Vino terperanjat dari tidurnya saat menyadari tidak ada seorang pun di sebelahnya. Lelaki itu merangkak melihat ke bawah kasur, barangkali Phiko terjatuh saat tidur. Namun, nihil. Tidak ada Phiko di sana. Belum mengumpulkan nyawa secara sempurna, Vino sudah memakai kaki palsunya. Berjalan tertatih-tatih sambil memanggil nama adik bungsunya.
“Bapak! Phiko hilang, Phiko hilang! Semalam dia ada di sampingku, tapi pagi ini dia hilang!” seru Vino. Ia tampak panik bukan main.
Bapak yang sedang membawa nampan berisi segelas teh hangat itu melongo. Matanya lantas bergerak terarah ke ruang tamu, membuat Vino mengikuti arah pandang Bapak.
Rupanya ... Phiko ada di sana. Terduduk tenang di samping Finna. Semua orang yang ada di ruang tamu menatap aneh kepada Vino, tak terkecuali dengan seorang dokter puskesmas yang sengaja dipanggil ke rumah oleh Bapak. Vino bisa bernapas lega, ternyata adiknya tidak kabur atau dibawa kabur oleh seseorang.
Bapak menyajikan teh hangat buatannya untuk dokter lelaki itu. Pagi tadi, Phiko meminta ingin dicabut selangnya karena merasa sanggup makan melalui mulut lagi. Maka Bapak meminta Pak Erwin, RT di depan rumahnya itu untuk memanggilkan dokter.
“Tahan sedikit, ini agak perih.”
Finna menggenggam tangan Phiko untuk memberikannya kekuatan. Mata Phiko terpejam saat dokter ini mulai menarik selang di hidungnya. Rasanya sakit sekali. Kerongkongannya terasa panas. Ia merasakan benda elastis ini melintasi tenggorokannya. Air mata merembes ke kelopak matanya karena menahan sakit itu. Phiko mendelik kala selangnya sudah berada di ujung hidungnya.
“Alhamdulillah. Sudah keluar, Phiko.”
“Huwekk!” Phiko ingin muntah. Ia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
“Kenapa? Kenapa Phiko muntah? Kenapa? Phi.” Vino bergerak cepat menyusul adiknya, membantu dengan mengusap-usap punggung Phiko.
“Itu hal yang wajar. Perutnya terkejut karena ada benda asing yang dipaksa keluar,” jelas dokter itu.
Ia lantas memberikan resep obat yang harus dibeli nantinya sebelum pamit pergi. Napas Phiko masih sedikit terengah. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, menatap langit-langit rumah.
Apakah ... keputusannya untuk tetap hidup di dunia adalah pilihan yang benar? Bagaimana jika ke depannya masalah justru makin membuatnya tertekan?
“Phiko,” panggil Finna dengan suara tinggi di dapur. Bahkan Vino di sebelahnya terkejut bukan main sampai menepuk bahu Finna dengan kuat sebagai peringatan.
Alis Finna bertautan, tidak merasa bersalah. Pandangannya kembali menatap Phiko. Finna menggerakkan tangannya, mengajak Phiko untuk segera makan.
Phiko mengulum senyum di wajahnya. Mungkin, keputusannya memang jalan terbaik. Hidup bersama keluarganya dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Bapak bertekad untuk membentuk anak-anaknya agar hidup mandiri jika ia sudah tiada nanti. Hasil penjualan sapi yang cukup laris manis itu, ia belikan alat bantu dengar untuk Finna. Bapak melakukan persiapan itu secara bertahap. Selanjutnya adalah Vino. Bapak mendaftarkan Vino untuk ikut terapi agar pembekuan di otaknya bisa sembuh, dan Vino dapat mempergunakan tangan dan kaki kanannya. Bapak juga selalu mengajak Phiko untuk berobat, sampai lelaki itu tak lagi merasakan sakit seperti akhir tahun kemarin.
Tiga bulan berlalu. Vino sudah bisa berjalan dengan kaki kanannya meski masih tertatih, tangan kanannya juga sedikit bisa digerakkan. Phiko juga tak sering kambuh, justru cenderung tak terasa lagi, baik asam lambung maupun autoimun-nya.
Akan tetapi, Bapak melupakan kesehatannya sendiri. Penyakit jantung itu sumbernya sama seperti asam lambung, yakni pikiran. Karena Bapak terus memikirkan keadaan anak-anaknya, penyakit itu memanfaatkan waktu untuk menyerang kesehatan Bapak. Selain jantung, Bapak juga terkena stroke. Lebih parah daripada Vino, Bapak tidak bisa berjalan, makan pun harus disuapi. Untungnya Bapak masih bisa bicara dengan jelas.
“Pak, besok kita jalan-jalan, ya? Kita keliling kampung biar Bapak terhibur,” ajak Phiko. Ia tengah membenahi posisi bapaknya setelah menunggu selama tiga puluh menit supaya makanan yang baru dilahapnya turun sempurna.
Bapak menggeleng lemah.
“Lho? Kenapa?”
“Takut kamu kelelahan.”
Phiko mengukir senyum di wajahnya. Tangannya mengusap-usap punggung Bapak yang berada dalam posisi miring. “Nggak, Pak. Phiko gak akan pernah capek buat Bapak.”
Bapak mengembuskan napas gusar. Anaknya pasti akan keras kepala, meski dirinya menolak dengan keras.
“Kita lihat cuaca besok ya, Pak.”
Phiko mengecup kening Bapak. Menemani hingga pria itu tertidur pulas sebelum meninggalkannya sendirian di kamar. Bapak baru terlelap sepuluh menit kemudian. Phiko menutup pintu secara perlahan agar tidak membuat Bapak terbangun lagi.
