Syuting hari ini berjalan dengan lancar. Fayena berpamitan dengan para pemain dan kru untuk pulang lebih dulu karena ia sangatlah lelah. Fayena menghampiri Juanda yang juga menghampirinya. Pemuda itu langsung menyodorkan minuman pada Fayena yang tampak lelah.
"Minum dulu. Mata lo kayaknya sepet banget. Mau langsung pulang, kan?"
Fayena mengangguk usai menyeruput minuman itu. "Gue capek banget hari ini asli. Soalnya kan banyak adegan lari. Gempor nih kaki gue lari pakek selop."
"Gue ada beli burger tuh. Lo makan di mobil, ya? Gue liat lo tadi makannya dikit banget."
Fayena tersenyum mendengarnya. "Perhatian banget asisten gue. Yah, emang wajar sih kalau gue oleng nih."
"Malah senang lo oleng ke gue," sahut Juanda. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu untuk membisikkan sesuatu. "Kan lo tau gue emang cinta sama Fayena."
Fayena langsung mendorong kecil dada Juanda sambil tertawa geli. "Apaan sih lo. Jangan halu deh, gue bukan Yena. Gue sih nggak mau kalau lo suka sama gue gara-gara gue mirip sama cewek masa lalu lo. Itu sama aja lo cinta sama gue karena ada bayang-bayang dia di diri gue. Iya, kan?"
"Ya tapi kan gue nganggepnya Fayena gue ya elo, Fay. Lo kan udah putus nih sama Alfino, kenapa kita nggak jadian aja sih?" goda Juanda sambil menarik-turunkan alisnya.
Fayena berdecak sebal dengan pipi yang bersemu. "Minum kopi gih lo. Ngelantur banget mulutnya," suruh Fayena. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil yang ternyata udah ada Regina di dalamnya.
"Oke beli kopi dulu!" sahut Juanda benar-benar berlari dari sana untuk membeli kopi. Fayena tersenyum melihat pemuda itu menuruti suruhannya.
"Ekhem! Mantep banget ya kerja sambil pacaran," goda Regina yang duduk di kursi kemudi.
"Pacaran apanya, jadian aja belum," sahut Fayena sembari duduk dengan nyaman.
"Tuh burger lo dibeliin sama Juan," tunjuk Regina ke samping tubuh Fayena. "Baru kali ini gue liat asisten seperhatian Juanda. Rela panas-panasan nyebrang buat beliin burger buat lo. Padahal lo mah bertingkah doang sok nggak mau makan padahal laper."
"Ish, gue emang nggak mood makan. Soalnya makanan tadi tuh bikin gue inget sama si tape basi, si Alfino tuh. Makanya gue nggak mood. Ya kalau laper emang laper," celoteh Fayena sambil membuka burger itu. Mulutnya terbuka lebar melahap makanan yang dibelikan oleh Juanda. Akhirnya ia tak akan kelaparan sampai rumah. Padahal rencananya Fayena ingin gofood kalau sudah di rumah.
"Harusnya dari dulu sih lo ketemu sama Juanda. Lo cocok banget sama dia daripada sama Alfino. Tuh kan, terbukti gue larang lo sama Alfino bukannya gue dengki liat lo bahagia sama pacar lo. Tapi itu karena Alfino bukan pacar yang baik buat lo," ujar Regina dengan nada menuding.
"Iya-iya gue tau kok. Gue nggak pernah ragu sama lo, Re, Ya walau lo nyebelin sih pas ngatain Alfino terus. Tapi kalau sekarang lo ngatain dia, gue bakal dukung lo," sahut Fayena.
"Dih, nyebelin," cibir Regina kembali menghadap depan. Ia melihat Juanda yang berlari ke arah mereka. "Cepat banget tuh anak larinya. Udah dapat kopi aja dia."
"Dia tau gue udah ngantuk dan mau lekas bobo," celetuk Fayena.
"Iya deh yang selalu diperhatikan Juanda," sindir Regina.
Juanda memasuki mobil. Regina pun segera menjalankan mobil mereka meninggalkan lokasi syuting. Syuting dari subuh dan selesai pukul tiga sore. Bagaimana pemeran utamanya tak lelah. Terbukti setelah selesai makan burger dari Juanda, Fayena memejamkan matanya. Namun tak lama, sebuah panggilan masuk mengusik ketenangan Fayena.
