Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jalan Menuju Braga
MENU
About Us  

Jam kosong sejak satu jam yang lalu ini membuat murid-murid HarTam bebas. Entah ada yang ke kantin, ada yang tidur, ada yang bermain di lapangan, apapun yang mereka lakukan diperbolehkan asal baik dan ada di lingkungan sekolah. 

Sementara teman-temannya yang lain sibuk, Berly justru dengan anteng menunggu di kursinya ditemani Jessie. Gadis itu tak henti menggoyangkan kakinya cemas dan sesekali melihat ke jendela atau pintu. 

"Jadi kamu ke MaBes, Ly?" Introgasi Jessie. Setelah mendengar cerita rahasia dari Berly, ia ingin mengonfirmasi itu sekali lagi.

"Hm." 

"Dan kata kamu, MaBes itu nggak seserem yang anak-anak bilang?" 

"Hm." 

"Ruangannya bersih, terang, rapi, dan wangi?" 

"Hm." 

"Terus kata kamu, anak Svarga itu ternyata baik dan lucu juga? Nggak setegang yang anak-anak bicarain selama ini?" 

"Hm." 

"Kalau Kak Braga, itu aslinya baik, beneran cakep dan lebih cakep lagi setelah dilihat lebih dekat?" 

"Hm." 

"Asik! Bisa naksir, nih, lama-lama?" celetuk Jessie. 

Celetukkan itu membuat Berly menoleh sewot. "Apa, sih? Jebakan banget pertanyaan kamu, Jes." 

"Ya, lagian gak apa-apa, kan, kalau naksir? Aku juga kalau ada kesempatan deket sama Kak Braga, bakalan aku pepet terus sampe dapet!" ujar Jessie. 

"Ya udah, sok atuh, pepet aja." 

"Boleh, nih? Nggak ngambek?" tanya Jessie penuh dengan kejahilan. Ia dengan sengaja menyenggol bahu Berly. "Bukannya kamu udah lama naksir Kak Braga?" ungkap Jessie. Sahabat Berly itu lalu lebih mendekatkan diri ke Berly. "Masa udah naksir lama, seikhlas itu diambil sahabatnya sendiri?" bisiknya. 

Berly menjauhkan diri lalu menamati Jessie lamat-lamat. Apa yang baru saja ia dengar? Bagaimana bisa Jessie tahu? Tidak salah dengar, kan, ia?

Perasaan selama ini Berly menyimpan kagum dan perasaannya itu baik-baik. Tidak pernah ia tujukkan secara berlebihan. Ia juga berusaha setenang mungkin meski melihat Braga yang kerap mondar-mandir koridor kelasnya, padahal hatinya meronta-ronta ingin berteriak keras mengagumi laki-laki itu. Namun, bagaimana bisa Jessie ini mengatakan rahasia hati Berly itu dengan lantang? 

Melihat wajah Berly yang datar dan kebingungan, Jessie hanya mengulum senyum lalu meregangkan pinggang di sandaran kursi. "Nggak usah kaget begitu. Kalau kamu lupa, biar aku ingetin. Sohib kamu ini detektif handal. Nggak mungkin, kan, seorang Jessie nggak tau sahabatnya naksir berat sama siapa?" ucapnya. 

"Jes .." 

"Udah tau lama, kok. Kayaknya dari pertama kali kita ketemu di gerbang utama sekolah waktu itu, deh?" sebelum menghanturkan pertanyaannya, Jessie terlebih dahulu menjawab. Ia sudah tau akan diintrogasi apa oleh Berly. Sudah seperti cenayang saja Jessie ini.

"Dari mana kam--" 

"Udah kebaca dari gimana kamu natap Kak Braga pagi itu, Ly. Belum lagi setelah itu kamu catat sesuatu di buku merah muda kamu. Kamu juga rajin catet nama Kak Braga di buku itu. Mana buku itu sekarang? Udah penuh belum catatannya?" 

Duarrr! 

