Bab 4 - Rumah yang tak Menyambut
---
Sudah berhari-hari saya menunggu hari ini—hari pengumuman tes esai. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasa penasaran dan takut menyatu, menyesaki dadaku.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Tak ingin melewatkan pengumuman ini, padahal hanya dikirim lewat grup HP. Setelah menyalakan ponsel, jemariku buru-buru mencari grup PPDB Elitara HighSchool. Tapi belum ada pengumuman apa-apa, hanya pemberitahuan singkat: hasil tes akan diumumkan pukul 12.00 WIB.
Aku menarik napas panjang dan meletakkan ponselku di meja belajar. Jantungku masih berdebar. Kulirik jam dinding di sudut kamar—baru pukul 09.00 pagi. Apa aku terlalu bersemangat?
Menghela napas pelan, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke dapur. Ibu baru saja memanggil dari sana. Kalau libur seperti ini, sarapan memang selalu lebih siang dari biasanya.
Begitu masuk, aroma khas saus tiram langsung menyergap. Kerang Dara. Makanan favorit Raka.
Kulihat Raka berdiri di sebelah Ibu, memperhatikan isi wajan yang mengepul. Dia tampak santai, dengan senyuman kecil yang seolah tahu hari ini adalah hari keberuntungannya.
Tak lama kemudian, Ibu melirik ke arahku. “Sini, Rika, bantu Ibu. Raka, kamu duduk saja di kursi. Biar kakakmu yang bantu.”
Raka langsung menurut, entah karena benar-benar patuh atau sekadar mencari muka. Aku melangkah ke arah rice cooker, mengambil nasi, lalu menata meja makan. Gelas, piring, semua kutata serapi mungkin. Aku mencoba mengalihkan fokus ke hal-hal kecil agar pikiranku tak terlalu buruk.
Raka memainkan ponselnya tanpa peduli. Seolah kehadiranku hanya bayangan.
Sepuluh menit kemudian, makanan akhirnya siap. Tepat saat Ayah dan Reza datang ke dapur. Reza sepertinya baru selesai mandi—pasti dibuat Ayah. Kebiasaannya memang begitu saat libur.
Wajahnya berkata Reza berubah cerah saat melihatku.
"Kakak! Hari ini pengumuman tesnya, kan?"
Aku tersenyum. Hangat. Suaranya seperti lampu kuning yang menenangkan.
“Iya, hari ini. Mau temenin Kakak buka hasilnya nanti jam dua belas?”
Reza mengangguk cepat, matanya berbinar. “Mau banget, Kak!”
Tiba-tiba dunia tak terasa seberat tadi.
Ayah ikut tersenyum. “Ayah juga penasaran, tapi sekarang makan dulu. Saus tiramnya sudah wangi banget nih.”
Aku duduk di kursi, Reza di sampingku. Kami makan bersama, meski terasa seperti ada dinding yang terpisah.
Ibu bicara dengan Ayah dan Raka. Mereka tertawa saat Raka menceritakan nilai—92 untuk Matematika. Katanya, itu alasan kenapa Ibu memasak makanan favoritnya hari ini.
Hm. Sangat mengecewakan, katanya. Dulu… aku juga pernah punya nilai seperti itu. Tapi, seberapa hebatnya aku dulu, tetap tak terlihat di mata Ibu. Selamat, katanya. Hanya itu.
Aku diam, makan perlahan. Suara tawa mereka bergema, tapi tidak terasa dekat. sepertinya-olah aku duduk di ruang makan yang berbeda. Reza pun ikut diam, hanya sesekali memikirkanku.
Kadang aku bertanya-tanya—yang jadi anak tengah siapa, sih? Reza terlihat lebih dewasa dari Raka. Tapi sudahlah… percuma dibahas. Ada hal-hal yang lebih baik kutelan sendiri.
~~~
Jam menunjukkan pukul 11.50.
Aku sudah duduk di atas kasur, Reza di sampingku. Sejak tadi dia tak berhenti bertanya kapan pengumuman keluar. Tapi bukannya kesal, aku malah merasa… hangat. Untuk sekali ini, ada seseorang yang peduli.
Yang menunggu hasil ini bersamaku. Untuk sekali ini, aku tidak merasa sendirian.
Aku mengusap kepala Reza sekali lagi, perlahan dan lembut. Reza memandang sambil tersenyum, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang sedang dimanja.
“Kak, kenapa rasanya lama banget ya?” tanyanya, suara polos dan penuh rasa penasaran.
“Sekarang masih jam sebelas lima puluh, Reza. Sepuluh menit lagi,” jawabku sambil tersenyum kecil.
Dia mengirimkannya dengan pelan, terlihat tidak sabar. Tubuh mungilnya semakin mendekat ke arahku, dan tanpa sadar aku merangkulnya agar lebih dekat. "Kamu penasaran banget ya? Kenapa?"
Reza mengerutkan kening, mencoba berpikir. "Karena ini penting buat Kak Rika kan? Reza ikut senang kalau Kak Rika juga senang!" jawabnya penuh semangat, senyumnya lebar, matanya berbinar lucu.
Dan lagi-lagi… ada rasa hangat itu. Rasanya aneh, tapi nyaman. Reza… satu-satunya orang yang menunjukkan kepeduliannya tanpa pura-pura di rumah ini. Meskipun dia tahu aku bukan kakaknya yang sebenarnya, dia tetap menyayangiku seperti keluarga.