Nomor tak dikenal, Fayena tak pernah mengangkatnya. Hingga ketiga panggilan sudah ketiga kalinya, si penelpon mengirimkan pesan. Ternyata nomor tak dikenal itu adalah Juanda. Fayena berdecak kesal dalam hati. Namun, ia memutuskan untuk acuh saja. Terlalu melelahkan bagi Fayena harus kembali membahas soal Alfino bersama Regina dan juga Juanda. Fayena juga malu jikalau harus membahas tentang mantannya melulu.
Fayena dibuat gelisah dengan panggilan beruntun dari Alfino ke nomor ponsel barunya. Entah bagaimana Alfino tahu informasi tentang nomornya itu. Fayena benar-benar tak ingin lagi terhubung dengan mantan kekasihnya itu. Walau Alfino memohon padanya.
Fayena melempar ponselnya di samping tubuhnya dengan tampang frustrasi. Juanda yang awalnya mengobrol dengan Regina, menoleh ke belakang. Regina pun melakukan hal yang sama, walau setelahnya fokus kembali ke depan.
"Kenapa, Faye?'' tanya Juanda.
"Ck, itu si Alfino tahu nomor gue. Dari mana coba. Dia teror gue mulu. Mana pakek ngancem segala lagi. Terus dia juga chat gue bilang kalau nggak pernah ngerasa putus dari gue. Katanya kalau karirnya hancur maka karir gue juga harus hancur kayak dia. Gue harus gimana dong?" Fayena nyaris menangis.
"Laporin polisi aja nggak sih?" sahut Regina.
"Nggak bisa, Re. Kalau kita yang laporin dia, dia pasti dendam banget. Semua aib gue yang dia tahu selama kami pacaran, bakal dibongkar sama dia. Gimana gue harus kalau sampai dia kayak gitu?''
Mereka bertiga sama-sama dilanda kebingungan. Seolah-olah tiada jalan lagi untuk menghadapi Alfino. Bahkan Juanda pun kehabisan akal untuk membuat saudara tirinya itu jera. Namun ini soal Fayena, Juanda tak akan bisa tinggal diam saja.
"Gini aja deh. Gimana kalau ... lo sekali lagi ngajak dia ketemuan. Terus ... lo ngomong ke dia, coba picu dia mengatakan sesuatu yang buruk yang dapat mencoreng nama dia. Nah, kita sebelumnya kudu siapin perekam suara dan kamera tersembunyi. Cuma itu sih solusi yang terpikir sama gue sekarang. Jadi tuh rekaman bisa Faye jadiin ancaman bagi Alfino juga. Kalau Alfino ngancem mau beberin aib Faye, Faye juga bisa beberin aib si Alfino. Jadi Alfino bisa tahan diri dia, kan?" lontar Juanda memberikan.
Regina mengangguk. "Boleh juga tuh ide Juanda. Faye, gimana lo setuju, nggak?" celetuk Regina.
"Bisa sih. Tapi gue takut banget kalau dia sampai macem-macem, Re. Kalian kudu stand by, ya. Buat ngobrol empat mata gitu kan biasanya nyewa tempat pribadi. Nah, gue takut dia macem-macemin gue di tempat itu. Jadi kalian kudu pantau gue lewat kamera, ya."
"Soal itu lo tenang aja, Faye. Gue pasti ngelindungin elo kok. Lo bakal aman pokoknya," ujar Juanda.
"Ekhemmm!" Regina tersenyum-senyum tak jelas.
Fayena merasa canggung juga malu secara bersamaan mendengar kata-kata manis Juanda di hadapan Regina. "Y-ya udah gue setuju. Gue chat dia dulu, ya. Ntar malam ketemuannya. Jadi kalian siapin apa aja yang diperluin di sana."
"Siap. Kira-kira lo mau ketemuan di kafe mana?"
"Kafe Cakrawala deh. Gue nanti bakal datang terlebih dahulu, jadi bisa pilih tempat. Jadi Alfino tinggal masuk ke ruangan itu," ujar Fayena.
"Oke sip cakep. Gue bakal urus semuanya habis ini," kata Juanda.
"Thank ya, Juan."
Malam harinya, Juanda dan Regina telah menyiapkan semuanya. Mulai dari kamera tersembunyi, penyadap suara, hingga tempat mereka untuk memantau Fayena. Fayena sendiri pun datang ke kafe Cakrawala setengah jam setelah rencana telah diatur oleh mereka berdua. Fayena memasuki ruangan yang telah dipesan oleh nama Fayena. Ruangan itu seperti tempat karaoke. Ada alat karaoke, sofa empuk, meja kaca yang banyak sajian camilan dan minuman di atasnya, juga ada televisi untuk menonton. Fayena duduk dengan gelisah sambil menunggu kedatangan Alfino yang katanya sedang dalam perjalanan.
