Prolog - Kenangan
....
Hari itu adalah hari di mana Rika baru menginjak umur 5 tahun. Ia lahir di keluarga kecil yang penuh cinta dan tawa. Orang orang tua adalah sosok yang sangat dipahami. Terutama Papa Rika—beliau adalah segalanya bagi Rika, putri semata wayangnya yang selalu dimanja, tapi juga dididik untuk jadi berani.
Sejak kecil, Rika selalu mendapatkan kasih sayang. Tapi Papa juga mengajarkan bahwa kelak, ketika Rika mulai merasa stres atau frustasi karena dunia terlalu sempit, ia harus bisa membela diri sendiri. Jangan diam saja, jangan takut bersuara.
Pagi itu seperti biasa. Rika bersiap berangkat ke taman kanak-kanak. Tas Barbie pink digantung di punggung kecilnya, dan pipinya dicemongin berbeda oleh Mama yang heboh sendiri.
“Rika, ayo kita berangkat!” teriak Papa dari luar. Suaranya terdengar hangat dari balik jendela.
“Sebentar pa!!” sahut Rika sambil manyun. “Mamaaa, ayo buruan!!”
“Iya iya, sabar dong kamu ini!” Mama tergelak, lalu memasukkan bekal nasi dan sayap goreng ke dalam tas Rika. Setelah itu, tangan lembutnya menggandeng Rika ke halaman depan.
Papa sudah duduk di balik kemudi, mobil abu-abu kesayangan keluarga itu sudah dipanaskan sejak tadi. Rika naik ke kursi depan dan menutup pintu pelan.
“Hati-hati ya, putri Mama,” ucap Mama lembut sambil mengusap rambut Rika dan mengecup keningnya.
“Iyaa ma…” sahut Rika, agak jengkel karena Mama sudah mencium keningnya tiga kali sejak tadi. Papa tertawa pelan dari kursi pengemudi.
“Hati-hati juga, Pa,” kata Mama dengan suara lembut yang baru keluar saat bicara pada Papa.
“Iya, Ma. Kalau begitu, kita berangkat ya…”
Mobil itu pun perlahan meninggalkan garasi. Di balik jendela, Mama mengganti tangan. Rika sempat membalas, tapi lebih tertarik mengutak-atik resleting tas Barbie-nya.
---
Hari-hari berlalu.
Rika tampak semakin ceria setiap harinya. Tapi ada satu malam yang terasa berbeda. Malam sebelum ulang tahunnya yang ke-6, Papa tidak ikut makan malam. Rika menemukan Papa di garasi, jongkok, membetulkan sesuatu di sudut ruang itu.
“Papa lagi apa?” bisik Rika dari balik jendela, tapi sebelum sempat keluar, Mama menariknya masuk kembali.
"Eh eh! Jangan ngintip!" kata Mama pelan. “Nanti nggak kaget dong.”
Rika menggembungkan pipi. “Aku ingin tahu…”
Mama terkiik. “Tidur dulu yang manis, besok kamu bakal bahagia, sayang.”
Dan benar saja—kebahagiaan itu dimulai sejak pagi.
~
Hari ini adalah ulang tahun Rika. Bocah kecil itu sudah senyum-senyum sejak membuka mata. Tapi anehnya, Papa dan Mamanya belum mengucapkan kata pun. Tidak ada “selamat ulang tahun,” tidak ada lilin di meja makan. Hanya suara piring dan sendok.
Rika tak tahan.
“Ehh, Papa, Mama, hari ini hari apa ya?” tanyanya polos.
Papa dan Mama saling melirik, pura-pura bingung. “Hari minggu kan?” jawab Papa. Wajah Rika langsung murung. Melihat itu, Papa dan Mama tertawa kecil tak tahan lagi.
“Kenapa Papa dan Mama tertawa? Memangnya melupakan hari ulang tahun ku lucu ya?!” Suaranya mulai bergetar.
Sebelum air mata tumpah, Papa segera mengangkat Rika ke pangkuannya. Mama langsung menyodorkan sepiring nasi dengan ayam goreng sayap dan tumis sayur—favorit Rika.
"Papa dan Mama hanya bercanda, sayang. Mana mungkin kami lupa ulang tahun putri kesayangan kami?" kata Mama pelan.
Tapi Rika masih menyembunyikan wajahnya di leher Papa.
“Maafkan kami, sayang…” Papa mengecup pelipis Rika. “Papa kira kamu bakal ketawa…”
“Hiks… jangan begitu lagi ya… aku gak mau ulang tahunku dilupain, padahal hanya bercanda…” lirihnya.
Papa mengangguk sambil mengelus rambutnya. Mama ikut duduk dan menyodorkan sendok. “Nih, makan dulu ya.Sayap goreng buatan Mama loh.”
"wah! Sayap goreng!" seru Rika, matanya langsung berbinar. Air mata hilang menggantikan tawa kecil.
~
Selesai sarapan, Papa menggandeng Rika menuju garasi.
“Kita mau ke mana, Pa?” tanya Rika.
