Tiga hari berlalu, Juanda sudah tak memakai tongkat lagi. Ia makan siang bersama kedua orang tuanya di meja makan. Topik pembahasan pada siang ini adalah tentang kuliah Juanda. Dulu ini adalah topik yang paling menyebalkan bagi Juanda, tetapi berbeda dengan sekarang. Ia dengan sukarela mendengarkan keinginan orang tuanya.
"Sekarang terserah kamu aja, Juan. Kamu mau kuliah di luar negeri atau di dalam negeri nggak masalah. Yang penting kamu mau belajar sungguh-sungguh meraih cita-cita kamu menjadi seorang dokter. Fakultas di Indonesia juga bagus-bagus kok. Pilih aja, Nak," ucap Pak Bani dengan ramah pada putranya.
"Tuh denger, ayahmu udah kasih kamu kebebasan. Tinggal kamunya aja mau pilih yang mana," celetuk Bu Fatmala.
"Kalau aku kuliah di Bandung ... gapapa, Bu, Yah?"
"Bandung? Oke juga gapapa. Di sana ada rumah Bude dan Pademu. Kamu bisa tinggal di sana atau ngekos juga nggak masalah. Tapi ya bagusnya tinggal sama keluarga biar ada yang pantau kamu, jadi nggak salah arah kamunya," ujar Pak Bani.
Juanda mengangguk senang. "Makasih ya, Yah. Teman akrabku juga ada yang kuliah di sana. Si Farhan tau, kan? Katanya sih fakultas di sana bagus. Pokoknya kakaknya lulusan di universitas itu. Sekarang udah jadi dokter yang handal di rumah sakit besar di Bandung," ungkapnya.
"Jalan sukses orang beda-beda, Juan. Mau kamu kuliah dekat sini pun kalau kamu ditakdirin sukses jadi dokter terbaik, ya jadi dokter terbaik. Intinya selalu berusaha berbuat yang terbaik aja. Sungguh-sungguh dalam belajar. Ayah yakin kamu akan jadi dokter terbaik. Ayah dan ibumu juga baru sadar sekarang setelah dapat pencerahan dari seorang kyai yang datang ke desa ini beberapa hari yang lalu. Alhamdulillah kami bisa memahami makna takdir. Jadi Ibu dan Ayah nggak akan paksa kamu lagi mau kuliah di luar negeri," tutur Pak Bani panjang lebar.
"Termasuk aku dekat dengan Fayena? Ayah dan Ibu nggak larang aku lagi, kan? Yah, ini soal takdir. Walau kalian berdua nggak merestui hubungan aku dengan Faye, kalau takdir kami bersama ya bakal bersama kan?" ujar Juanda menatap kedua orang tuanya dengan tatapan antusias dan penuh harap.
Bu Fatmala dan Pak Bani saling melempar tatap, lalu tersenyum satu sama lain, membuat Juanda keheranan. Ada apa dengan kedua orang tuanya?"
"Tadi pas kamu tidur, Bu Iriyani ke sini. Katanya Fayena sudah sadar tiga hari yang lalu di rumah sakit. Terus baru pulang hari ini. Nanti jam satu siang kamu ditunggu Fayena di saung dekat kebun kentang," ujar Bu Fatmala. Juanda terkejut bukan main dengan kedua mata yang melebar sempurna. Fayena sudah sadar? Tiga hari yang lalu? Sejenak Juanda menyesal karena tak mengunjungi Fayena selama tiga hari ini karena untuk kesembuhan kakinya.
''Beneran, Bu? Ibu dan ayah izinin aku, kan?" tanya Juanda antusias. Senyumannya semakin lebar ketika kedua orang tuanya mengangguk. "Yes! Berarti satu jam lagi aku ke sana. Aku ... mau pakai baju yang bagus ketemu Fayena," ujarnya seraya menyuap nasi dengan suapan yang besar.
"Pelan-pelan aja makannya. Masih ada waktu satu jam kok," sindir Pak Bani yang direspons cengiran oleh sang Anak.