Tak lama Alfino datang, Fayena langsung memasang wajah tak sukanya melihat Alfino yang tersenyum ketika melihatnya.
''Sayangnya aku akhirnya kita bisa ketemuan lagi di tempat romantis kayak gini. Samperin aku dong, sini peluk," ucap Alfino seraya merentangkan kedua tangannya.
"Udah deh, Al, nggak usah banyak basa-basi. Aku ke sini cuma untuk tegasin soal status kita yang udah putus. Aku udah putusin kamu beberapa hari yang lalu, jadi tolong kamu nggak usah hubungin aku lagi. Bisa, kan?"
Alfino langsung menurunkan tangannya dengan rahang menegas. Namun, pria itu mengangguk setelahnya. Ia duduk di samping Fayena meski gadis itu langsung bergeser menjauh.
"Kamu juga udah denger kalau aku nggak akan lepasin kamu, Faye. Apa kamu nggak ngerti juga, hah? Udahlah sayang nggak usah sok ngambek gitu sama aku. Aku tuh possesif sama kamu itu karena aku sayang banget sama kamu," ucap Alfino tersenyum menjengkelkan.
"Gampang ya kamu ngomong kayak gitu. Gara-gara tindakan kamu yang pukul Gabriel, dia sampai masuk rumah sakit. Terus karir aku nyaris di ambang kehancuran. Apa kamu nggak pernah mikir yang bener, Al?"
"EMANGNYA KENAPA KALAU GABRIEL MASUK RUMAH SAKIT!" teriak Alfino kesal dengan posisi berdiri. "Aku nggak peduli mau muka dia hancur sekalipun! Kalau bisa aku bunuh tuh orang sekalian kalau berani deketin kamu! Kamu cuma milik aku, Fayena!"
"Gila kamu ya ngomong kayak gitu! Sekarang aku bersyukur banget Tuhan udah nunjukin kalau kamu itu pria yang buruk, Alfino!"
PLAK!
Fayena memegangi pipinya yang dipukul oleh Alfino. Alfino tampak menatap tajam ke arah Fayena sambil menarik lengan gadis itu ingin melakukan pelecehan pada Fayena. Wajahnya memaksa untuk mendekat ke arah wajah Fayena, membuat Fayena ketakutan.
"ALFINO LEPAS! LEPASIN!"
"TOLONG!''
Fayena terus memberontak ketika Alfino hendak mendorongnya ke sofa. Namun, tiba-tiba pintu dibuka secara kasar. Tampak Juanda, Regina, dan satpam memasuki ruangan itu. Juanda adalah orang pertama yang menarik keras Alfino dari Fayena.
BUGH!
"Berani lo nodain Faye, lo harus berhadapan dengan gue, Alfino!" ketus Juanda setelah memberikan pukulan pada pipi Alfino.
"Brengs*k lo, Juanda!" Alfino juga melayangkan pukulan, tetapi lengannya langsung ditangkap oleh dua orang satpam. "LEPASIN GUE! LEPASIN GUE SIAL*N! teriak Alfino meronta ketika tubuhnya diseret keluar.
Fayena menangis di pelukan Regina. Juanda mendekati kedua perempuan itu dengan raut wajah penuh penyesalan. "Sorry lo sampai terluka, Faye. Sorry kami telat datang ke sini. Tadi ada—"
Fayena mengurai pelukannya dengan Regina, lalu menggelengkan kepalanya menatap Juanda. "Enggak, Juanda. Ini malah bagus. Dengan bukti ini, gue bisa tuntut dia ngelakuin kekerasan ke gue. Juga pelecehan. Pokoknya thanks ya, ini berhasil berkat kalian. Gue mau pulang, antar gue, ya."
"Juanda, lo antar Fayena ke klinik dulu baru pulang. Gue bakal urus soal rekaman itu dan ngasih ke pilih agensi biar segera diproses," titah Regina.
"Siap," sahut Juanda seraya merangkul Fayena meninggalkan tempat itu.
Terkadang perlu sebuah pengorbanan untuk mendapatkan jalan keluar dari sebuah masalah yang terlalu rumit untuk dipecahkan.