Bab 11 - Ulang Tahun Reza
---
Hari ini bukan hanya penutup minggu ujian yang membuat kepala mendidih, tapi juga hari yang ditunggu-tunggu oleh satu orang di rumah: Reza.
Adik Bungsu Rika itu hari ini genap 6 tahun.
Dari pagi udah heboh sendiri. Rambut masih awut-awutan, tapi semangatnya udah kayak dapet PlayStation baru. Tapi sayangnya, Rika masih harus bersekolah. Ujian hari terakhir, dan kepala Rika kayaknya belum siap untuk ngerayain ulang tahun siapa pun.
“Reza, kakak harus belajar dulu. Ujiannya belum selesai,” katanya tadi pagi sambil buru-buru masuk ke buku ke tas.
Reza langsung manyun. Suasana hatinya yang tadi warna-warni langsung jadi kelabu. Dia tidak meminta pesta, tidak meminta kado mahal. Cuma pengin kakaknya di rumah.
Akhirnya, dengan nada lemas, Reza minta ayah buat beliin kue aja, dibawa pulang.
“Iya, di rumah aja,” katanya pelan.
Ibu sempat mencoba bujuk, tapi Reza tetap keras kepala. Dia cuma pengin Rika. Bukan pesta. Bukan balon. Bukan tamu-tamu.
---
Di sekolah
Rika pikir Reza bakal tetap jalan sama ayah, ibu, dan Raka, jadi dia nggak buru-buru pulang. Ponsel dimatikan. Fokus ujian. Titik.
Sesi kedua baru mau mulai. Samudra yang duduk di sana tampak sangat kusut seperti benang kusut abis dimainin kucing.
"Sam, kamu butuh bantuan? Ada yang nggak paham?" bisik Rika sambil ngelirik ke arah catatan.
Samudra ngangguk pelan. “Trigonometri… kepala gue kebakar, Ri.”
Rika ketawa kecil, lalu buka buku catatannya.
"Bayangin, Sam. Ada tangga yang panjangnya 5 meter disandarin ke tembok. Jarak dari ujung bawah tangga ke tembok itu 3 meter. Nah, yang mau kita cari itu tinggi temboknya. Gimana caranya? Trigonometri, Sam."
Dia menulis rumus di halaman belakang:
sin θ = depan / miring
cos θ = sisi / miring
tan θ = depan / samping
Samudra melorot ke tulisan itu. “Astaga… apaan sih ini.”
Rika tersenyum. "Sabar, bayangin aja segitiga. Trigonometri itu cara ngukur sisi segitiga kalau kamu cuma tahu sebagian. Kayak puzzle."
"Ya Tuhan… otak gue bergetar."
---
Begitu ujian dimulai, Samudra langsung buru-buru mencari soal Trigonometri.
"Sebuah bayangan pohon sepanjang 4 meter saat matahari membentuk sudut 45°. Berapa tinggi pohon?" 0Samudra inget Rika bilang: tan 45° = 1
Berarti: tinggi pohon / 4 = 1 → tinggi pohon = 4 meter
Langsung tersenyum. warisan. Tapi pas berikutnya lembar kebuka…
"APAAN INI?!" tanya Samudra.
~
"Baiklah, ujian kali ini telah selesai. Terima kasih untuk kalian semua. Semoga hasilnya sepadan dengan usaha kalian, ya. Sampai jumpa minggu depan."
Bu Fitri akhirnya keluar kelas dengan langkah santai dan senyum tipis yang khas banget guru habis koreksi kertas ujian.
Beberapa detik kemudian, kelas langsung ramai kayak pasar kaget. Semua buru-buru keluar, heboh ngebahas rencana penyembuhan setelah seminggu kepala dicekokin soal Matematika.
Ada yang mau nonton, ada yang ngajak ke mall, ada juga yang langsung nyari tempat karaoke.
"Rika!" Suara Sarah terdengar dari belakang sebelum Rika sempat melangkahkan kaki keluar pintu.
Rika menoleh, “Hm? Kenapa, Sar?” Sarah udah berdiri di sebelahnya, senyum lebar, kelihatannya heboh banget.
"Mau ikut main gak? Ngopi-ngopi lucu, atau ke mana kek. Kita butuh refreshing, sumpah." Rika sempat mikir. Matanya menerawang, kayak lagi loading. Tapi akhirnya dia ngangguk pelan.
"Oke. Kita berdua saja?"
“Enggak dong,” Sarah nyengir, “Viona, Jeno, sama Samudra juga ikut. Makin rame, makin seru!”