"Kira-kira Fayena yang bakal temuin saya siapa, ya? Fayena yang saya kenal dulu, kan? Itu berarti Fayena sudah menemukan jalan menuju ruangan pemilihan takdir itu," batin Juanda.
Siang hari tepat pukul satu siang, Juanda berjalan kaki dengan hati-hati menuju ladang kentang—tempat yang biasa ia datangi untuk bertemu dengan Fayena. Dari kejauhan Juanda sudah melihat sosok gadis itu baju bunga-bunga cokelat sepanjang bawah lutut, rambut keriting dikepang dua, dan jendal jepit berwarna kuning.
"Itu Fayena," ucap Juanda dengan perasaan menggebu-gebu mempercepat langkahnya.
Gadis itu berbalik badan, menghadap Juanda yang kini terpana melihat wajahnya. Fayena tersenyum tipis dan manis, menatap lembut pemuda yang sedari tadi ia tunggu.
"Fayena. I-ini beneran kamu, Faye?" tanya Juanda menatap antusias Fayena dari bawah hingga atas. Kakinya yang sedikit pinjang ia paksakan untuk mengitari tubuh Fayena hingga ia tiba di hadapan gadis itu lagi.
"Ini aku, Juanda. Aku Fayena Clarisa. Teman kamu sejak kecil di desa ini. Aku kembali, Juan. Aku berhasil kembali pada takdir indah ini," ucap Fayena dengan mata berkaca-kaca.
"Fayena ... kamu kembali?" Juanda langsung memeluk gadis di hadapannya dengan erat sambil menangis. Ia begitu terharu bisa melihat dan berbicara lagi dengan sosok gadis yang teramat ia cinta dan rindukan. "Saya pikir kamu nggak bakal kembali, Faye," ujarnya bergetar.
Fayena mengurai pelukannya, lalu menarik tangan Juanda agar duduk di saung. Dirinya turut duduk di samping Juanda dengan helaan napas yang teramat lega.
Fayena menunjuk ke arah ladang, tempat dimana ia selalu membersihkan tanaman kentang. "Di sana aku bekerja. Kamu tunggu aku di sini karena kamu takut kalau ada ulat. Kamu mau bantu aku, tapi aku marahin," ujar Fayena mengenang kembali kenangan mereka.
Juanda tertawa kecil sambil menunduk malu. Ia malu mengetahui fakta bahwa ia begitu takut dengan ulat dan cacing tanah. "Tapi saya tetap bantu Faye bersihin kentang dari tanah. Saya juga ikut Faye ke kali buat cuci pakaian pas hari mau senja. Supaya nggak ada yang terganggu sama kehadiran Faye di sana. Iya, kan?"
Fayena mengangguk. "Sekarang masih gitu nggak, ya?" Ia menoleh pada Juanda. "Apa aku bisa hidup kayak orang normal? Mau ke kali ya ke kali aja. Mau ke hajatan ya ke hajatan aja. Nggak malu, nggak merasa diri bawa sial. Nggak—"
"Bisa, Faye. Kamu bisa lebih percaya diri dari sekarang. Aku denger dari ibu kamu, penduduk sini yang bantu selamatin kamu dan bawa kamu ke rumah sakit. Sebagain dari mereka nyesel udah bersikap nggak baik sama kamu, Faye. Apalagi ... desa kita ini kedatangan seorang kyai yang sedang berdakwah. Kata Ibuku ... seolah-olah kyai itu datang untuk menyadarkan warga Grawang Telu yang udah zholim terhadap kamu selama ini. Pembahasannya tentang memahami takdir dan nggak ada yang namanya pembawa sial," ungkap Juanda.
Fayena tak merespons, tetapi raut wajahnya terlihat sangat lega mendengarnya. Juanda duduk menghadap Fayena sambil menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. Menatap kedua mata sipit gadis itu dengan hangat.