~
Waktu berjalan.
Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Aku langsung membuka grup. Belum ada pengumuman resmi, tapi salah satu admin sedang mengetik. Jantungku berdetak cepat, diterima dingin, kakiku tak bisa diam.
“Semoga… Semoga aku diterima… Tolong,” bisikku dalam hati.
TING!
File pengumuman masuk.
aku langsung mendownloadnya.
Gulir... cari huruf R...
78. Rafael Adiyono
79. Rai Bambang Gusti
80. Razka Raden Wira
81. Raina Putri
82. Rani Wirajaya
83. Rika Wijaya
Itu... Itu aku.
Namanya. Ada.
Namaku ada di situ. Aku benar-benar... diterima.
Air mataku jatuh begitu saja. Tanpa aba-aba. Suaraku hilang. Tenggorokan tercekat. Mataku panas.
Aku menunduk sampai keningku menyentuh kasur. Aku... berhasil.
“Terima kasih, Tuhan...” bisikku lirih. “Aku berhasil… Papa, aku berhasil.”
Reza memelukku tiba-tiba, ikut menangis. "Kakaaak! Selamaaat! Reza bangga! Kakak masuk sekolah itu!"
Aku hanya bisa tersenyum, menangis, dan menarik Reza dalam pelukan erat.
“Iya, Reza… Makasih ya.Kamu percaya sama Kakak.”
~~
Aku berjalan ke ruang tamu.
Ayah dan Ibu sedang duduk berbincang. Sejujurnya, saya hampir lupa kalau Ibu sebelumnya menolak ideku mentah-mentah untuk masuk SMA.
Mereka menoleh begitu aku datang.
“Ada apa, Rika?” tanya Ayah duluan, bingung tapi tampak penasaran. Ibu tampak datar, seperti biasa. Aku tarik napas dalam-dalam, senyumku sulit dibendung.
“Aku… aku diterima di Elitara HighSchool, Yah. Bu.” Ayah langsung berdiri, wajahnya berbinar.
"Wah! Selamat, Rika! Ayah bangga banget sama kamu! Ayah tahu kamu bisa!" Jawabnya, tatap dengan lembut.
Aku mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia hanya…diam. Lalu menjawab singkat, “Hm. Selamat. Jadilah lebih mandiri. Kamu sudah SMA. Jangan sia-siakan.”
Ayah menghela napas sambil tersenyum canggung. “Bu… ayolah. Sedikit aja. Kasih apresiasi buat anakmu. Dia butuh tahu kita bangga.”
Ibu bersinar pelan, matanya tak lepas dari layar TV. “Aku sudah bilang selamat, kan?”
Aku merasa hatiku ingin meledak dan berteriak pada Ibu. Bisakah kah dia mengucapkan kata-kata selamat itu dengan senyuman, meski hanya sedikit? Apa... aku sudah tidak berarti lagi dia?
Tenggorokanku terasa dicekik sesuatu yang tak terlihat, seperti kalung besi yang menekan leherku—membuatku kelu.
“Tidak apa, Ayah. Terima kasih… Aku ke kamar dulu,” ucapku dengan senyum kecil yang hambar. Ayah memandang dengan iba saat aku mulai berbalik.
Begitu sampai di kamarku, Reza sudah tidak ada. Mungkin diajak bermain oleh teman-temannya. Aku mengunci pintu, lalu bersandar di belakangnya.
Kepalaku berat. Hati terasa seperti karung pasir yang berliku di dadaku. Kenapa sih...kenapa Ibu gak pernah lihat aku? Sedikit aja… hargai aku. Aku capek...
Kalimat itu hanya bergema di dalam kepala, tapi terasa seperti seseorang yang mengucapkannya dengan keras-keras dari balik tengkorakku.
“Sudah kubilang, kalau kamu gak mau bicara... aku yang akan bicara.”
Suara itu—bukan milikku, tapi terasa... familier. Aku memejamkan mata erat. Napasku naik turun.
"Berhenti... bisa nggak? Aku gak mau denger sekarang."
" Kalau kamu terus-terusan begini, aku gak bisa diam. Kamu lemah. Dan aku benci saat kamu jadi lemah seperti ini."
Suara itu… seperti aku, tapi bukan aku.
Aku membuka mata perlahan. Masih di kamar. Tapi... dunia di sekitarku terasa agak mencengangkan, seperti ada yang bergeser.
Bayangan samar melintas di ujung pandanganku. Bukan sosok yang jelas—hanya siluet kabur yang menyerupai tubuhku. Berdiri memunggungiku. Tapi saat aku menoleh, dia hilang.
Aku tiba-tiba takut melihat diriku sendiri di cermin.
Itu aku... tapi matanya seperti bukan milikku.
“Kamu harus berhenti memendam semuanya, Rika. Atau aku yang akan keluar.”
Kalimat itu... bukan suara luar. Itu muncul dari dalam. Tapi nadanya terlalu asing untuk bisa kusebut milikku.
Aku menggeleng cepat. Tubuhku gemetar, keringat dingin membasahi pelipis. Apa yang terjadi padaku?
Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh—
NGINGGG!
Suara nyaring tiba-tiba meledak di kepalaku. Dunia terasa jungkir balik.
Kepalaku berputar-putar seperti komidi putar rusak. Lalu...
BRUK.
Hitam. Kesadaranku menghilang.
[Bersambung.]