Bab 3 – Buku Harian
———
Hari keempat sejak tes esai Elitara HighSchool. Katanya, hasil sepuluh keluar hari lagi. Dua minggu menunggu—sabar atau pura-pura sabar, sama saja.
Selama itu, aku membantu Ibu seperti biasa. Saat pulang dari tes, Ibu cuma diam. tatapannya datar, dingin. Nggak tanya, gak peluk, cuman... kosong. Tapi ya sudahlah. Mungkin aku sudah kebal. Atau terlalu lelah buat peduli.
Raka juga makin aneh. Sering pulang dalam kondisi lelah, sakit, diam-diam nyembunyiin sesuatu. Tapi aku juga tidak punya energi untuk tahu.
Hari ini aku baru sempat nulis catatan yang seharusnya kutulis tiga hari lalu. Tapi rasanya... tiga hari itu hilang. Nggak ada bayangan apa-apa. Kosong. Bising. Riuh.
> "Tulis. Sekarang. Sebelum hilang lagi."
Kubuka halaman ke-52. Buku ini kusebut diary, meskipun sering kali hanya menjadi tempat sampah pikiranku. Aku mulai nulis sejak kelas tiga. Isinya campur: cerita, keluhan, ocehan, luka.
Menulis itu semacam pengungsi. Kadang-kadang aku nyiptain tokoh-tokoh fiksi seumuranku. Mereka tidak bahagia. Aku membuat mereka disakiti. Disudutkan. Dikhianati. Mereka luka—persis aku.
Salah satu tokohnya Ralyn. Ayahnya pergi tepat di depan matanya. Setiap malam, ia dihantui mimpi yang sama. Lalu ada Kirana. Diary-nya suka terisi sendiri. Bukan karena dia lupa... tapi karena bukan dia yang nulis.
Aneh. Tapi aku suka konsep itu. Karena kadang, aku juga ngerasa kayak gitu.
Beberapa kali aku nemuin halaman diari yang penuh tulisan. Tapi itu bukan tulisanku. Tulisan familiar, tapi bukan yang buat.
> "Kamu janji mau nulis. Jangan kabur."
Suara itu. Lembut, tapi maksa. Di kepalaku. Lagi. Aku tarik nafas. Lalu mulai menulis.
---
— Ayah yang terkasih,
Tiga hari lalu aku ikut tes Elitara. Aku belajar keahlian tenaga. Ibu tidak peduli. Raka malah seolah yakin aku gagal.
Tapi aku tetap belajar. Karena ini bukan cuma soal sekolah, tapi soal diriku sendiri. Pembuktian garam. Sejak Papa pergi... banyak yang ikut hilang. Termasuk ingatanku.
Pernah aku bangun dan sadar satu hari penuh telah lewat, tapi aku tidak ingat apa-apa. Pernah juga Ibu minta maaf karena menghukumku, padahal aku bahkan tidak ingat salahku apa.
Aneh, ya?
Tapi aku terus jalan. Meski kadang rasanya napas ini berat karena hal-hal yang tak terlihat tapi menghimpit.
Aku cuma ingin Papa ada. Dengar aku cerita, seperti dulu. Saat Papa berkata, “Tidak apa-apa kalau gagal. Yang penting bangkit.”
Tapi sekarang... suara Papa pun mulai hilang dari ingatanku.
Doakan aku, Pa. Semoga aku diterima di Elitara. Aku ingin mencapai tempat yang sama—tempat Papa pernah berdiri.
Terima kasih sudah membaca ini. Meski hanya lewat tulisan.
—Rika
---
Mataku basah. Menangis saat menulis diary sudah jadi kebiasaan. Terutama saat menyentuh hal-hal yang terlalu jujur—tentang Papa, atau tentang aku sendiri.
Itu sebabnya akhir-akhir ini aku makin jarang menulis. Terlalu banyak yang harus ditahan. Terlalu banyak luka yang terasa saat diluapkan.
Tutup bukuku. Kuselipkan lagi ke laci, menyembunyikannya sebaik mungkin. Bukan buat dibaca siapa pun.
Aku duduk di kasur sambil memeluk lutut. Tanganku gemetar. Napas pendek. Sesak yang familier.
> “Menangis saja, tidak apa-apa, Rika...”
Suara itu muncul lagi. Lembut. Menenangkan. Seperti pelukan yang tidak nyata.
“Hah…” Aku menarik napas panjang.
REM!
"KAK RIKA! OI! KAU NGAPAIN SIH?! AKU UDAH MANGGIL BERKALI-KALI!" Tubuhku tersentak. Raka membuka pintu kamar tanpa izin. Wajahnya heran.
“Kenapa sih?” tanyaku datar. Suaraku serak.
“Aku mau kamu bantuin tugas,” ucapnya enteng. Santai, semuanya seolah biasa saja. Sepertinya kakaknya ini tidak sedang berantakan.
Aku turunkan kaki ke lantai. “Raka, bisa minta baik-baik. Nggak perlu banting pintu.”
Dia cuma angkat bahu. “Ya udah.Sekarang aja deh.” Dan saat itu saya sadar...
Menjadi kakak artinya harus kuat, bahkan saat sedang jatuh. Harus tetap berdiri, meski hati sedang remuk.
Aku bangkit. Berat. Tapi tetap berdiri.
“Yasudah. Ayo.”
[Bersambung]