Menjadi siswa berprestasi dan menduduki peringkat pertama selama empat semester berturut-turut, tidak menjamin kesuksesan seseorang. Namun, semua orang harus mengambil kesempatan dan peluang yang ada di depan mereka. Phiko merupakan salah satu siswa yang memilih jalan lain, setelah melewati badai yang menerjang jalan hidupnya.
Bisa saja Phiko menggunakan beasiswa yang telah ia dapatkan, mendaftarkan diri ke seleksi masuk perguruan tinggi, dan membiarkan Bapak sendirian bersama penyakitnya di kamar. Lagipula, para tetangga bisa saja merawat Bapak dengan kebaikan hatinya. Akan tetapi, Phiko tidak mau terbelenggu rasa sesal seumur hidupnya.
Di usia yang kesembilan belas, kurang lebih satu tahun kurang ia berpisah dengan kedua kakaknya, Phiko merayakan ulang tahunnya seorang diri di pagi hari. Padahal, tahun lalu ia merayakannya bersama Vino dan Finna dengan jalan-jalan menaiki Si Bekjoel.
Phiko membuka kulkas, mengeluarkan sebuah kue kecil, mengambil korek api dari atas kulkas. Phiko lalu duduk di sofa, menyalakan lilin, dan meniupnya setelah beberapa menit menyala.
Selamat tahun, kembaran!
Met ultah, ma Bro!
Dua notifikasi masuk ke ponselnya, menampilkan dua nomor kontak—kakak-kakaknya—yang kini berada di Bandung. Finna berkuliah di ITB dan Vino ada di UNPAD. Sementara Phiko, dirinya hanya mengikuti Universitas Terbuka dengan sistem full online.
Phiko membalas dua pesan itu dengan mengulum senyum. Tangan kanannya menyuapkan potongan kue, dan yang kiri terus menggulir media sosial setelah membalas pesan. Phiko tak mungkin merayakan ulang tahunnya bersama Bapak. Mengingat pada hari inilah Bapak kehilangan istri tercintanya. Pasti terlalu menyakitkan.
Akhir-akhir ini Bapak sering memanggil nama istri pertamanya dalam tidur. Tak jarang pula Bapak bergumam saat sedang makan, bahwa Bapak rindu akut kepada Ibun.
“Bapak, kita jalan-jalan pagi, yuk?” tawar Phiko.
Pekerjaan rumah sudah selesai dilakukan. Bapak juga beres dimandikan dan diganti pakaiannya dengan yang baru.
Bapak bergumam tak jelas secara pelan, mengerjapkan kedua matanya. “Kemarin, kan, udah.”
“Itu kemarin, Pak. Sekarang hari ini. Sudah berganti pagi, lho. Phiko takut Bapak bosen di rumah terus. Sekarang kita ke daerah bukit.”
Bapak hanya mengiyakan perkataan Phiko. Membuat putra bungsunya itu senang. Setiap pagi, Phiko selalu membawa Bapak jalan-jalan menggunakan kursi roda. Kalau Bapak sedang mood makan di luar, Phiko akan melipir ke pedagang bubur pinggir jalan. Kalau di rumah sudah makan, mereka akan menepi ke taman untuk sekadar menghirup udara segar. Pak RT alias Pak Erwin atau Cang Erwin sudah memberlakukan peraturan yang ketat terkait kebersihan udara.
“Phiko.”
Lelaki yang sedang membersihkan kursi taman untuk diduduki itu menoleh, lalu duduk dan menggeserkan kursi roda Bapak agar lebih dekat dengannya.
“Hm? Ada apa, Pak?” Phiko memijiti pergelangan tangan bapaknya. Ia juga membenahi selimut untuk menghangatkan tubuh Bapak. Pasalnya langit Jakarta pagi ini tidak terlalu bersahabat.
Bapak menatap putranya dengan lekat. Ujung matanya nyaris menangis tanpa dipinta.
“Eh, kenapa, Pak? Apa yang buat Bapak sedih? Rindu Finna dan Vino? Kita bisa telepon mereka sekarang.”
Bapak menggeleng lemah.
“Lalu? Rindu ... Ibun?”
Kali ini Bapak tidak bereaksi. Mungkin benar, Bapak lagi-lagi merindukan mendiang istrinya. Phiko memeluk Bapak dengan erat, sesekali menepuk punggung lebar itu. Tubuh Bapak tidak segempal dahulu. Nyaris bisa dikatakan kurus dan tersisa gelambir kulit saja.
“Maafkan Bapak, Phiko.”
Karena stroke, Bapak jarang sekali bicara. Hanya sepatah dua patah. Phiko juga harus mendekatkan telinganya dengan mulut Bapak.
“Maaf kenapa, Pak? Hm?” Phiko bertanya lembut, menggenggam tangan Bapak.