“YEAY!” suara Viona tiba-tiba nyelip dari belakang. Ternyata dia belum keluar, bersama Jeno dan Samudra yang berdiri santai sambil noleh ke arah mereka.
Rika agak kaget, tapi tetap ngangguk. “Oke, gapapa.” Sarah melirik, agak ragu, “Mau izin ke Ibu dulu, Ri?”
Rika geleng pelan. “Gak usah, mereka lagi keluar juga.”
“Oke, mantap." Sarah langsung narik Rika pelan keluar kelas. Mereka berlima jalan ke parkiran sambil ngobrolin cafe mana yang enak buat ngademin otak.
Sarah boncengin Rika. Viona sama Jeno naik satu motor, sedangkan Samudra… ya, tetap sendiri kayak biasanya.
Begitu semua sudah naik dan helm dipasang, Sarah nyalain motornya.
"Gas ke Bintang Asmara yuk! Aku ngidam kopi karamel mereka," kata Sarah, langsung tancap gas sebelum Rika sempat siap mental.
“SARAH!” Rika spontan berteriak, tangan reflek megang bahu Sarah erat-erat. Dia lupa satu hal penting: Sarah tuh hobi ngebut tiba-tiba.
“Hehe, pegangan yang kenceng, Ri!”
~
15.30 WIB
“Reza… sudahlah, makan kuenya. Kakakmu itu nggak bisa dihubungi dari tadi,” ucap Ibu sambil menahan nada kesal. Reza hanya duduk diam di ruang makan, memandangi kue ulang tahunnya yang belum menyentuh sedikit pun.
Ibu sudah mencoba menelepon Rika berkali-kali, tapi tak ada jawabannya. Kekhawatiran memang ada, tapi melihat Reza yang terus menunggu dengan mata sedih, membuat marah Ibu perlahan-lahan mendesak kekhawatiran itu ke pinggir.
“Aku mau nunggu Kak Rika…” gumam Reza lirih, nyaris tak terdengar.
Ibu menghela nafas berat. Ayah yang duduk tak jauh darinya juga tampak khawatir, meski ia bukan ayah kandung Rika—nalurinya sebagai orang tua tetap bicara. Ia mencoba mengirim pesan sekali lagi, tapi tetap hanya satu centang.
"Apa kita coba hubungi gurunya saja ya? Rika nggak biasanya begini..." ujar Ayah, mahkotanya tajam.
"Ah, paling Kak Rika kabur. Biarin aja, Bu, Yah," sahut Raka enteng sambil tetap menatap layar handphone-nya.
Sorot mata Ibu langsung berubah. "Kamu tuh ya… jangan asal ngomong! Dia tetap kakak kamu, Raka."
Raka menjawab, langsung tertunduk. Reza masih belum bergeming, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja.
“…Kakak…” bisiknya lagi, seolah memanggil dari jauh.
~※
Kafe Bintang Asmara
"HAHAHA! IYA BANGET, COK! FANSNYA SAMUDRA TUH—EWH, GUE MALES BANGET. ALAY PARAH, BAHKAN SERING NGEJULIDIN GUE SAMA RIKA, PADAHAL YANG MULAI DEKET DULUAN ITU BOCAH DI DEPAN GUE INI!" Suara Sarah nyaris memecah kaca.
Ya, mereka sudah sampai. Duduk di meja pojok yang nyaman, tapi tetap tidak bisa menahan suara Sarah yang meledak-ledak.
Samudra mendesah untuk kesekiannya. Viona masih fokus mendengarkan Sarah curhat. Jeno sibuk dengan catatan kecilnya, entah nyatet apa. Rika? sejak datang tadi, nyaris tidak mengucapkan kata pun.
Viona akhirnya menoleh ke arah Rika. "Rika, kamu oke? Dari tadi diem banget… Ada yang mau kamu cerita?" tanyanya lembut, memberi ruang tanpa tekanan.
Rika diam sebentar. Lalu tiba-tiba berdiri.
“Aku ke kamar mandi dulu ya, sebentar…” Sarah refleks ikut berdiri, tapi menahan Viona. “Biarin dulu.”
Begitu Rika menghilang ke balik pintu toilet, Sarah langsung panik. "Kenapa sih? Gue salah ngomong lagi ya? Ih, GUE takut bikin dia nggak nyaman..."
Penjara Samudera Nyengir. "Iyalah. Mukanya udah kayak mau lempar kamu ke tembok. Parah lo, Sar."
PLAK!
Sarah nonjok pundak Samudra, sebal. “APASIH! GAK NGEHIBUR SAMA SEKALI!!”