Bagaikan ditembak, Jessie menembak Berly tepat sasaran dan berhasil menohok jantungnya. Rasanya ia ingin mengibarkan bendera putih sekarang. Ia tidak sanggup dengan bocornya rahasia besar ini. Ampun, Gusti.

"Slow aja, Berly. Lagian siapa, sih, yang nggak naksir Kak Braga? Kalau kita keliling dari kelas sepuluh sampai dua belas, kayaknya list cewek yang naksir dia udah berjilid-jilid, deh. Meski, ya, banyak yang sok-sok'an enggak aja."

"Ya, meskipun terkenal nyeremin, jarang senyum, jutek abis, kulkas lima belas pintu, auranya aur-auran, tapi gimanapun cakepnya dia itu udah semacam Kim Mingyu kalau lagi prengat prengut, Ly. Siapa, sih, yang bisa nolak cowok kayak begitu?" 

Iya. Dengan kesadaran penuh, Berly pun menyuarakan hal yang sama dalam hatinya. Tidak akan ada yang bisa menolak pesona Braga, iya, termasuk dirinya. Apalagi setelah mengenal laki-laki itu lebih dekat, tahu sisi soft spoken-nya dan sifat manisnya. Alamat--hati Berly semakin berbunga untuk Kakak kelasnya itu.

Kalau Berly percaya diri, ingin rasanya ia meneriakkan kebenaran itu keras-keras dengan toa. Namun, sayangnya ia memilih menyimpan itu secara rapat-rapat dalam kehidupannya.

Dulu di hari pertama masuk di Harapan Utama sebagai murid tahun ajaran baru, di base saat itu sudah tersebar soal Braga dan antek-anteknya. Siswa-siswi baru diharap berhati-hati jika berurusan dengan mereka, yang bila disingkat, mereka terkenal dengan SVARGA. 

Base resmi HarTam itu juga membuat thread tentang ulah SVARGA yang mengguncang Rakyat HarTam. Entah mengurung Dion di kamar mandi, mengunci Putra di toilet laki-laki, menaruh sepeda motor milik Zion di genteng sekolah, dan yang terparah akhir-akhir itu mereka berurusan dengan Ruli, Sang Siswa Abadi. Jelas saja itu membuat banyak siswa-siswi baru penasaran sekaligus berjaga diri. 

Namun, itu tidak berlaku pada Berly. Gadis itu malah penasaran dengan Braga, juga dengan SVARGA. Sejak lama ia penasaran, bagaimana rasanya menjadi anak SMA yang akan hidup dalam babak baru masa remaja, terlebih lagi di Bumi Bandung. Dengan kisah percintaannya, kisah persahabatannya, atau pun segala dramanya, Berly sangat menantikan itu. Karena itulah, sejak membaca thread base hari itu, Berly tak pernah tertinggal jika di sana membahas Svarga. Ia tertarik sekali dengan materi itu.

Untuk urusan famous-nya Braga di base, Berly sungguh ingin mengetahui bagaimana sosok Braga itu dalam dunia nyata. Ekspektasinya, ia akan mencari keberadaan Braga dan menyaksikan langsung aksi yang menggemparkan rakyat HarTam itu. Namun, alih-alih beraksi jahil & menyeramkan, dalam penglihatan Berly dari kejauhan pagi itu, ia malah melihat Braga dengan sisi lainnya. 

Juli, 2023

SMA HARAPAN UTAMA, BANDUNG.

Tidak pernah seantusias ini Berly berangkat sekolah. Dalam hidupnya, hari ini adalah salah satu hari yang ia nantikan. Mendengar dongeng dari Jagad soal Bandung sejak masa kecilnya, membuat Berly juga turut penasaran dengan kehidupan di Kota indah ini. 

Pagi itu di mendungnya Bandung, Berly menepi di sisi gerbang. Ia kini meletakkan tasnya di bawah, kemudian sibuk mengambil perlengkapan MOS yang belum ia kenakan. Ia menyimpan peralatan itu di dalam tas, takut papan nama dan topi karyanya dari kardus terkena hujan. Mengingat, Bandung hari ini sedang temaram. 

