Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 5 -  Hari Pertama

---

 

Aku bangun pagi ini dengan kepala sedikit berat, seperti habis dihantam mimpi yang terlalu nyata. Atau memang bukan mimpi? Entahlah, aku terlalu lelah untuk mencari tahu. Bagaimanapun, hari ini… aku harus bersiap.

Hari pertama MPLS di SMA Elitara. Sekolah baruku.

Aku bangun lebih pagi dari biasanya, mungkin karena terlalu semangat, atau mungkin... karena tak bisa tidur dengan tenang semalam. Rasanya aneh. Tapi aku mencoba mengabaikannya.

Kupikir, mungkin ini cuma gugup biasa.

Saat bersiap, aku sempat melirik cermin. Ada pantulan diriku di sana—tentu saja. Tapi... untuk sepersekian detik, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajah itu terlihat... tunggal.

Aku menggeleng. Mungkin karena kurang tidur. Aneh banget, deh. Aku turun ke dapur. 

Ibu sudah menyiapkan bekal; ayam goreng kesukaanku, tumis kangkung, dan sambal terasi. Katanya biar semangat. Aku mengangguk pelan, mengucap terima kasih, meski seperti biasa, senyum Ibu tak terlalu bertahan lama. Tapi kali ini saya memutuskan tidak terlalu menonaktifkan.

Mungkin aku harus mencoba memulai hari ini dengan baik. Aku sudah menyiapkan semua perlengkapan MPLS. Seragam baru, sepatu baru, harapan baru. Tapi tetap saja, ada suara kecil di kepalaku yang berbisik...

> “Jangan terlalu percaya sama semuanya. Kamu tahu, kan, siapa yang pantas dipertahankan dan siapa yang akan menjatuhkanmu?”

Aku menarik napas. Suara itu—yang kadang muncul entah dari mana—masih terus ada. Tapi aku pura-pura tak dengar.

Aku tahu aku bisa membedakan mana teman yang layak dijaga, dan mana yang harus dijauhkan. Aku selalu bisa. Bukan karena sok tahu, tapi karena entah kenapa... aku merasa seperti pernah melalui ini berkali-kali. Seperti ada bagian dari diriku yang lebih tahu segalanya lebih dulu.

Dan mungkin... hari ini, aku akan menemukan siapa yang benar-benar bisa berdiri di sampingku. Atau... mungkin aku akan lebih mengenal bagian diriku yang selama ini bersembunyi.

 

~

 

Sarapan pagi tadi adalah Ikan kembung goreng dengan bumbu marinasi buatan Ibu. Rasanya khas—agak asin, gurih, dan penuh rasa sayang yang entah kenapa… membuatku merasa tenang.

Untuk sesaat.

Setelah sarapan, aku berangkat bersama Ayah. Tapi sayangnya, perjalanan kami tidak semulus harapan.

Sekitar 1,5 kilometer sebelum sampai sekolah, ban mobil Ayah tiba-tiba pecah. Aku nyaris memaki keras-keras di dalam hati.

“Sialan...” gumamku pelan, berusaha tetap tenang meski dalam hati mulai ribut sendiri.

Ayah terlihat panik. Tak ada bengkel di sekitar sini, katanya. Yang paling dekat pun harus jalan sekitar 500 meter lagi.

Ia langsung menelepon teman bengkelnya di ujung sana, sementara waktu terus berjalan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB. MPLS dan penyambutan murid baru akan dimulai pukul 06.45.

Aku mulai gelisah. Jemariku sibuk menggaruk-garuk kukunya sendiri. Cemas, tak tahu harus bagaimana.

"Yah… aku jalan kaki saja ya? Kalau begini, aku bisa telat."

Ayah menoleh, mengernyit, lalu terdiam sebelum mengangguk pelan. “Huft… baiklah, Nak. Maafkan Ayah ya. Ini ongkos tambahan buat kamu.”

Dia menyodorkan beberapa lembar uang.

Aku menggeleng pelan. “Enggak usah, Yah. Aku masih ada uang.”

Tapi Ayah tetap nyaman. "Ambil saja. Biar kamu nggak repot."

Akhirnya aku terima juga uang itu. Tapi walaupun sudah ada ongkos, angkot di daerah sini bisa disebut langka. Kalau ada pun, biasanya nongkrong di persimpangan depan sana, 700 meter lagi.

Tanpa banyak pikir, aku langsung berjalan cepat. Napasku mulai tidak teratur. Hati ini terasa berat. Kenapa sih, harus ada aja halangan di hari yang penting begini?

Padahal aku sudah berusaha untuk semangat… tapi selalu ada yang mendominasinya. Apa ini pertanda buruk? Atau aku sendiri yang memang sial?

Tiiin!! Tiiin!!

Aku menoleh, sedikit terkejut. Sebuah motor berhenti tepat di sampingku. Seorang gadis dengan rambut kuncir satu, usianya sepertinya seumuranku, tersenyum ke arahku.

