Bab 1- Suara di Kepalaku
---
Hai, kenalin. Namaku Rika Wijaya. Anak perempuan pertama dari tiga bersaudara. Aku punya dua adik laki-laki: Raka dan Reza. Jarak usia kami bertiga jauh berbeda—tujuh tahun denganku dan Raka, lalu tiga tahun antara Raka dan Reza. Tapi rasanya... tetap aja seperti kami tinggal di tiga semesta yang sama-sama asing.
Aku lahir di keluarga yang sederhana. Tidak kaya, tapi juga tidak bisa dibilang kekurangan. Meskipun demikian, ada masa-masa di mana ekonomi keluarga kami benar-benar goyah. Terutama ketika ayah kehilangan pekerjaannya dan ibu harus memutar otak agar dapur tetap mengepul.
Saat saya ingin masuk ke SMA favorit, saya belajar keahlian tenaga. Mimpiku sederhana: melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi orang tuaku—terutama Ibu—memaksa agar aku masuk SMK saja. “Biar bisa langsung kerja,” katanya. Tapi aku tetap puas.
Aku memilih Elitara HighSchool (EHS,) sekolah paling favorit di daerahku. Jaraknya cuma sekitar 2,7 km dari rumah. Ada lebih dari seribu lima ratus peserta yang mendaftar, dan saya harus bersaing dengan mereka. Belajar adalah satu-satunya senjataku.
---
Malam itu, dua hari sebelum tes tertulis di Elitara HighSchool.
Aku duduk di lantai kamar, beralaskan tikar tipis, dengan suara hujan yang menerpa atap seng rumah kami. Tanganku sibuk membolak-balik halaman buku, tapi pikiranku ke mana-mana.
Saat aku baru hendak mulai belajar, Ibu tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Tangannya bersedekap di dada, ekspresi dingin.
"Belajar lagi? Buat apa sih, Ri? Kamu serius mau masuk ElitaraHighSchool? Ujung-ujungnya juga ke dapur," katanya ketus. Blak-blakan seperti biasa.
Aku melihatnya, lelah. Lelah karena selalu harus membela keinginanku sendiri di rumahku sendiri.
"Memangnya kenapa, Bu? Aku nggak mau jadi kayak Ibu, yang hanya lulusan SMA. Ibu aja bisa sekolah sampai SMA, kenapa aku enggak?"
Ibu melotot. "Dasar! Berani-beraninya kamu membantah Ibu, hah?!"
Aku menghela napas dan menunduk. Selalu begini.
"Sudahlah! Tinggalkan buku itu. Bantu Ibu di dapur," sambungnya sambil berbalik.
Aku langsung menolak, pelan tapi tegas.
"Nggak dulu, Bu. Raka kan ada, dia udah agak gede juga. Sekali-kali, biar dia yang bantu Ibu. Jangan aku terus."
Ibu menoleh dengan cepat. "Rika, kamu itu gimana sih? Raka masih bocah! Baru kelas dua SD! Dia belum bisa membantu Ibu sepenuhnya. Kamu kan udah besar. Masa bantu Ibu aja nggak mau?"
Kelas dua masih kecil? Dulu aku juga disuruh ini waktu seumuran dia. Tapi ya, aku anak pertama. Harus bisa semuanya. Harus kuat. Harus diam. Harus...ngerti.
“Pokoknya, kalau tiga menit lagi kamu belum ke dapur, jangan harap ada jatah makan malam buat kamu!” katanya keras, lalu pergi tanpa menutup pintu kamar.
Aku diam. Menghela napas keras. Rasanya ingin berteriak. Ingin menangis. Tapi tak ada gunanya. Siapa yang peduli?
Kalau nanti aku sakit, Ibu juga tidak akan benar-benar peduli. Mungkin hanya akan berkata, “Makanya jangan bandel.” Padahal aku cuma ingin satu hal: Dipahami.
---
Tiga menit berlalu tanpa aku sadari.
Perutku lapar, tapi kepalaku lebih penuh dari isi lemari dapur. Penuh suara-suara yang bukan suara Ibu… tapi bukan juga suara yang pernah kuakui sebagai milikku.
Aku tetap duduk di sana. Tidak bergerak. Tidak juga menangis.
Sampai tiba-tiba...
Ada sesuatu yang berdesir di kepalaku. Bukan rasa sakit. Bukan juga membuat pusing. Tapi seperti—ada yang mengintip dari dalam dadaku.
> “Kenapa kamu diam saja?”
