Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 12 - Sakit

---

 

Sinar matahari pagi menyelinap dari balik tirai jendela, menabrak wajahku yang basah oleh keringat dingin. Tubuhku panas, napas terasa sempit, tenggorokan kering seperti padang pasir. Setiap kali kubuka mata, kelopaknya seperti memikul beban tak kasat mata. Berat.

Mungkin demam. Atau... sesuatu yang lain. Minggu ini terlalu penuh: ujian, pikiran yang tak mau berhenti berjalan, suara-suara yang tak pernah benar-benar diam.

Aku belum minta maaf ke Reza. Sejak kemarin.

Kakiku tak sanggup menginjak lantai. Bahkan menarik napas saja terasa menyakitkan. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit putih bersih yang kosong—seperti jawabanku ketika Reza bertanya kenapa aku tidak pulang tepat waktu.

Apakah ini balasan?

"Apa gunanya memikirkan sesuatu yang tidak perlu? kau tidak salah apapun, Rika"

Suara itu muncul lagi. Halus, dingin, menyelusup seperti kabut. Tidak keras, tapi cukup tajam untuk menggores isi kepalaku.

Aku menelan ludah. Diam. Jangan dilawan.

Jangan ditanggapi. Dia akan hilang kalau aku tidak mengindahkannya. Begitulah biasanya. Tapi pagi ini, dia menetap.

Aku memejamkan mata, berusaha mengabaikan denyut panas di pelipis dan suara yang terus mengusik. Aku belum sempat berkata apa-apa ke Reza. Dan sekarang tubuhku bahkan menolak untuk sekadar duduk.

“RIKA! AYO SINI! SARAPAN!! CEPAT!”

Suara Ibu seperti guntur—menyambar dari lantai bawah dan mengguncang seluruh tubuhku. Aku tersentak, tapi tak sanggup bangkit. Dunia seperti berputar. Lantai menjauh, lalu mendekat. Tanganku mencoba menahan, tapi tubuhku tak punya daya. Semuanya gelap.

 

---

 

“Ayah, bagaimana ini? Ibu sangat takut! Ini salah Ibu! Kalau saja Ibu nggak marah-marah kemarin—kalau saja Ibu sabar, Rika nggak mungkin—”

“Shh... Rina, tenang. Kita belum tahu apa-apa. Dokter masih memeriksa, oke? Jangan panik dulu.”

Suara Ayah berusaha lembut, tapi matanya tak bisa berbohong. Ia khawatir. Tangannya menggenggam tangan Ibu erat, mencoba meredam gemetar di ujung-ujung jari yang terus menggigiti kuku.

Pagi tadi, Ibu sempat berteriak memanggilku. Berkali-kali. Saat tak ada jawaban, ia mendobrak pintu kamar di lantai dua. Dan yang ia temukan hanya tubuhku, tergeletak di lantai, napas terengah dan kulit seperti dibakar api.

Reza nyaris ikut. Tapi setelah melihat wajah pucatku, bocah itu hanya bisa berdiri diam di depan pintu, matanya berair. Raka—entah dari mana datangnya—memeluk bahu adik bungsunya dan membawa mereka kembali ke kamar.

Ibu masih terisak di ruang tunggu. Tangisnya tertahan-tahan, tapi tak benar-benar bisa berhenti. Setiap napas seperti permohonan agar waktu diputar ulang.

Dokter keluar tujuh menit kemudian—waktu yang terasa seperti tujuh tahun.

“Pak Andre, Bu Rina... Putri kalian mengalami demam tinggi, kemungkinan karena infeksi virus. Kondisi imun tubuhnya sedang menurun, jadi kami sarankan untuk rawat inap satu sampai dua hari ke depan,” jelas dokter dengan tenang.

“D-dia akan baik-baik saja, kan, Dok? Maksud saya... dia tidak apa-apa, kan? Ini bukan penyakit parah, kan? Dokter, tolong...”

“Tenang, Bu. Ini hanya infeksi ringan. Kami akan berikan cairan dan pemulihan lewat infus. Kalau kondisinya membaik, dua hari lagi sudah bisa pulang.”