“Pokoknya ikut aja dulu,” kata Papa tersenyum misterius.
"Hadiah ya? Hadiah yaaa?" Rika melonjak.
“Kalau dikasih tahu nanti bukan kejutan dong.”
Begitu pintu garasi terbuka, Rika menjerit kecil.
"WAHH!!! SEPEDA?? Papa!! Masihhh!!"
Rika berlari sambil memeluk sepeda merah muda dengan pita di stangnya. Tapi sepeda itu tampak agak besar.
“Pa…kenapa belinya yang gede banget sih…”
“Biar awet sampai kamu besar, nak. Lagipula kamu juga tinggi, sayang.”
Rika mendekap perut Papa dengan erat. “Papa yang terbaik…”
Papa tersenyum. "Iya, sama-sama. Papa senang bisa membuat kamu bahagia."
“Papa nanti ajarin aku ya naik sepedanya?” tanya Rika sambil memandang penuh harap.
Papa memandang cukup lama, seolah ingin menyimpan wajah anaknya dalam-dalam.. “Iya, tentu saja. Papa janji…” katanya sambil menggenggam tangan kecil Rika erat-erat.
Dan hari itu pun ditutup dengan banyak tawa, pedal yang goyah, serta suara teriakan Rika setiap hampir jatuh. Tapi Papa selalu di belakangnya. Siap menangkap. Siap melindungi.
Rika tak pernah tahu... bahwa hari itu akan menjadi kali terakhir Papa memegang tangan.
Hari itu adalah ulang tahun ke-6 Rika. Hari yang akan terus hidup di kepalanya, tapi dengan akhir yang tak pernah benar-benar ia pahami.
Waktu berlalu. Tapi kenangan akan hari itu—dengan sepeda merah muda, suara tawa Papa, dan pelukan terakhirnya—tetap tinggal di sana.
Dan sejak hari itu, sepeda itu tak pernah benar-benar disentuh lagi.
/-/-/
Kini, usiaku sudah lima belas tahun. Tapi… rasanya aku masih terjebak di usia enam tahun, di malam saat semuanya berubah.
Aku menatap sendu ke arah jendela kamar. Di luar, hujan deras mengguyur sejak dua jam lalu. Jalanan tampak mulai tergenang, seperti ingin ikut menumpahkan air matanya.
Setiap kali hujan turun, ia selalu membawa serta kenangan itu. Kenangan paling hangat sekaligus paling menyakitkan dalam seumur hidup.
Aku menarik tirai perlahan saat petir menyambar. Hening di dalam kamar ini terasa semakin menekan. Aku menghela nafas entah berapa hari ini.
Rasanya baru kemarin aku berkata, “Aku ingin cepat besar.” Tapi kini, saya menyesal tidak pernah menginstalnya. Ternyata, menjadi remaja yang sedang menapaki masa menuju dewasa tak seindah yang dibayangkan oleh gadis kecil dalam pelukan ayah dan ibunya dulu. Semakin dewasa, semakin banyak beban yang menumpuk, tak hanya di kepala—tapi juga di dada.
Aku berbaring di atas kasur empuk yang seharusnya terasa nyaman. Tapi tidak se-empuk kasur kecilku dulu. Tidak sehangat saat Papa dan Mama duduk di tepi kasur, membacakan cerita sebelum aku tidur. Kadang-kadang, Papa yang bersuara berat tapi lembut itu akan mengubah cerita agar terdengar lebih seru, lalu Mama akan tertawa kecil dan menggeleng.
Mataku muncul di pojok rak buku yang mulai berdebu. Di sana, masih berdiri satu buku dongeng lama yang sampulnya sudah usang. Buku itu adalah favoritku. Di sebelahnya, boneka kelinci putih bernama "Ivy" masih duduk bersandar, satu telinga sobek sedikit. Aku bahkan tak sanggup membuangnya.
Seandainya…
Hah. Terus saja ucapkan 'seandainya', Rika. Itu tidak baik untuk hati dan pikiranmu.
Masa lalu itu tak harus terus dipegang erat. Mungkin… aku harus belajar melepaskannya. Atau yang paling tidak, saya harus berani menatapnya. Bukan lari. Bukan berusaha melupakan. Tapi… menghadapi.
Ya, aku harus berani menghadapi segala hal yang membuatku merasa sesak, takut, bahkan frustasi.
Eh—tunggu. Kalimat itu… rasanya aku pernah mendengarnya.
Dimana? Kapan? Dari siapa?
Suara itu… hangat. Lembut. Tapi aku lupa bagaimana intonasinya. Aku lupa nada suaranya. Aku lupa…
Aku bahkan lupa suara Papa....
Dan di sanalah, air mataku tumpah begitu saja. Tanpa suara. Tanpa isakan. Hanya tetesan yang menuruni pelipis dan menyatu dengan hujan di luar jendela. Aku ingin mengingat. Aku ingin mengingat semuanya.
Tapi semakin keras aku mencoba, semuanya malah semakin kabur…
[Bersambung]