Suara itu... bukan suaraku. Tapi muncul di dalam kepalaku.
Tenang. Dingin.
Dan entah kenapa... rasanya lebih dewasa daripada aku sendiri.
> “Sudah cukup kamu terus disalahkan.”
Aku menelan ludah. Napasku pendek. Telingaku berdenging pelan.
“Siapa…” bisikku tanpa sadar. Tapi tak ada jawaban.
Hanya keheningan. Dan degup jantungku sendiri.
---
Aku berdiri. Pelan, kaku, seolah tubuhku bukan sepenuhnya milikku.
Entah kenapa aku bergerak ke meja belajar, tapi bukan untuk membuka buku.
Tanganku mengambil kertas kosong, dan tanpa benar-benar sadar, aku mulai menulis.
Satu kalimat.
> Kalau kamu tidak bisa bicara, aku akan melakukannya.
Aku membeku.
Itu tulisannya dapat diterima. Tapi... bukan pikiranku. Bukan kata-kata yang biasa kupakai.
Tanganku siap di atas kertas. Aku menatap tulisan itu lama, lalu menoleh ke cermin kecil di sudut meja.
Dan saat pandanganku bertemu bayanganku sendiri, untuk sesaat...
Aku merasa sedang melihat orang lain.
---
Langkah kaki terdengar dari luar kamar. Ibu. Lagi. Tapi aku tak lagi gemetar. Entah kenapa, rasa takutku... hilang.
Bukan karena aku jadi kuat. Tapi karena aku tahu... Malam ini, ada bagian dari diriku yang gak lagi diam.
~
"Rika! Ya ampun, kenapa kamu malah berdiam diri di situ? Ibu sudah memanggilmu dari tadi. Ayo, ke dapur. Sudah kan belajarnya? Ibu minta soal maaf tadi... Ayo sekarang makan bersama," ujar Ibu, lagi-lagi masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku mengerjap. Eh? Kok aku tiba-tiba ada di sini? Dan... kenapa Ibu minta maaf?
Aku mengangguk pelan. "Iya, Bu. Baik. Aku akan segera sampai di sana setelah membereskan buku-buku ini."
Ibu mematung sesaat, lalu mengangguk dan melangkah pergi, menutup pintu kali ini—pelan. Aku memandang meja belajarku. Kertas tadi masih ada.
Kalimat itu masih terbaca jelas, seolah menatap balik ke arahku.
> Kalau kamu tidak bisa bicara, aku akan melakukannya.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Lagi-lagi kejadian seperti ini.
Sebenarnya... ada apa sih dengan diriku sendiri? Ah, sudahlah. Aku lapar.
---
Di dapur, yang juga merangkap ruang makan kecil kami.
Ayah, Raka, dan Reza sudah duduk rapi, masing-masing dengan piring berisi makanan. Suara sendok bertemu piring terdengar pelan, menenangkan.
Ibu duduk di samping Ayah. Aku mengambil tempat di samping Reza, adikku yang paling kecil, yang kini sudah naik kelas lima.
"Kak kok lama banget sih?! Kita dari tadi loh nunggu!" celetuk Raka lantang. Suaranya seperti biasa—keras, percaya diri, dan tanpa beban.
Aku tersenyum miris. Kapan ya aku bisa bicara segamblang itu?
"Apa sih, Bang? Cuma sepuluh menit. Emangnya lama?" sahut Reza sambil mengambilkan nasi dan lauk untukku.
Ayam goreng bagian sayap—kesukaanku. Timun, sayur tumis, dan sambal tersusun rapi di piringku.
Satu porsi yang utuh. Lengkap. sepertinya... aku juga penting. Aku perlahan tersenyum, lalu mengusap kepala Reza, mengacak-acak rambutnya.
“Makasih, Dek,” ucapku. Reza menyampaikan lebaran, bangga dengan tugas kecilnya.
Ayah hanya menggeleng pelan sambil menahan senyuman. “Sudah-sudah, yuk kita makan. Baca doa dulu.”
---
Tanganku menyatu di dada, bibirku bergerak mengikuti doa. Tapi pikiranku… masih tertinggal di kamar. Di tulisan itu. Suara asing yang terasa begitu... familiar.
Malam ini aku makan dengan keluarga, duduk tenang di antara mereka. Tapi hatiku tahu:
ada bagian dariku yang belum pulang.
Dan mungkin, bagian itu... sedang menunggu saya menyadarinya.
[Bersambung]