"Fayena, mulai sekarang ayo mulai belajar memahami takdir! Kita harus bisa menerima setiap takdir yang telah digariskan Tuhan untuk kita. Jangan selalu berpikir buruk akan sesuatu, jangan suka menyangka-nyangka hati seseorang. Apalagi ada yang menghina kamu, jangan kamu hina diri kamu juga. Tapi sebaliknya, semangati hati kamu. Pemikiran yang cerah bikin hidup kita lebih postif, Faye. Jadi ... mau ya mengawali takdir kita dengan hal yang baik dan pemikiran positif?"
Fayena mengangguk penuh haru. Ia tak dapat bicara, tetapi menyuman dan isak tangisnya yang lembut sudah menjelaskan bagaimana perasaan gadis itu.
"Setelah ini ... saya mau kuliah di Bandung. Ibu dan ayah saya menyetujuinya. Kebetulan ... rumah Bu Iriyani itu di Bandung, Faye. Jadi ... kamu ikut ibu kamu, ya? Ke kota Bandung? Jangan siksa diri kamu di sini dengan alasan nggak mau ninggalin makam ayahmu. Faye, kalau kamu kangen sama ayahmu, nggak melulu harus datang ke makamnya dan ngomong di sana. Kamu juga bisa mengirimkan rasa rindu dan sayangmu ke beliau lewat doa. Bahkan itu yang paling ayah kamu harapkan, Faye. Melihat putrinya yang sangat ia sayangi hidup bahagia, saya nggak bisa bayangkan sebahagia apa beliau di alam sana. Jadi Fayena, ayo! Ayo raih sukses bersama!" ucap Juanda mengepalkan tangannya dengan raut wajah ceria di hadapan gadis itu.
Fayana tertawa kecil, ia mengangkat satu tangannya dan mengepalkannya dengan erat. "Ayo! Kita pergi bersama," lontarnya semangat.
Tawa sepasang kekasih itu mengudara di siang hari yang begitu cerah dan berangin. Awal yang baru akan datang untuk mereka yang telah siap menerima segala takdir Tuhan.
Satu Tahun Kemudian ...
Fayena mengikuti audisi menyanyi yang diadakan oleh sebuah agensi ternama di Indonesia. Fayena menyanyi dengan merdu dan percaya diri di hadapan juri. Semua juri terpukau mendengar suara emasnya yang begitu dalam dan menyentuh hati.
Di setiap babak penyisihan, Juanda selalu menyempatkan datang untuk mendukung Fayena. Juanda selalu membawa banner yang bertulisan, "Semangat, Fayena! Saya cinta kamu."
Seiring berjalannya waktu, Fayena akhirnya keluar menjadi finalist terbaik pada audisi itu. Ia mendapatkan peringkat kemenangan nomor satu berkat bakatnya dan dukungan banyak orang. Tentunya dukungan dari kekasihnya yang bernama Juanda.
Fayena menjadi seorang penyanyi sukses yang sangat dicintai penggemarnya. Ia murah senyum, berhati lembut, juga rendah hati. Tak heran banyak sekali pihak dari kalangan industri hibura yang menantinya untuk bekerja sama dengan Fayena.
Meski telah menjadi penyanyi yang sibuk, Fayena selalu menyempatkan diri untuk bersama dengan Juanda. Fayena bahkan mengosongkan semua jadwalnya di hari wisuda Juanda.
Juanda menjadi lulusan terbaik tahun ini. Kedua orang tuanya sangat bangga dengan pencapaian yang berhasil Juanda dapatkan. Maka usai acara wisuda itu, orang tua Juanda bertamu ke rumah Fayena untuk pertama kalinya. Kedatangan mereka disambut ramah oleh Bu Iriyani dan juga suami barunya, Pak David.
"Selamat ya, kata Fayena anak kalian, Juanda, mendapatkan gelar lulusan terbaik. Saya sebagai seorang Ibu juga merasakan kebahagiaannya. Rasanya ... saya ingin memberikan hadiah sebesar-besarnya pada anak saya jika mendapatkan gelar terbaik itu," ujar Bu Iriyani.