Ayah mengangguk dan menarik ibu ke pelukannya. “Kami pilih kamar VIP, Dok. Saya urus sekarang.”

Beberapa menit kemudian, Ayah datang membawa kertas administrasi. Dokter mengangguk. Ayah masuk ke ruang observasi, lalu perlahan mengangkat tubuhku dari ranjang pemeriksaan—seperti dulu, saat Papa kandungku masih ada dan aku kecil jatuh saat main sepeda.

Tubuhku tak bergerak, tapi dalam tidur yang berat itu, aku merasa ada seseorang memelukku erat dari dalam diriku sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, aku tidak yakin siapa yang sedang tidur—dan siapa yang sedang bangun.

 

~

 

“Maafkan Ibu, Rika... maaf... maafin Ibu...”

Suara itu pelan, nyaris tak terdengar. Tapi getarannya nyata—menghuni tiap celah di ruang rawat yang hening. Tangan Ibu yang kecil tampak gemetar saat menggenggam tangan Rika yang masih terasa panas, seperti bara yang tak kunjung padam. Bekas air mata telah mengering di pipinya, tapi matanya tetap merah, seolah tidak pernah benar-benar berhenti menangis.

Ayah hanya duduk di sebelahnya, diam. Ia tahu tak ada kalimat penghibur yang cukup untuk menyusutkan rasa bersalah yang menyesakkan dada istrinya. Maka ia memilih menemani dalam sunyi—sunyi yang sama-sama mereka pelajari sebagai cara mencintai yang lain.

“Ibu terlalu keras ya... sama Rika?” Suara itu parau, lemah. “Ibu kira... Ibu kuat, Ibu kira Rika juga kuat. Tapi Ibu salah. Ibu... Ibu gak lihat. Ibu gak tahu Rika sampai begini karena... karena Ibu...”

Ayah menunduk. Ia menarik napas dalam, menahan gelombang emosi yang mengguncang dari dalam.

“Bu,” katanya lembut. “Ini bukan salah siapa-siapa. Mungkin Rika memang kelelahan. Dia baru selesai ujian, pikirannya banyak... tubuhnya juga mungkin ikut lelah.”

Tapi kalimat itu hanya melayang-layang, menggantung di antara tangis yang tak kunjung reda. Ibu masih memegang tangan Rika, seakan dari genggaman itu, ia bisa menyalurkan semua sesal dan cinta yang sempat tertunda.

 

---

 

Di Rumah

Sementara itu, di rumah yang kini terasa terlalu sepi, Reza duduk memeluk lututnya di pojok sofa. Matanya bengkak, hidungnya kemerahan, dan sesekali bahunya bergetar menahan tangis yang nyaris meledak lagi.

Raka, yang duduk di sebelahnya, terus mencari celah. Ia mencoba semua hal: mengajak ngobrol, memberi camilan, bahkan membuatkan susu hangat. Tapi Reza tetap bungkam.

“Kak Rika pasti baik-baik aja, Reza...” kata Raka akhirnya, suaranya mencoba terdengar yakin. “Palingan besok udah pulang. Terus kalian bisa makan kue ulang tahun bareng kak Rika... kamu gak usah khawatir”

Namun Reza tak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya pelan dan akhirnya bersuara lirih, “Kalau tau Kak Rika bakal sakit gini... Reza gak bakal marah sama Kak Rika kemarin. Reza gak sempat minta maaf...”

Raka terdiam. Ia menatap adiknya, lalu mengusap punggungnya pelan.

Tak ada kata-kata lagi setelah itu. Hanya dua anak laki-laki yang diam, menunggu seseorang pulang membawa hangat kembali ke dalam rumah yang terasa kehilangan nadanya.

 

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
XIII-A
726      540     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Sebelah Hati
847      596     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Me vs Skripsi
1851      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Dimension of desire
212      179     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Simfoni Rindu Zindy
650      516     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Atraksi Manusia
463      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Switch Career, Switch Life
351      295     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Fidelia
2072      893     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...