Hari-hari Fayena lalui dengan hampa. Saat istirahat syuting, ia langsung dilayani oleh Ananda. Namun, tak sebahagia ketika Juanda yang menyambutnya dengan sebuah jus atau kopi. Bahkan mendengar guyonan Regina pun Fayena tak seceria yang dulu. Satu-satunya yang memenuhi pikirannya hingga saat ini adalah bagaimana caranya bertemu dengan Juanda.
"Besok lo di rumah aja kan, Fay? Mau ikut gue ke kampung halaman ibu gue, nggak? Kali aja lo mau sekalian tuh liburan buat ngilagin suntuk. Lo kan gampang suntuk orangnya," tawar Regina.
Kali ini Fayena menolak ajakan Regina. Kepalanya menggeleng dengan tegas bahwa ia tak ingin ikut manager nya itu. "Gue ada acara besok, Re. Lo aja," sahut Fayena kembali menaruh jus jeruknya di atas meja.
"Tumben banget. Acara apa?"
"Rahasia. Kepo banget lo jadi orang." sahut Fayena.
"Yeeeeeh, pelit banget. Gue juga nggak minat ikut sih. Circle lo nggak lucu banget pada suka pamer pasangan dan usaha doang," sahut Regina dengan tampang tak suka. "Lo jangan ngelakuin sesuatu yang ngundang masalah lho, ya. Karir lo lagi bagus nih, Fay. Gue bukannya raguin lo, cuma mau lo hati-hati aja pilih temen ngobrol atau becanda."
"Iya gue tau. Aman kok, lo tenang aja. Oh ya, utang gue ke elo tolong lo rincikan, ya. Dari hutang yang kecil sampe hutang besar. Mumpung gue inget nih. Gue mah suka lupa sama utang."
"Tumben banget bahas soal utang. Biasanya juga males lo bayar. Ya udah ntar gue rincikan, yak. Jangan kaget lho, ya. Utang lo ke gue banyak yang mungkin lo udah lupa, tapi gue nggak pernah lupain," ujar Regina.
"Iya rincikan aja. Gue bayar malam ini juga," sahut Fayena yakin.
Fayena diam-diam tersenyum tipis melirik Regina yang sedang asik memainkan ponselnya berkiriman pesan dengan seseorang. "Mungkin hari ini pertemuan terakhir kita, Re. Lo bakal bertemu dengan Fayena yang sebenarnya nanti. Gue bukan Fayena yang ada di takdir ini. Gue sadar apa yang Juanda katakan itu benar. Ini bukan takdir gue dan gue harus pulang. Maaf kalau gue pulang tanpa bilang," batin Fayena.
***
Maka keesokan harinya, Fayena bersiap-siap dari rumahnya membawa apa yang perlu ia bawa. Utang piutangnya sudah ia lunasi pada Regina. Kini Fayena merasa ringan untuk pergi dari rumahnya menggunakan mobil pribadi untuk menuju desa Grawang Telu. Tujuannya untuk menjumpai Juanda. Hanya itu satu-satu tujuan yang terlintas di benaknya.
Tiga jam perjalanan telah terlalui, Fayena sampai di depan desa Grawang Telu. Begitu memasuki desa tersebut, Fayena didera pusing yang tak terkira. Mobilnya nyaris oleng jika Fayena tidak segera menghentikannya. Fayena memegangi kepalanya, lalu merapa botol air di samping tubuhnya. Gadis itu meneguk air dengan perlahan, hingga rasa pusingnya pun mereda.
"Gue tadi kenapa, ya? Padahal udah makan, tapi kok pening banget kek gitu. Ck, untung aja nggak nabrak. Mending gue jalan kaki deh masuk ke dalam desanya. Dari pada nabrak orang lagi," monolog Fayena.
Fayena memakai hoodie berwarna hitam, masker putih, dan topi hitam. Ia berjalan kaki menyelusuri desa itu untuk menuju rumah Juanda. Rasa takut sesekali menghampirinya ketika ia berpapasan dengan warga. Beruntungnya tak ada yang mengenali dirinya.
Fayena melihat Juanda dari kejauhan. Pemuda itu berbelok ke arah pinggir ladang menuju sebuah saung. Fayena dengan semangat berlari ke arah Juanda. Hatinya terasa berbunga-bunga melihat sosok Juanda ternyata ada di desa ini.
"Juanda!"