Saat tangannya sibuk mengambil perlengkapannya di dalam tas, pandangan Berly justru menelisik sekitarnya. Ia mencari-cari seseorang yang mencuri perhatiannya sejak pertama kali ia diumumkan menjadi murid HarTam. Iya, Berly mencari Braga. 

Bagai pemindai ahli, matanya seperti satu per satu menelisik. Sampai akhirnya, pandangannya berhenti di satu manusia di ujung sana, yang berdiri di sisi utara sekolah, dekat dengan sebuah pagar kecil di sana.

Dari wajah tampannya yang mentereng, juga dengan jaket kulit hitam berlogo SVARGA di dadanya, Berly dengan mudah mengenalinya. Bagaimana pun, selama dua minggu masa persiapan masuk sekolah, Berly banyak mengamati tentang Svarga itu di base. Jadi, mengenali Braga bukan hal yang sulit.

Seperkian detik Berly terdiam. Nyatanya, Braga itu lebih tampan bila dilihat dari dekat. Entah keelokan wajahnya, kharismanya, dan tingginya yang menjulang bagai gapura Kabupaten, segala sisinya itu terlihat indah. Berly mengakui itu.

Laki-laki itu berdiri melipat kedua tangan di dada sembari menatap sinis seorang murid yang kini ada di hadapannya. Entah percakapan apa di antara mereka. Berly tidak jelas mendengarnya.

Hanya saja, saat dua murid lain yang sama memakai jaket hitam dengan logo Svarga datang membawa paper bag, mata Berly memicing tajam. Ia cermat-cermat mengawasi keadaan itu. 

Siswa bongsor berkacamata yang berdiri tegang di depan Braga itu sekarang mulai melucuti bajunya, tinggalah kaus putih yang ia kenakan. Ia lalu juga melepas sepatunya, juga meletakkan tasnya. Berly pun buru-buru mengambil ponselnya dan merekam hal itu. 

Berly mematung sesaat, sebelum ia kini bergegas meletakkan perlengkapan MOS-nya. Ia hanya berpikir untuk menyelamatkan murid itu dari Braga.

Namun, belum sempat melangkah sampai ke murid itu, langkah Berly urung. Bukan seperti pikiran buruknya, yang ada kini Braga beserta ketiga temannya, membantu membuka barang-barang yang ada di paper bag. Yang ternyata isinya ada box hijau botol khas box seragam HarTam, box sepatu bermerk, dan juga tas punggung dengan merk ternama juga.

"Pakai. Cepetan. Nggak tau kamu udah telat?" teriak Braga dingin.

Jarak Berly yang lebih dekat, membuatnya mendengar percakapan mereka.

"Tapi ini bukan punya say-saya, Kak." 

"Mulai sekarang jadi punya kamu." 

"Saya nggak bisa bayarnya, Kak. Bapak saya cuma tukang sol keliling, Ibu saya cuma keliling jualan roti. Saya di sini jalur beasiswa dari Perusahaan. Say--" 

"Ada aku nyuruh kamu bayar? Aku nggak butuh uang kamu, ya. Aku cuma butuh kamu masuk sekolah ini dengan layak, belajar yang bener, terus buktikan kalau Tuhan nggak salah nempatin kamu di sekolah ini. Paham?" 

Murid itu mengangguk. Ia buru-buru memakai seragam baru yang dibawakan Braga dengan perasaan bahagia. Terlihat air mata jatuh di pipinya, yang dengan cepat ia hapus dengan punggung tangan. "Terima kasih, Kak Braga. Ter--"

"Bentar. Kumaha éta?" Sela Braga bingung. Mata Braga memicing saat namanya disebut jelas. "Kamu siswa baru, kan? Tau dari mana namaku Braga?" 

Keadaan hening seketika. Murid bongsor di hadapan Braga itu mulai gemetar saat kini ia sudah mulai menalikan tali sepatunya. Ia memilih membisu tak menjawab.