Bu Fatmala tertawa kecil. "Oleh sebab itu, kami ke sini. Saya dan suami saya ingin memberikan hadiah sebesar-besarnya untuk putra kami Juanda," ujarnya membuat Bu Iriyani juga Fayena merasa heran.
"Hadiah apa yang ada di sini, Bu Fatmala?" tanya Bu Iriyani.
Bu Fatmala tersenyum sambil melirik Fayena di samping Bu Iriyani. "Apa sih yang paling membahagiakan bagi anak saya selain bertemu dengan anak Bu Iriyani," ungkapnya.
Para orang tua tertawa karena paham dengan maksud Bu Fatmala. Sedangkan Fayena dan Juanda tersenyum malu. Mereka paham, paham sekali. Sampai tak bisa mengendalikan bibir mereka untuk tidak merekah.
"Jadi gimana nih, Juan. Kamu terima nggak hadiah dari Ibu? Mau kan nikah sama Fayena?" tanya Bu Fatmala pada putranya yang berada di sampingnya.
Juanda berlagak berbisik walau suara ia sengaja besarkan agar semua orang mendengar. "Ibu pakai tanya segala. Kan cuma Fayena hadiah yang aku mau. Ya kalau dinikahkan mah gas aja!"
"Hahahaha!" Mereka semua tertawa lepas mendengar ucapan Juanda. Fayena sudah tak bisa menahan rasa malunya lagi, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Juanda bangkit, meraih tangan Fayena untuk membawanya pergi dari sana. Tak peduli dengan panggilan orang-orang yang menggoda mereka. Juanda membawa Fayena ke taman depan rumah. Mereka berdiri di depan pohon bunga mawar merah.
"Bukannya maksud nggak modal, tapi ini mendesak," ucap Juanda memetik bungan mawar itu dengan hati-hati.
"Ada durinya, Juan. Ih, gimana sih," rengek Fayena.
"Ya gapapa. Anggap ini duri-duri cinta."
"Duri-duri cinta," olok Fayena.
Juanda memberijan setangkai bunga mawar itu pada Fayena sambil tersenyum lembut. Gadis itu dengan hati-hati menerimanya.
"Fayena Clarisa yang Juanda cintai. Kamu mau kan, menikah dengan saya?"
Fayena tampak berpikir dengan serius sambil mengelilingi tubuh Juanda. "Mau nggak, ya .... Ganteng sih ini. Mana orangnya perhatian, pengertian, lembut, terus pinter lagi. Tapi sayang sih, selalu gagal."
Juanda yang awalnya tersenyum, mengeryit heran mendengar ucapan terakhir Fayena barusan. "Gagal apa?" tanyanya serius.
Fayena berbisik pada pemuda itu. "Gagal dapat penolakan dari Fayena," bisiknya.
"Kamu—" Juanda tertawa kecil.
"Kena tipu," ledek Fayena.
Sontak membuat Juanda merasa dikerjai. Ia mengejar Fayena yang mencoba melarikan diri darinya. Tawa mereka menggema di taman kecil itu. Juanda menatap gemas Fayena yang tertawa lepas setelah mengerjainya.
Sejatinya setiap takdir yang hadir dalam kehidupan manusia adalah takdir yang terbaik dari sang Maha Pencipta. Di balik semua masalah dan ujian yang tak berkesudahan, pasti ada makna baik di dalamnya. Tuhan tahu mana yang baik untuk hamba-Nya, sedangkan manusia tak tahu apa-apa. Seburuk-buruknya takdir di mata kita, itu adalah pilihan-Nya yang patut kita terima dengan lapang dada. Percayalah, akan ada saatnya kamu menerima anugrah kebahagiaan yang tiada tara berkat ketabahan dan keikhlasanmu menerima segala takdir-Nya.
- TAMAT -