“Mimpimu hancur karena Bapak.”
Phiko langsung menggeleng cepat. “Nggak, Pak. Mimpiku gak pernah hancur. Memangnya, Bapak tau mimpiku apa?”
Bapak mengangkat kepalanya. “Masuk ke perguruan tinggi, jadi dokter, dan membawa Bapak ke Bandung atau Jogja.”
Phiko senang karena Bapak bisa bicara lebih banyak pagi ini. Namun, ada rasa sedih juga dari kalimat itu. Phiko menyandarkan kepalanya di bahu Bapak.
“Salah, Pak. Mimpiku adalah terus bersama Bapak, selamanya.” Phiko menekankan kata terakhir. “Aku ingin terus di samping Bapak.”
“Tapi, kamu sudah bersusah payah menjadi yang terbaik di sekolah.”
Phiko tertawa kecil. Kalau boleh jujur, ia menyesali perbuatan terlalu ambisnya itu, sebab sudah membuat waktu kebersamaan dengan keluarga terbuang. Bapak juga kehilangan sosok anak bungsunya selama bertahun-tahun. Phiko mengeratkan pelukan.
“Aku sudah menggapai mimpiku, Pak. Aku sudah bersama Bapak sekarang dan tidak ada lagi yang menjahati kita.” Lelaki itu merapikan rambut bapaknya yang tersibak oleh angin. “Sudah, jangan dipikirkan. Sekarang, pikirkan kesehatan Bapak, agar aku bisa mempertahankan mimpiku lebih lama.”
Bapak mengulum senyum. Dari gerak matanya, ada sesuatu yang ingin disampaikan lagi oleh Bapak, tapi terus diurungkan. Phiko menggoda Bapak supaya berterus terang saja.
“Tapi, Bapak ... mau main ke Bandung, Phi.”
Phiko tertawa lagi. Tangannya yang sudah kasar karena sering mengurus hewan ternak itu menyentuh pipi Bapak. “Nanti kita ke Bandung buat jemput Finna dan Vino, ya, Pak.”
Bapak mengangguk-angguk antusias.
Saat hari sudah beranjak siang, Phiko akan meninggalkan Bapak yang terlelap tidur di rumah, berkunjung ke peternakan dan toko buku. Sore harinya Phiko berolahraga demi menjaga kebugaran, sesekali ia juga mengajak Bapak agar tak diam saja di atas kasurnya. Setelah itu mereka akan mandi lagi. Malam hari setelah makan dan beribadah, ialah waktunya untuk tidur. Jika tak ada kedua kakak kembarnya, Phiko akan tidur di sebelah Bapak. Memeluk Bapak dengan hangat seperti Bapak memeluknya ketika kecil.
Bapak sudah tidur. Perlahan Phiko turun dari kasur Bapak, membuat pergerakan sekecil mungkin agar Bapak tidak merasakan ketiadaan dirinya.
Phiko memainkan ponsel, mencari kontak seseorang, berharap pada pukul delapan malam ini, Vino masih terjaga dari tidurnya.
“Halo, Phi? Ada apa? Bapak sehat? Lo gimana?” Pertanyaan beruntun langsung Phiko terima dari seberang sana. Phiko tidak berselera menjawab satu pun.
“No. Lo sama Finna kapan libur semester?”
“Dua minggu lagi kayaknya. Gue sama Finna, kan, beda kampus. Libur semesternya juga pasti beda. Kenapa?”
Phiko mendaratkan pantatnya di atas sofa, dengan secangkir teh di tangan kiri yang ia buat beberapa menit sebelum Bapak tidur. Ia berpikir sebentar. Bagaimana reaksi Vino nanti saat dirinya menyampaikan niatan? Phiko takut kakaknya ini sudah berbuah menjadi angkuh dan sombong, hanya karena dia menjadi mahasiswa dari kampus negeri ternama.
“Kenapa, Phi?”
“Emm, gue ... mau bawa Bapak main ke Bandung. Gue mau menuhin janji dan mimpi gue. Tadinya sekalian jemput kalian juga, itu pun kalau kalian mau pulang ke Jakarta.”
“Wah, bagus itu!” seru Vino terdengar antusias.
“Bawa minggu depan, biar bisa lama-lama di sini. Gue tau tempat-tempat yang bagus di Jatinangor. Kita bawa Bapak ke Lembang juga, atau ke Dago. Kita bawa Bapak makan yang, Phi. Gue punya rekomendasi.”
Phiko bisa bernapas lega. Nyatanya sang kakak tidak berubah meski sudah menjadi seorang mahasiswa, meski telah tak bertemu selama berbulan-bulan. Diam-diam Phiko mengulum senyum di bibirnya.