Juanda yang mendengar namanya diserukan, menoleh ke belakang. Ia mengeryitkan keningnya melihat sosok gadis dengan pakaian serba tertutup menghampirinya. Juanda sama sekali tak mengenali gadis itu bahkan ketika Fayena ada di hadapannya.
"Juan, kok lo kayak bingung gitu? Ini gue, Fayena," ucap Fayena menunjuk dirinya dengan antusias.
Juanda mengeleng dengan tatapan tak suka padanya. "Maaf, saya nggak kenal kamu. Nama kamu Fayena? Sama sih dengan nama teman saya. Tapi saya nggak kenal kamu," ucap Juanda.
"Masa sih lo nggak kenal gue?" Fayena menarik maskernya ke bawah, lalu melepas topinya pula. Ia tersenyum pada Juanda. "Nah, sekarang lo kenal gue, kan?"
Juanda menggeleng cepat, ia tampak tak nyaman berbicara pada Fayena. "Jangan ngaco kamu. Saya nggak kenal kamu. Permisi," ucap Juanda segera pergi meninggalkan Fayena.
"JUANDA! INI GUE FAYENA! JUANDA!" teriak Fayena dengan frustrasi.
Fayena terduduk di saung itu. Ia heran dengan tingkah Juanda yang terlihat sama sekali tak mengenal dirinya. Fayena meraba wajahnya dengan perasaan curiga. Ia langsung menyalakan kamera ponselnya, lalu berkaca dengan kamera itu. Fayena terkejut bukan main melihat wajahnya yang telah berubah menjadi orang lain.
"AAAAAAA!" teriaknya keras. Fayena syok bukan main melihat wajahnya yang seratus persen berubah. Fayena lekas membuka galeri ponselnya. Semua potret dirinya bukanlah wajahnya, melainkan wajah orang lain.
Fayena memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Ia merasa sangat heran dengan keadaan yang sekarang. Pantas saja Juanda tak mengenalinya sama sekali ketika ia memanggil nama pemuda itu. Bahkan ketika meraka berhadapan, Juanda tetap tak mengenalinya.
"Gue sekarang berada di takdir Juanda yang lama tetapi dengan dimensi takdir yang berbeda. Ya, nggak mungkin ada orang yang sama pada satu takdir. Fayena yang asli pasti ada di suatu tempat pada takdir ini dan otomatis muka gue pun menjadi orang lain. Itu sebabnya Juanda nggak kenal pas liat gue," ucap Fayena menyimpulkan sendiri.
Rasa takut tiba-tiba mengusai Fayena, ia menangis sambil menoleh ke sekitarnya. Ia takut dan bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia ingin berhenti dan kembali pada takdir lamanya, tetapi bagaimana caranya?
"Maaf, Neng. Misi," ucap seorang pria paruh baya yang tiba-tiba menghampiri Fayena. Buru-buru Fayena menghapus air matanya.
"Iya, Pak?"
"Di depan desa itu mobilnya, Neng, ya? Soalnya saya tadi liat Neng yang keluar dari mobil itu. Maaf, Neng, bisa pindahin mobilnya? Taksi yang bawa anak saya nggak bisa masuk desa," ucap pria itu.
"O-oh maaf ya, Pak. Duh, saya parkir nggak mikir. Iya ini saya mau pindahin, Pak," ucap Fayena segera mengikuti pria paruh baya itu kembali ke depan desa.
Fayena merasa pria ini adalah orang yang tepat untuk ditanyai soal dirinya yang tinggal di desa ini. Maka Fayena pun bertanya pada pria paruh baya itu selagi mereka sama-sama berjalan ke depan desa.
"Maaf, Pak. Saya boleh tanya, nggak?"
"Boleh, Neng. Mau tanya apa?"
"Saya ke sini mau ketemu sama Fayena. Rumah dia dimana ya, Pak?"
Pria itu langsung menoleh cepat pada Fayena. "Neng temannya Faye? Saya pikir dia nggak punya temen. Si Faye masih di rumah sakit udah lebih dari seminggu di sana kayaknya. Katanya sih belum sadar juga karena kejadian kesambar petir di atas gunung," ujar pria itu menjelaskan.
"Ya ampun ... terus dia ada di rumah sakit mana, Pak?" tanya Fayena dengan menunjukkan raut wajah khawatir.
"Di rumah sakit Beliatama. Nggak jauh dari sini, Neng. Jadi Neng bisa ke rumah sakit buat temuin dia," sahut pria itu.
