kenyamanan menjadi sangat tebal.
Rika diam sejenak. Senyumnya sempat luput dari wajahnya—tapi hanya sebentar. Ia segera menggantinya dengan senyum lain yang lebih segar dan tenang.
“Gangguan psikologis jarang berkaitan dengan penghindaran tanggung jawab.
DID sering kali merupakan respons terhadap trauma ekstrem—mekanisme penanggulangan untuk bertahan hidup terhadap sesuatu yang tidak dapat ditanggung oleh pikiran saja.
Jadi, saat kita mereduksinya menjadi sekadar alasan, kita tidak hanya mengabaikan rasa sakit—ini seperti menyalahkan seseorang atas cara yang mereka pilih untuk bertahan hidup."
Ia lalu menatap langsung ke arah profesor dengan penuh ketenangan.
"Saya sungguh menghargai kedalaman pertanyaan Anda, Profesor.
Dialog seperti ini diperlukan karena dapat menantang kesalahpahaman dan membangun jembatan pemahaman. Saya akan sangat senang untuk melanjutkan diskusi ini lebih lanjut—tetapi sepertinya waktu kita hampir habis.
Mungkin kita bisa melanjutkannya setelah sesi ini atau bahkan melalui korespondensi. Terima kasih.”
Sesaat hening. Lalu profesor itu tertawa kecil, penuh penghargaan, sambil mengangguk.
"Mengesankan, Nona Rika.
Sanggahan Anda tajam, fasih, dan tidak dapat disangkal didasarkan pada penalaran akademis.
Kamu tidak berbicara seperti orang seusiamu. Anda berargumentasi seperti seseorang yang telah ditempa dalam medan intelektual yang jauh lebih keras dan kompleks.
Saya mengagumi ketenangan Anda, terutama bagaimana Anda mempertahankan pendirian Anda tanpa kehilangan rasa hormat.
Anda telah memberikan seluruh ruangan ini—termasuk saya—banyak hal untuk direnungkan.
Siapa tahu? Mungkin suatu hari, Anda akan berjalan di lorong-lorong ini bukan sebagai tamu—melainkan sebagai seorang cendekiawan.
Saya menantikan hari itu, saat kita bisa bertemu lagi—tanpa batasan waktu, dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam.”
Ia tersenyum. Penuh arti. Dan aku tahu... dia melihat sesuatu yang aku juga lihat. Bukan hanya seorang siswi bernama Rika—tapi seseorang yang menyimpan lebih dari sekadar intelektualitas.
Rika menunduk sedikit, formal.
“Sekali lagi, terima kasih, Profesor, atas waktu dan wawasan Anda.
Atas nama Kelompok 17, kami dengan tulus mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan partisipasinya.
Kami berharap eksplorasi kami terhadap identitas ganda memicu beberapa refleksi—dan mungkin bahkan perspektif baru.
Demikianlah presentasi kami. Kami berharap dapat melanjutkan perbincangan ini di masa mendatang.
Terima kasih semuanya, dan sampai jumpa.”
Aku mencatat seluruh pengamatanku. Ini sudah cukup. Grup 17 mundur, digantikan oleh Grup 18, lalu seterusnya. Aku menghela nafas pelan, menatap seluruh catatanku. Ini sudah hampir final.
Jika Rika menunjukkan tanda-tanda lain... jika laporan Jeno ternyata benar...
Aku akan bertindak. Karena posisi Rika kini bukan sekadar ambigu—ia berbahaya.
Sudah dulu. Aku memang tidak pandai bercerita. Keponakan dan bibi, kenyataannya tidak jauh berbeda. Aku dan Jeno sama-sama tak hebat dalam merangkai cerita, apalagi membuatnya menyenangkan.
Sampai jumpa di bab berikutnya—jika kalian belum bosan dengan Pengamatanku.
[Bersambung]