“Kalian nginep di kosan gue aja. Ibu kosnya baik, kok. Pasti gak mempermasalahkan selama apa pun kalian di sini. Anak-anak kos lain juga gak bakal peduli amat. Kalau di Finna, dia itu kosnya khusus cewek, jadi lumayan susah. Gue aja cuman mau jenguk dia, dilarang-larang sama bapak kosnya.”
Phiko berdecak kasar. “Bapak udah kaya sekarang. Rumah juga udah direnovasi, kan. Gak mungkin gue bawa Bapak ke Bandung dan numpang di kosan lo yang sempit itu.”
“Wah, kurang ajar lo!”
“Minimal gue bakal sewa apartement buat seminggu. Pokoknya sampai Bapak puas dan bosan di Bandung. Habistu kita pulang bareng-bareng ke Jakarta. Gue bakal sewa mobilnya Pak—eh, Cang Erwin, kok.” Phiko setengah tertawa.
Perihal Bapak sudah kaya, itu benar adanya. Penjualan hewan ternak membuahkan banyak hasil, terlebih setelah Phiko turun tangan secara langsung dengan ilmu terbatasnya perihal peternakan. Rumah mereka yang berada di gang sempit itu, kini direnovasi, diperbagus seluruh bagiannya. Termasuk kamar Bapak yang awalnya sempit karena buku-buku, kini sudah lega dan bersih.
“Sewa yang tiga kamar, Phi. Gue sama Finna bisa ikut nginep di sana.”
“Ih, kalian kuliah aja. Gue sama Bapak doang yang jalan-jalan,” ujar Phiko dengan nada sombong.
Vino terdengar kesal, mungkin sedang mengacak-acak rambut pendeknya. Phiko yang mendengar hanya tertawa puas.
“Ya udah, No. Gue ngantuk, mau temenin Bapak tidur. Nanti gue kabarin lagi, ya.”
“Iya, Phi. Gue juga harus lanjut ngerjain tugas. Bye, Phi.”
Panggilan dimatikan dua pihak. Lagi-lagi sepi. Rumah ini, meski sudah bagus, jadi terasa hampa jika tak ada suara dari kedua kakaknya. Phiko merindukan mereka. Namun, mungkin Bapak yang lebih dulu kehilangan euforia anak-anaknya. Phiko sangat menyesal. Mengapa ia malah menjauhkan diri demi seonggok nila tak berarti itu?
Phiko menyeruput cepat teh manisnya. Lantas kembali masuk ke dalam kamar. Bapak masih tidur. Phiko mengusap wajah Bapak dengan pelan. Ia menautkan keningnya dengan kening Bapak.
“Maafkan aku, Pak. Aku yang bodoh selama ini.” Phiko menarik napas dalam-dalam. “Makasih atas perjuangan Bapak selama ini, telah bersabar kepada kami, anak-anak Bapak. Makasih karena Bapak masih bertahan untuk kami.”
Tanpa Phiko sadari, air mata merembes membanjiri pipinya. Phiko segera menghapusnya sebelum air mata itu menyentuh wajah Bapak juga.
Minggu berikutnya, Phiko benar-benar mengajak Bapak pergi ke Bandung. Ia menyewa apartemen selama seminggu lebih. Cukup untuk membuat Bapak bahagia. Mengingat Bapak juga dalam keadaan tubuh tidak sehat. Mulai dari kebun binatang hingga tempat makan, semuanya Phiko kunjungi bersama Bapak. Betapa senangnya Finna saat mengetahui Bapak berlibur di Bandung. Ia menunjukkan kampusnya yang besar itu, terutama air terjun yang dikelilingi oleh nama-nama jurusan yang ada di sana. Finna terus menempel bersama Bapak. Gadis itu memakai jilbab sekarang, malu katanya. Sementara Vino terus saja mengajak Bapak ke kafe-kafe, padahal Phiko sudah berupaya melarang keras karena riwayat penyakit jantung Bapak, tetapi Vino terus mengelak akan memesankan menu lain.
Puas berlibur di Bandung, keempat orang itu pulang bersama ke Jakarta. Melanjutkan liburannya di sana, sampai Bapak benar-benar bosan diajak berlibur terus menerus. Sebagai penutup liburan, mereka tidur bersama di ruang televisi, menyaksikan sebuah film, Bapak juga tidak biasanya ingin ikut menyaksikan film.
Bapak meninggal di dalam pelukan Phiko.
Sebuah keberuntungan untuk anak bungsu itu. Setidaknya Phiko adalah orang terakhir yang berada di dekat Bapak saat embusan napas terakhir. Phiko yang menangkan Bapak saat kejang-kejang akibat panas terlalu tinggi. Phiko yang menuntun Bapak supaya melantunkan syahadat saat sedang dalam sakaratul mautnya. Bapak meninggal dengan tenang, dengan senyum hangat dan setetes air mata mengalir di pipinya. Setelah Bapak kejang dan bersyahadat terbata-bata itu, Bapak bilang dirinya mengantuk, dan Phiko menyuruhnya tidur di pelukannya. Bapak tidur dan tak pernah bangun lagi setelah itu.