"Oh gitu .... saya pikir dah pindah. Makasih, ya, Pak. Ya udah saya pamit dulu, ya, Pak. Maaf lho udah ngalangin jalan," ujar Fayena dengan ramah seraya masuk ke dalam mobilnya.
Fayena membuka google map, lalu mengikuti alur yang terpampang di layar ponsel itu. Fayena terus mengikuti arahan hingga sampai pada rumah sakit di mana Fayena yang sebenarnya dirawat. Fayena mendekati resepsionis untuk bertanya ruangan pasien yang ia cari.
"Misi, Mbak. Saya mau cari pasien yang bernama Fayena Clarisa ada di ruangan mana, ya?"
"Bnetar ya, Mbak," ujar wanita itu mencari nama pasien yang disebutkan oleh Fayena. "Pasien atas nama Fayena Clarisa ada di ruangan meranti nomor tujuh," ucapnya.
"Makasih ya, Mbak."
Fayena buru-buru menuju ruangan itu. Jantungnya berdebar dengan kencang, tangannya bergerak gelisah dengan langkah kaki semakin gusar mencari ruangan itu. Hingga ia berhasil menemukan letak ruangan yang dituju. Fayena menyakinkan dirinya sebelum benar-benar membuka ruangan tersebut. Tampak seorang gadis terbaring di ranjang rumah sakit dengan masker oksigen yang menutupi sebagian wajahnya. Meski begitu, tampak sangat jelas jikalau gadis itu adalah Fayena.
"I-itu kan gue," lirih Fayena dengan nada yang bergetar. Ia melangkah menuju sosok dirinya yang lain dengan langkah kaku. Hingga akhirnya ia sampai di hadapan gadis itu. Tangan Fayena terulur menyentuh tangan gadis itu, hingga sebuah sengatan terasa oleh keduanya. Baik Fayena yang berdiri maupun Fayena yang terbaring.
Fayena merasakan pusing yang tak terkira, ia mencoba mempertahankan kesadarannya sambil menatap Fayena di hadapannya. "F-Faye ... G-gue mohon lo bangun. G-gue mau kembali, Fayena. Tolong ... gue mau kembali ke kehidupan gue yang sebelumnya. Gue mohon ...." Tubuh Fayena pun ambruk seketika bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang.
Entah bagaimana caranya, begitu Fayena membuka mata, ia sudah ada di ruangan takdir yang berwarna serba putih. Ada dua bingkai kehidupan yang timbul begitu saja di hadapannya. Figura satu berisi takdirnya yang dulu dan firgura dua berisi kehidupannya menjadi penyanyi terkenal.
"Selamat datang kembali, Fayena. Kau bisa memilih takdirmu kembali."
"Aku pilih takdirku sebelumnya. Aku ingin kembali pada figura nomor satu. Aku tak sanggup menjalani hidupku yang menderita di figura nomor dua. Aku mohon aku ingin kembali," ucap Fayena memelas dengan tetesan air mata yang semakin menjadi-jadi.
"Kini aku sadar, takdir pilihan Tuhan adalah yang terbaik. Aku mohon, kembalikan aku," ucap Fayena sebelum menyentuh figura nomor satu.
Begitu Fayena menyentuhnya, cahaya putih yang menyilaukan menyeret kembali dirinya ke kehidupan sebelumnya. Bangun dari semua kejajadian di tempat putih itu, Fayena merasakan dirinya terbaring di atas ranjang. Kedua mata Fayena mengedar, menatap sekelilingnya dengan perasaaan bingung. Ia ada di ruangan rumah sakit. Tak lama seorang yang amat ia kenal mendekatinya.
"Fayena, akhirnya kamu bangun juga, Sayang," ucap wanita itu yang tak lain adalah Bu Iriyani yang menangis penuh haru.
"I-ibu?"
"Iya, Sayang. Ini Ibu. Maafin Ibu ya yang udah ninggalin kamu dan bikin hidup kamu penuh tekanan sendirian. Maaf Ibu belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu. Tapi mulai sekarang Ibu janji bakal ada terus di smaping Faye. Kita mulai hari awal ya, Nak?"
Fayena meneteskan air matanya penuh haru, ia mengangguk dengan antusias. "Makasih udah kembali, Bu. Faye sayang Ibu," ucapnya terkesan lirih.