Bandung.
Duar! Duar!
Hujan deras disertai petir membasahi bumi Bandung malam itu.
Di bawah suara gemuruh dan gelapnya malam, seorang gadis meringkuk di bawah selimut tebalnya. Ia bersembunyi dari keributan yang menggema di rumah, alih-alih bersembunyi dari petir yang menyambar kota indah ini.
Suara petir yang menyambar keras, bahkan tidak membuat telinganya berhenti mendengar perdebatan di ruang tengah sana. Mendengar namanya disebut berkali-kali, hati gadis ini terluka, untuk kesekian kalinya.
"Kamu kenapa, sih, selalu belain Berly? Kamu nggak kapok juga? Dia itu selalu minta duit buat hal-hal nggak berfaedah."
"200 ribu itu nggak sedikit, loh, Bang. Bayangin. Adik kamu itu buang 200 ribu cuma buat beli cat, kuas, dan gerabah. Belum lagi semua lukisan dia itu penuh-penuhin isi rumah. Bikin riweuh," lanjut keluhnya.
"Teh, dia itu cuma lagi belajar. Kita sebagai sau--"
"Halah, saudara? Gitu katamu? Aku nggak peduli, ya. Pusing banget aku urus dia yang banyak maunya itu. Bilang sama dia, tugas dia sebagai pelajar itu belajar. Nggak usah aneh-aneh pake mau belajar bisnis, hobi, mengembangkan bakat--halah! Dia masih bau kencur!"
"Jangan gitu, Teh. Di--"
"Stop!" pembicaraan itu disela. "Aku lagi males bahas ini. Intinya, aku gak mau lagi keluarin duit buat dia dengan alasan apapun. Kalau kamu tetap mau kasih, sok, silahkeun."
Terdengar suara hentakan kaki di depan kamar gadis ini setelah debat sengit itu, juga menjadi tanda bahwa kakak perempuannya sudah kembali ke kamar--yang berada tepat di samping kamarnya. Seperti biasa, Kakak perempuannya itu lalu menutup pintu keras-keras. Seakan menyuarakan kekesalannya yang sudah memuncak itu.
Seketika saja, hati gadis ini mencelos. Dalam persembunyiannya, ia menangis di sana seorang diri. Percakapan dua kakaknya yang menyakitkan itu sebenarnya tak asing di telinganya. Namun, bagaimana pun, setiap kata yang terlontar itu masih tetap menyakitkan untuk ia dengar seberapa pun sering ia mendengarnya.
Tangisnya tak bisa tertahan sekarang. Entah karena ia memang cengeng atau karena luka ini sangat rapuh, sehingga bila tersentuh lagi, sakitnya membuat hatinya menjerit.
Ketika bertemu dengan orang-orang, mereka sering berkata bahwa hidup gadis ini akan selalu bahagia. Dengan memiliki 2 saudara yang memiliki selisih umur sangat jauh darinya, sudah bekerja mapan di Perusahaan ternama, akan sangat memungkinkan untuk memberinya kehidupan yang layak.
Namun, kehidupan yang layak itu bagaimana menurut presepsi mereka? Hidup yang terpenuhi dari segi ekonomi, komunikasi yang baik, keluarga yang hangat, support system, dan saling peduli? Apakah seperti itu?
Nyatanya, alih-alih kehidupan yang layak, gadis ini justru harus hidup menderita dengan garis kehidupan yang sudah digariskan Tuhan untuknya.
Ini nggak mudah, tapi aku nggak punya banyak pilihan. Pilihanku saat ini hanyalah bertahan dan mencari garis kehidupan lain. Garis kehidupan yang akan kupaksakan pada Tuhan, agar bisa sejalan dengan-Nya--- Berly Janice Jagadhita
Bagus kak ❤
Comment on chapter P R O L O GNext Part Kapan Nih kak ???