Tepat dua hari sebelum Finna dan Vino harus pergi lagi ke Bandung untuk melanjutkan studi, mereka harus menjadi saksi atas keganasan penyakit yang menyerang Bapak. Orang-orang menyalahkan ketiga anaknya karena terlalu gencar mengajak Bapak berletih-letih, orang di kampung kompak mengatakan bahwa kematian Bapak diakibatkan kecapekan. Hal ini membuat anak-anaknya merasa menyesal telah membawa Bapak berlibur.
Akan tetapi, selama liburan kemarin, mereka juga memerhatikan kesehatan Bapak. Setiap ditanya, Bapak selalu berkata jika dirinya baik-baik saja. Dirinya tak pernah merasa sesenang ini dalam hidupnya. Bapak juga sempat menyinggung tentang Ibun, berkata, “Andaikan kau di sini bersama kami, kau pasti membuat senyuman paling lebar di antara kami.”
Phiko menenteng dua ikat bunga di masing-masing tangannya. Menoleh ke berbagai arah, menyusuri petak-petak makam hingga ia bertemu dengan dua makam milik kedua orang tuanya. Phiko duduk di antaranya. Bapak dan Ibun tidak dimakamkan satu liang, walau Bapak pernah menginginkannya. Phiko memanjatkan doa, sebelum meletakkan bunga-bunga cantik itu di makam orang tuanya.
Ketahuilah Phiko tak lagi memedulikan tentang kesehatannya. Ia kembali memakai selang di hidung yang terhubung ke lambung demi mendapat nutrisi, walau dirinya tetap masih bisa makan melalui mulut, tetapi lebih sering dimuntahkan lagi. Autoimun? Gerd? Phiko sudah bersahabat dengan mereka berdua. Tak apa, Phiko membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuh seperti Bapak. Meskipun tubuhnya terlihat bugar dan masih bisa berjalan, tetapi kantung mata yang hitam serta tulang tangan yang menonjol tidak dapat dibohongi.
“Ibun, Bapak, Phiko di sini.” Phiko mengusap dua nisan orang tuanya. Ia mengulum senyum. “Kapan kalian jemput Phiko dari sini? Phiko sendirian. Vino sama Finna sibuk banget kuliahnya. Mereka bahkan jarang ngehubungin Phiko, mereka jarang nanya kabar Phiko. ”
Tatapan Phiko beralih ke lahan kosong di sebelah Bapak. “Phiko udah siapin tempatnya di sebelah Bapak. Nanti Phiko di sana, ya.”
Phiko kembali terdiam, memeluk kedua lutut kecilnya. Diam-diam air mata merembes membasahi pipinya. Beginilah kondisi si bungsu di seluruh penjuru dunia. Padahal usia Phiko masih muda, hanya orang tuanya memilih mati muda.
Seharusnya Phiko masih bisa mengejar impiannya. Namun, entah mengapa kesendirian ini justru membuatnya tersiksa.
Ponsel Phiko bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Ia pikir kedua kakaknya menghubungi setelah Phiko mengadukannya kepada kedua orang tuanya.
Phi, aku di Jakarta. Ketemuan, yuk? Aku bawain oleh-oleh dari Jogja buat kamu.
Kedua sudut bibir Phiko tertarik ke atas. Bela mengajaknya bertemu setelah hampir setahun tidak bertemu dan mengabari.
“Kayaknya, kalian gak perlu jemput Phiko secepatnya. He-he. Phiko bakal bawain cucu buat kalian.” Phiko mengecup dia nisan di sebelahnya untuk berpamitan, lalu beranjak. “Phiko mau ketemu Bela dulu, ya. Besok kita ketemu lagi!”
Lelaki itu setengah berlari menjauh dari makam orang tuanya. Mungkin Bela memiliki jawaban atas kegundahannya. Kehilangan orang tersayang membuat dirinya kehilangan pula jati diri sebagai manusia. Bela adalah orang yang berpengalaman. Bela pasti memiliki jawaban, apa yang harus dilakukan saat kita merasa sendiri dalam kehidupan.
Sejatinya manusia tak akan pernah abadi bersama jati dirinya. Ada waktu di mana manusia kehilangan jati dirinya. Dan manusia tak pernah pula bisa memprediksi kapan hal itu akan terjadi. Namun, manusia masih bisa menggenggam jati diri itu agar tidak pergi terlalu jauh. Seperti Phiko, si bungsu yang selalu menjadi fondasi untuk kakak-kakaknya.
TAMAT