"Hei! Kamu mau ke Elitara HighSchool kah? Mau nebeng?" tanyanya.

Aku sempat bengong. Tapi matanya terlihat tulus. Dan entah kenapa, rasanya beban tadi seperti diangkat. Aku mengangguk cepat.

“Terima kasih… aku Rika Wijaya. Kamu?”

"Sarah Andiya. Nggak masalah. Kita harus saling bantu, kan? Ayo, pegangan!"

BRUMM!!

Motor itu melesat. Aku hampir terjatuh ke belakang karena saking kencangnya.

“Hati-hati dong!” seruku panik. Sarah hanya tertawa. “Makanya, tadi aku udah bilang, aku suka ngebut!”

Ya Tuhan… tolong jaga nyawaku hari ini.

 

---

 

Sampai di sekolah

06.55 WIB

Aku dan Sarah masuk gerbang. Lapangan sudah penuh sesak. Para murid baru duduk rapi, dan suara dari pengerasan mulai terdengar. Sepertinya acara sudah dimulai.

“Wah, telat dikit. Mau menyelinap?” tanya Sarah sambil senyum nakal. Aku mengangguk. Memangnya ada pilihan lain?

Sarah memberi kode, lalu kami mulai membuka pelan-pelan, mencari tempat kosong. Dan entah kenapa, meski hari ini diawali dengan kekacauan, aku merasa…

…aku tak sendirian.

 

~

 

"Hari ini kita akan melakukan beberapa kegiatan, saling berkenalan, dan lain sebagainya. Sebelum itu..."

Sepertinya guru yang berdiri di atas panggung itu adalah kepala sekolah. Mungkin. Aku tidak peduli.

Tanpa banyak bicara, aku berasumsi masuk bersama Sarah. Kami berhasil menyusup ke barisan sesuai dengan posisi yang sudah ditentukan kemarin lewat grup.

Name tag-ku sudah kupasang. Untungnya, Sarah ada tepat di sampingku. Di depan, beberapa siswa tampak tak menyadari kehadiran kami. Sarah lebar tersenyum, puas karena misi penyusupan kami sukses.

“Haha! Syukur deh kita bisa menyelinap~” bisik Sarah sambil menyengir. Aku ikut tersenyum dan mengangguk. Tapi ternyata, kenyataannya tidak semanis harapan.

"Hei! Kalian telat ya? Kok baru kelihatan sekarang?"

Bah!?

Suara cowok tiba-tiba menyambar dari samping—dan tanpa aku sadari, suara ini bakal jadi salah satu yang paling—...

Sarah, yang semula nyengir, langsung mengernyit. Pandangannya tajam mencari sumber suara. Ternyata cowok berseragam berantakan, rambut cokelat kusut, mata hazel, tinggi sekitar 170 cm, dan... ya, lumayan tampan sih—eh, maksudku biasa aja.

Muka dia nyebelin.

"Hah? Siapa? Emang kita udah kenal?" balas Sarah, berkacak pinggang dengan nada ketus.

"Oh yaudah. ​​Kenalin, nama aku Putra Samudra. Panggil aja Samudra. Tenang, aku nggak bakal cepu. Cuma nanya doang tadi," jawabnya santai.

 Aku hanya mendalami dan kembali fokus ke Berbagai kepala sekolah. Sarah menimpali sebentar lalu ikut diam. 

Samudra tampak kecewa, lalu kembali ke barisan teman-temannya.

 

~

 

Empat jam berlalu.

Matahari terasa semakin panas, membakar tubuhku perlahan. Keringat mengalir dari pelipis saat kami semua masih harus bertahan di lapangan ini. Walaupun ada istirahat dan pepohonan rindang, panasnya tetap menusuk.

Aku duduk di bagian pinggir lapangan yang lebih sepi. Menatap sekeliling—semua murid sudah tampak saling bercengkerama. Punya teman-teman baru.

Aku menghela napas.

Sarah juga… dia cepat akrab, mudah bergaul dan ramah. Sedangkan aku?

Aku hanya mengipas-ngipas diri dengan buku tulisku sampai Sarah datang, membawa dua es teh manis di tangan.

“Rika! Nih, aku beliin es buat kamu. Panas banget, ya? Gila kali kita disuruh disini empat jam, guru-guru mau kita gosong apa gimana?” celetuknya sambil duduk di sampingku.

Aku menatapnya, “Uh… nggak usah repot-repot, Sar. Aku bisa beli sendiri.”

Sarah mengernyit, tapi tetap menyodorkan minumannya.

Aku menarik napas. “Huft... baiklah. Terima kasih. Nanti aku ganti uangnya.” Dia cepat-cepat menggeleng.