Pandangan Phiko langsung tertuju ke ruang televisi. Ada dua kakaknya di sana, sibuk dengan layar tablet di tangannya. Padahal televisi menyala, tapi keduanya bergeming seakan tak acuh dengan sekitar.
“Gimana, Phi? Jadi daftar UGM?” tanya Vino saat Phiko menyusuk duduk di antara mereka.
Phiko menatap layar tablet kedua kakaknya, mereka ternyata sedang menyelesaikan pendaftaran seleksi perguruan tinggi jalur prestasi. Dua hari lalu, ketiga anak kembar itu dinyatakan lulus untuk mendapatkan beasiswa hingga lulus, jadi perihal biaya seharusnya tidak menjadi masalah bagi mereka. Bapak juga menyimpan cukup banyak tabungan untuk anak-anaknya. Rencananya, Finna dan Vino ingin daftar ke universitas yang ada di Bandung, agar tidak jauh-jauh dari Jakarta, mereka juga bisa berkunjung lebih sering ketimbang setahun sekali. Sementara Phiko, ia memiliki impian pergi ke Jogja demi mengejar cita-citanya.
“Phi!”
Lamunan Phiko membuyar. Ia tak mengangguk, juga tak menggeleng. Phiko mengeluarkan ponsel di tangannya. Layar benda pipih itu menunjukkan laman pendaftaran seleksi. Kalau Phiko mendaftar dan dinyatakan lulus seleksi, siapa yang akan menjaga Bapak di Bandung? Bisa saja salah satu dari kedua kakaknya ada yang tidak lolos, tetapi Phiko tidak begitu yakin.
Phiko kembali beranjak dari duduknya, mendekati pintu kamar Bapak. Phiko membukanya, melihat Bapak yang masih tertidur lelap di atas kasur sana. Phiko mengembuskan napas panjang.
Bapak sudah membuat dirinya sadar, jika jati diri Phiko yang sebenarnya ada di sini, bersama Bapak. Hanya kepada Bapaklah sifatnya tidak berubah, bersama Bapak dirinya bisa menjadi diri sendiri, bersama Bapak pula dirinya paham tentang rasa cinta yang sesungguhnya.
Phiko menatap layar ponselnya lagi. Tekadnya sudah bulat. Mungkin, tidak ada salahnya mengubur mimpi sedalam mungkin, ketimbang hidup dengan rasa penyesalan. Phiko menghapus laman pendaftaran dan segala aplikasi yang berhubungan dengan seleksi di ponselnya.
“Gue gak akan daftar.” Phiko kembali duduk, kali ini memilih sofa yang lebih leluasa.
Menyelonjorkan kedua kaki di atas sofa. Matanya mengarah ke layar televisi.
“Loh? Kenapa?” heran Finna.
Phiko sempat menoleh sekilas. Ia mengedikkan bahu. “TV ini baru nyala lima kali dari Bapak beli kemarin.” Itu fakta, Bapak membelikannya dua hari sebelum penyakit menyerang tubuhnya secara ganas. Saat Bapak hanya bisa terkapar di kasurnya, televisi itu tak pernah lagi dinyalakan.
“Itu alasan yang bodoh, sih, Phi,” ejek Vino yang justru mendapat gelak tawa dari adik bungsunya.
“Serius. Lo kenapa mundur? Lo udah dapat beasiswa yang siap dipakai di semua kampus se-Indonesia. Kenapa mundur?”
Phiko menerawang, tidak mungkin dirinya bisa mengatakan alasan ia mundur adalah Bapak. Phiko takut kedua kakaknya akan merasa bersalah dan ujung-ujungnya memilih mereka sendiri yang mundur juga bekerja, seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
“Gue gak mau mati karena penyakit ini, No, Fin. Gue yakin, kuliah itu ribet, pasti bawaannya pusing, bikin gerd gue kambuh.”
“Gimana orangnya, sih, Phi,” elak Vino. “Kalau lo enjoy dan chill aja, pasti tuh penyakit gak akan sering kambuh.”
Tidak ampuh rupanya. Phiko harus menggunakan alasan lain.
“Gue pengin urus ternak Bapak. Siapa tau mereka ada yang gak amanah. Gue harus awasin mereka.”
“Alasan sebenarnya, kamu itu pengin jagain Bapak, kan?” Kali ini Finna bersuara. Phiko langsung mendudukkan tubuh. Menatap jemari kakinya untuk menyembunyikan wajah. Lelaki itu mengangguk kikuk.
“Ta-tapi, jangan anggap ini sebagai kutukan anak bungsu, Fin, No. Gue cuman ... gak mau nyesel nantinya. Gue bisa ambil kampus yang sistemnya full online, kok. Kalian jangan khawatir, kalian harus tetap daftar seleksi. Ini kesempatan berharga kalian yang hanya terjadi sekali seumur hidup, kalian harus coba!”
Vino bergeser mendekati Phiko, merangkul bahunya. “Bapak memang kelihatan maunya dirawat sama kamu, Phi.” Vino menatap adiknya dengan lekat. “Apa pun pilihan lo, kita ada di sini.”
Finna ikut mendekat, merangkul saudara kembarnya dengan erat.
Segitiga sama kaki bukan berarti alasnya menjadi penopang atas dua sisi lainnya. Namun, segitiga sama kaki adalah sebuah bangun datar yang cukup sempurna, di mana masing-masing sisi memiliki peranan penting untuk tetap berdiri sendiri. Tanpa adanya alas, sisi yang berperan menjadi kaki tak akan bisa berdiri dengan tegak.
Phiko tak pernah merasa kalah dari kedua kakaknya, tak pernah pula ia merasa berbeda dari mereka. Setidaknya Phiko dapat menjadi sebuah alas yang menopang kakak-kakaknya untuk meraih impian mereka.