Viona cuma ketawa kecil. Sementara Jeno masih diem, tangannya muter sendok di dalam cangkir kopi kayak lagi mikirin strategi perang dunia ketiga.
Tak lama kemudian, Rika balik lagi. Senyum kecil terbit di wajahnya.
“Maaf ya tadi… Sekarang aku mau cerita.”
Sarah melongo. “H-hah?” Viona langsung menyambutnya, "Santai aja. Yuk, cerita aja."
Rika mulai bercerita. Tentang rumah. Tentang tekanan. Tentang Raka yang menyebalkan. Tentang Reza yang jadi satu-satunya alasan ia masih bisa bertahan. Suaranya pelan, tapi jelas. Matanya berkaca-kaca, tapi nggak tumpah.
"Rika… itu berat banget. Tapi kamu keren, bisa terus berdiri sampai sekarang," ucap Viona pelan sambil menampar tangan Rika dengan lembut.
Sarah, yang tadi nyaris pingsan karena panik melihat Rika tiba-tiba berubah drastis, tapi akhirnya tersenyum lega. "Iya, Ri. Kalau kamu butuh cerita lagi nanti, cerita aja ya. Aku ada kok. Aku selalu ada."
Rika pun tersenyum, matanya jatuh satu-satu. Ia peluk Sarah dengan erat.
“Makasih, Sar. Aku tau, kamu teman yang bisa aku percaya.”
---
17.20 WIB
“Aku pulang…” Suara Rika terdengar datar, letih, dan tanpa semangat. Ia baru saja pulang setelah seharian bersama teman-temannya. Tapi, dari sekian banyak momen hari itu, hanya satu yang melekat kuat di pikiran—wajah Sarah saat curhat, dan pelukan hangat yang mereka bagi saat berpisah. Anehnya, tapi hatinya terasa lebih ringan dari biasanya.
Begitu membuka pintu rumah, suasana langsung terasa dingin. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang nyaman.
Tiba-tiba, Ibu muncul dari arah dapur. Berdiri dengan tangan bersedekap, matanya tajam menatap Rika, dan alisnya mengerutkan kening penuh amarah.
"Kamu ini dari mana, hah? Kenapa baru pulang?! Keluyuran sampai segini malam? Main sama siapa?! Sekalian aja gak usah pulang, Rika!" Bentakan itu meledak begitu saja, tanpa aba-aba. Membuat Rika membeku di depan pintu.
Dia mengira Ibu akan pulang larut seperti biasanya. Tapi kenyataannya, Ibu sudah di rumah. Dan sedang sangat marah.
Ayah datang dari arah ruang tengah, suaranya lebih tenang, tapi tetap terdengar kecewa.
"Rika... Reza sengaja menunggu kamu hari ini. Dia gak mau keluar, gak mau potong kue sebelum kamu pulang. Tapi kamu malah gak ngabarin, gak ada kabar sejak siang. Kamu ke mana aja, nak?"
Rika terdiam, perlahan mundur satu langkah. Kenapa tidak ada yang bilang? Dia benar-benar tidak tahu Reza menunggunya. Ia pikir hari ulang tahun itu akan berlalu seperti biasanya—sepi, formalitas keluarga, dan dilupakan esok pagi.
"Dia kecewa berat, Rika. Sampai sekarang belum mau menyentuh kuenya. Padahal dari jam sembilan pagi dia sudah duduk di ruang makan." Ayah menghela napas panjang.
Rika menunduk, merasa bersalah. “Maaf, Yah… Bu…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Ayah hanya mengangguk tipis. Ibu masih menatap tajam, matanya menyimpan campuran kesal dan kecewa yang di dalam.
"Lain kali kabari kalau mau keluyuran. Gak usah bikin kami semua nunggu dengan cemas kayak tadi. Kalau kayak gini terus, sekalian aja gak usah pulang!" Suara Ibu kembali naik.
Rika tidak menjawab. Matanya mulai panas, tapi ia tahan. Ayah akhirnya menggenggam tangan Ibu, menariknya perlahan menjauh sebelum kata-kata yang lebih menyakitkan keluar.
Rika hanya bisa masuk ke dalam ruangan. Mengunci pintu.
Menyender di baliknya, lalu menatap kosong ke langit-langit.
Bisa gak sih... sekali aja, cuma sekali dalam setahun... aku ngerasa dicintai tanpa harus diingatkan sama rasa salah?
Atau mungkin, bahagia itu bukan tempat aku pulang...
[Bersambung]