“Nggak usah! Santai aja, Rika. Harusnya kamu senang dong kalau ditraktir? Jadi kamu nggak perlu keluarin uang,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Aku mengangguk pelan dan mulai meminum es teh itu. Sarah senang melihatku menerimanya. Kami diam sebentar, menikmati angin sepoi-sepoi yang menghapus panas walau hanya sebentar.

Tapi... tentu saja, ketenangan itu nggak bertahan lama.

Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang, cowok aneh tadi—Samudra—muncul lagi. Dengan senyuman khas yang menyebalkan.

“Hai kalian, berdua aja nih? Yang tadi telat datang bareng?”

Aku menyipitkan mata, mencoba membaca niatnya. Sarah, walau ramah, lebih nyaman dengan perempuan. Untuk cowok sok akrab kaya Samudra? Dia bisa langsung jadi sinis.

“Ya? Kenapa? Masalah buatmu?” balas Sarah ketus.

Samudra mengangkat tangan. “Santai dong. Aku nggak cari masalah. Mau tanya aja, boleh gabung?”

Aku melotot, menatap Sarah. Sarah juga menatapku. Kami sama-sama menggeleng pelan.

Samudra mendesah kecewa. “Hei, ayolah. Aku juga pengen punya teman. Aku udah kenalin diri tadi. Kalian itu Rika Wijaya dan Sarah Andiya, kan? Aku baca dari name tag kalian. Salam kenal, ya.” Ia menyodorkan tangan untuk berjabat.

Sarah menatap datar.

“Basi banget kenalannya. Jabat tangan? Apaan tuh? Kau kira ini acara formal?” Samudra mengangkat alis, lalu menarik tangannya kembali.

“Ah… kukira itu bisa jadi awal kenalan juga. Maaf deh kalau nggak cocok.” Sambil garuk-garuk tengkuk, canggung.

Aku akhirnya membuka suara.

"Yaudah, sini gabung aja. Tapi emangnya kamu gak punya teman lain? Aneh banget cowok sendirian, nongkrong sama dua cewek."

Samudra langsung tersenyum dan duduk di sampingku.

"Yah...gimana ya. Aku pengen kenal kalian. Kalian bakal jadi teman cewek pertamaku." Aku memutar mata malas. Jangan-jangan cowok ini tipikal playboy?

"Eh! Tenang aja. Aku gak niat godain atau apa," katanya cepat, seolah bisa membaca pikiranku. Aku cuma dipaparkan dan diam lagi. Sarah terus melototinya. Entah kenapa. Tapi sudahlah, biarkan saja.

 

~

 

Beberapa jam kemudian...

Akhirnya kami semua dibolehkan pulang. Aku berjalan lemas menuju gerbang sekolah. Saat sampai di parkiran—mobil abu-abu milik Ayah tidak ada.

Huft… jangan-jangan bannya belum diganti juga?

Serius, aku harus jalan atau naik angkot? Ugh, laki-laki banget.

“Rika!!”

Suara Sarah terdengar dari belakang, diiringi deru motornya. Aku menoleh dan sedikit mundur saat dia mendekat.

"Mau bareng lagi nggak? Rumahmu kan searah," sambil tersenyum cerah. Semangatnya kayak nggak ada habisnya, beda banget pas ketemu Samudra tadi.

"Eh? Kok malah bengong? Aku tanya lho, mau bareng apa nggak? Aku saranin sih kamu mau," katanya, popularitas naik satu, gaya khas dia kalau bercanda setengah serius.

Aku menggeleng pelan. “Nggak usah deh… Terima kasih. Aku takut cuma ngerepotin dan ngabisin bensin kamu.”

Sarah langsung menggeleng. “Ngak kok, buruan naik!”

Aku mau nolak lagi, tapi sepertinya Sarah bukan tipe yang mudah menyerah.

Akhirnya, aku naik ke jok belakang. “Besok aku bawa helm tambahan deh,” katanya. Aku ingin protes, tapi—

"Udah, diem aja Rika. Aku nggak keberatan. Senang banget, bisa ketemu teman kayak kamu."

Senang? Teman seperti aku?

Aku ingin bertanya, tapi—

“PEGANGAN!!!”

WUSHHH!!

Motor Sarah melaju kencang. Aku nyaris terjungkal ke belakang kalau tidak refleks memegang pundaknya

“SARAH!!” teriakku panik. Sarah terkikik. “Aku sudah bilang dari pagi, aku suka ngebut!”

Aku jadi semakin yakin. Ini juga salah satu alasan kenapa aku malas nebeng motor sama dia...

Ya Tuhan, tolong jaga nyawaku. Lagi.

 

[Bersambung]

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Maju Terus Pantang Kurus
904      584     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
MANITO
1068      761     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Di Bawah Langit Bumi
2384      920     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Happy Death Day
561      308     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Tic Tac Toe
386      312     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1930      1173     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Di Antara Luka dan Mimpi
612      354     54     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Kacamata Monita
834      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...