"Masuk, masuk! Murid baru masuk! Upacara udah dimulai!" teriak Osis yang bertengger di depan gerbang. 

"Masuk sana!" perintah Braga yang diikuti perginya murid baru yang berhadapan dengannya. 

Murid itu seperti terbebas dari jeratan pertanyaan mematikan itu. Tidak mungkin, kan, ia menjawab kalau ia selalu update membaca base HarTam?  Bisa-bisa ia malah jadi target selanjutnya.

Murid-murid berlarian saat Osis mulai menginterupsi untuk masuk ke sekolah. Namun, hal itu tak membuat Berly juga turut berlari masuk. Ia justru kembali ke posisi semulanya dengan tenang.

Gadis itu memasukkan ponselnya di tempat kecil di depan tasnya, lalu ia membuka tas lilac miliknya itu untuk mengambil diary merah jambunya. Di halaman utama diary-nya itu tertulis, Hari Pertama Putih Abu-abu. 

Di halaman selanjutnya Berly kini menulis, Bertemu Braga. Berly menambahkan point 1--Jadi dia yang namanya Kak Braga :)

Point 2--Kak Braga yang katanya seram, tapi kasih seragam baru, sepatu, dan tas ke murid baru. Dia nggak seseram itu, kok. Kata siapa dia brandalan? Dia baik, cakep juga aslinya euy hehe 

Point 3--Love at the first sight with ... him? No no no! Are you crazy, Berly? But .. why my heart is beating uncontrollably when I saw him? Omo. Gws Berly! 

"Heh! Kamu kenapa belum masuk juga? Nggak dengar perintah dari tadi?" teriak seorang anggota Osis. 

Berly terperanjat kaget dan segera menutup diary-nya, lalu buru-buru memasukkannya ke tas. "Iya, maaf, Kak." 

"Cepat masuk!" 

Berly bergegas memasuki lapangan setelah itu dengan senyum mengembangnya.

Hari itu adalah hari pertama Berly tahu mana sosok Braga yang selalu menjadi bahan perbincangan di base

Hari itu juga adalah pertama kali Berly merasakaan jantungnya berdebar tidak menentu, tanpa alasan yang jelas, dan baru ia rasakan pertama kali dalam hidupnya.

Hari itu juga ia menyaksikan sendiri bahwa Braga bukanlah laki-laki seram, jahil, dan tidak beradab seperti yang selama ini ia baca di thread base. Nyatanya, dengan mata kepalanya sendiri, Berly bisa menjamin bahwa Braga adalah laki-laki yang baik. Ia bisa menjamin itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • suhar

    Bagus kak ❤
    Next Part Kapan Nih kak ???

    Comment on chapter P R O L O G
Similar Tags
Yu & Way
167      136     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Cinta yang Berteduh di Balik Senja
1313      816     2     
Fantasy
Di balik kabut emas Lembah Fengliu tempat senja selalu datang lebih pelan dari tempat lain dua orang duduk bersisian, seolah dunia lupa bahwa mereka berasal dari dua keluarga yang saling membenci sejak tujuh generasi silam. Aurelia Virelle, putri dari Klan Angin Selatan, dikenal lembut dan berkelas. Kecuali saat dia lapar. Di saat-saat seperti itu, semua aura anggun luntur jadi suara perut ker...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
710      353     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
BestfriEND
44      38     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Love Letter: Mission To Get You
574      436     1     
Romance
Sabrina Ayla tahu satu hal pasti dalam hidup: menjadi anak tengah itu tidak mudah. Kakaknya sudah menikah dengan juragan tomat paling tajir di kampung. Adiknya jadi penyanyi lokal yang sering wara-wiri manggung dari hajatan ke hajatan. Dan Sabrina? Dicap pengangguran, calon perawan tua, dan... “beda sendiri.” Padahal diam-diam, Sabrina punya penghasilan dari menulis. Tapi namanya juga tet...
No Longer the Same
432      316     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Rumah?
59      57     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Lovebolisme
167      147     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Redup.
722      429     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Semu, Nawasena
9944      3127     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...